Liam sedang mengembalikan topi dan gaun wisuda dan Ava bilang ia harus mengambil sesuatu di kamar asramanya sebelum ikut ke apartemen Liam. Semua anak yang tinggal di dorm akan pulang hari itu karena semester musim semi sudah berakhir. Sewa apartemen Liam sudah dibayar sampai akhir bulan jadi kami akan tinggal di sana selama seminggu untuk membereskan barang-barang Liam sebelum pulang bersama-sama ke Jakarta. Tak lama lagi Liam akan mulai bekerja di kantor. Aku begitu tak sabar menanti itu. Dan Ava akan pulang selama libur musim panas.
Aku sedang menanti seorang diri di depan Gereja Mission saat aku melihatnya. Ia terlihat lebih tua. Sembilan belas tahun, delapan bulan dan dua puluh dua hari memang telah berlalu sejak terakhir aku melihatnya. Ia berjalan ke arahku tanpa melepaskan pandangannya sedetik pun seolah takut aku akan menghilang jika ia berani berkedip. Aku memerintahkan kepalaku untuk berpaling. Mungkin jika aku berpaling, ia akan menghilang. Tapi aku tak dapat berpaling dan aku juga tahu ia tidak akan menghilang. Ia berhenti tiga langkah di hadapanku.
“Anna,” katanya.
“Dayton,” kataku.
“Kau tidak pernah mengangkat telpon, tidak pernah membalas emailku,” katanya.
“Aku... telponku hilang. Dan aku lupa password emailku yang itu,” kataku. Tentu saja itu bohong. Aku sengaja mengganti nomor ponsel dan email karena jika tidak, aku pasti akan menerima semua telpon darinya dan akan membaca semua email darinya dan... aku tidak berani memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kau bahkan tidak mengabariku tentang.. Justin,” katanya. Tentu saja aku ingin mengabarinya. Aku begitu ingin dia ada di sana untuk menenangkanku. Tapi apa yang bisa kukatakan padanya? Tolong datang karena suamiku sudah meninggal? Dan lagi setelah bertahun-tahun berlalu, aku yakin aku tidak lagi punya hak untuk menghubunginya.
“Ba.. bagaimana kau tahu?” tanyaku.
“Dari anak perempuanmu,” katanya.
“Kau.. kau berbicara pada Ava?” tanyaku. Hatiku berdetak tidak karuan. Ia telah melihat Ava. Ia telah berbicara dengannya. Bagaimana jika dia... tahu?
“Aku melihatmu dan dua anakmu.. tapi tidak melihat Justin. Jadi aku bertanya padanya,” katanya. Saat itu Ava mendekati kami. Ia memandang Dayton.
“Oh, kau sudah menemukan mamaku,” katanya pada Dayton seolah aku ini sebuah benda hilang yang sedang dicari Dayton. “Tadi kami bertemu di dalam dan dia menanyakanmu,” jelasnya padaku. Saat mereka berdua berdiri di hadapanku seperti itu, kemiripan mereka begitu nyata. Aku berdoa semoga hanya diriku yang melihat kemiripan ini. Lalu Liam datang. Ia heran melihat ada seseorang tidak dikenal berdiri bersama ibu dan adiknya. Aku tahu harusnya aku memperkenalkan Dayton. Tapi aku tiba-tiba seperti kehilangan kemampuan berbicara.
“Selamat atas kelulusanmu,” kata Dayton sambil menjabat tangan Liam.
“Terima kasih,” kata Liam.
“Namamu siapa?” tanya Dayton.
“Oh, aku Liam,” kata Liam.
“Aku Dayton. Dayton Lee. Aku dulu ... professor mamamu,” katanya sambil memandangku seolah bertanya apakah boleh ia menyebut dirinya itu. Aku hanya memandang tanah seolah di sana ada sesuatu yang amat menarik perhatian. “Jadi, apa rencanamu selanjutnya, Liam? Apakah akan melanjutkan S2?” tanyanya.
“Tidak. Aku akan pulang untuk membantu mama dengan bisnis keluarga,” jawab Liam.
“Oh, rencana baik,” katanya, “jadi kau jurusan bisnis seperti mamamu?”
“Benar,” kata Liam.
“Kami... kami harus pergi,” kataku. Aku tidak bisa membiarkan Dayton mengadakan percakapan lebih lanjut dengan anak-anakku. Entah apa yang akan terjadi kemudian.
“Kau harus pergi?” tanyanya padaku. Tiga kata sederhana. Tapi nadanya begitu menuduh seolah ia bertanya berapa kali lagi aku akan meninggalkannya lagi. Aku mulai berjalan tanpa mengatakan apapun. Mungkin ini terlihat tidak sopan di mata Liam dan Ava tapi aku tidak peduli. Aku mendengar Liam dan Ava mengucapkan selamat tinggal dan mereka segera menyamai langkahku.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page