Aku sudah tinggal di dorm SCU ini selama kurang lebih setahun tapi aku masih saja kagum melihat keindahan kampus pada hari wisuda Liam. Podium putih besar didirikan dengan latar pohon-pohon pinus tinggi dan ratusan kursi berbalut kain putih dijejer rapi di lapangan rumput yang terawat. Aku dan mama duduk di baris ke lima. Liam duduk di baris terdepan. Sekali-sekali ia menoleh untuk melambai pada kami. Mama kebanyakan diam saja. Mungkin ia memikirkan papa, bagaimana seharusnya ia ada di sini juga.
“Lihat bunga-bunganya, Ma,” bisikku pada Mama. Ia mengangguk tapi tidak mengatakan apapun. “Aku masih tidak mengerti kenapa Mama tidak pernah cerita tentang keindahan kampus ini. Upacaranya hampir dimulai tapi aku perlu ke kamar kecil. “Aku ke toilet sebentar,” kataku pada mama dan berdiri untuk berjalan ke toilet. Toiletnya agak jauh jadi aku berjalan secepat yang kubisa.
“Maaf, Nona,” sebuah suara memanggil dari belakang. Aku terus berjalan. Aku yakin bukan aku yang dipanggil. “Nona, tunggu,” kata suara yang sama. Kali ini lebih dekat. Aku menoleh dan melihat seorang pria berjalan dengan cepat ke arahku. Aku tidak mengenalnya tapi wajah dan gerakannya memberi kesan apa yang sedang dilakukannya penting. Aku berhenti untuk menunggunya. “Apakah.. apakah kau anak perempuan Anna?” tanyanya.
“Ya. Anda siapa, ya?” tanyaku.
“Aku.. aku dulu teman ibumu. Sudah lama,” katanya.
“Oh,” kataku.
“Tadi aku melihat ibumu dari jauh, tapi aku tidak benar-benar yakin itu Anna,” katanya.
“Ya, ibuku ada di sini,” kataku.
“Oh apakah karena kakakmu diwisuda?” tanyanya.
“Ya,” kataku.
“Tapi tadi aku tidak melihat ayahmu, Justin,” katanya. Jika dia memang tahu nama mama dan papa, berarti mungkin benar pria ini dulu teman mereka waktu kuliah. Mungkin mereka kehilangan kontak sehingga ia tidak tahu.
“Papa... papa sudah meninggal dua setengah tahun yang lalu,” kataku. Terlihat sekali ia kaget mendengar berita ini.
“Dia.. apa?” tanyanya.
“Dia sudah meninggal,” kataku.
“Ba.. bagaimana?” tanyanya.
“Leukimia,” jawabku. Lalu ia hanya diam. Tapi terlihat ia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia terlihat begitu bingung. “Maaf, aku harus ke toilet,” kataku. Ia bahkan tidak mendengarku. Ia hanya berdiri di sana memandang ke depan dengan pandangan kosong seolah hal-hal di sekelilingnya tidak masuk akal lagi. Aku mendengar musik dimainkan. Upacara akan segera dimulai. Aku berlari ke toilet.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page