Anna adalah tipe orang yang sangat nyaman dengan air matanya. Ia menangis saat membaca, ia menangis saat menonton film. Ia menangis sendiri. Ia menangis di depan umum. Ia tidak peduli apa yang orang lain pikir tentang dirinya saat ia menangis seolah menangis memang adalah haknya sejak lahir. Tapi aku belum pernah melihatnya menangis sekeras itu seolah ia tidak lagi dapat hidup dengan air di dalam tubuhnya sehingga ia harus memaksa seluruhnya keluar tanpa menyisakan setetespun.
“Anna,” aku membisikkan namanya. Tangisnya malah bertambah kencang. “Ke sini,” kataku. Ia berdiri dari kursinya dan naik ke atas tempat tidur rumah sakitku. Ia berbaring di dekatku seolah kami berdua menempati ruang yang sama. Dan ia melanjutkan tangisannya. “Shh... kau akan baik-baik saja,” bisikku. Ia menggelengkan kepalanya.
“Ini semua salahku,” katanya.
“Tentu bukan,” kataku.
“Iya. Tuhan sedang menghukumku,” katanya.
“Kau tahu itu tidak benar,” kataku. Ia hanya menangis lebih keras lagi. Tapi aku tahu masih ada yang ingin dikatakannya. “Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?” tanyaku.
“Aku melakukan sesuatu yang amat buruk,” katanya. Dan tiba-tiba aku tahu apa yang dimaksudnya.
“Tidak apa-apa,” kataku. Ia menggeleng.
“Kau bilang seperti itu hanya karena kau tidak tahu apa yang telah kulakukan,” katanya.
“Anna, percayalah. Aku tahu. Dan itu tidak apa-apa,” kataku. Ia mengangkat kepalanya dan menggeser posisinya supaya dapat memandang mataku.
“Tidak, Justin. Kau sama sekali tidak tahu apa yang hendak kukatakan ini,” katanya.
“Coba saja katakan,” kataku. Bibirnya bergetar. Dan derita pada sinar matanya begitu nyata, senyata sel-sel kangker yang sedang memakanku hidup-hidup dari dalam. Dan yang sesungguhnya, aku memang benar-benar tahu. Dan ya, aku amat marah waktu itu. Tapi aku sebenarnya lebih marah pada diriku sendiri daripada pada dirinya. Dan setelah aku menimbang semua opsi-opsiku, aku sadar bahwa aku tidak punya pilihan lain selain menerima hal itu. Terutama jika aku tidak ingin kehilangan Anna. Tidak, aku tidak ingin kehilangan dirinya. Dan iya, aku sudah lama menerima hal itu dengan hati lapang. Dan lagi, bukankah aku pernah berjanji padanya bahwa cintaku saja akan selalu cukup untuk kami berdua? Dan aku langsung menyesal telah menantangnya untuk memberitahuku hal yang satu ini. “Tunggu. Jangan. Jangan katakan. Karena aku sudah tahu,” kataku. Ia menggelengkan kepalanya lagi.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page