Dr. Benny Ang bertubuh kurus, tidak tinggi dan rambut hitamnya tidak disisir rapi. Dia sama sekali tidak tampak seperti seorang dokter. Tapi begitu ia mulai bicara, suara berat dan sinar mata cerdasnya berbicara banyak. Sambil memeriksa Justin, ia menanyakan beberapa pertanyaan dan lalu bertanya lebih banyak lagi saat ia membaca hasil tes darah Justin yang kami bawa dari Indonesia. Ia lalu meminta beberapa tes darah lagi, cukup banyak sampai perawatnya terbelalak melihat semua tanda centang yang dibuatnya pada formulir tes darah.
Aku menemani Justin ke lab untuk diambil darah. Ia lelaki dewasa tapi dalam urusan jarum suntik, ia seperti bayi. Dua kali saat ia menemaniku di ruang bersalin, dia hampir pingsan saat aku disuntik epidural. Kami lalu makan di Delifrance sambil menunggu hasil tes darahnya keluar. Aku memesan Chicken D’light, roti croissant berisi daging ayam cincang dan Justin memesan Egg D’vine dan kami saling berbagi. Jika aku tahu bahwa itu akan jadi makanan terakhir yang dapat kumakan dengan nikmat sampai beberapa waktu kemudian, aku mungkin akan memesan lebih banyak. Tapi saat itu aku tidak tahu.
Saat kami kembali ke ruang Dr. Ang, ia sedang membaca hasil tes darah Justin. Wajahnya ditekuk seolah hasilnya tidak masuk akal. Ia lalu mengambil highlighter untuk menandai beberapa angka di sana, menggumamkan sesuatu, lalu mengangkat wajahnya untuk memandang kami. Tapi ia tidak langsung berbicara. Ia tidak berbicara untuk waktu yang cukup lama seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat tapi tidak menemukannya. Saat itulah aku tahu ada yang tidak beres.
“Saya ...” ia memulai, tapi lalu terhenti. Ia memandang hasil tesnya lagi seolah ingin memastikan ia telah membacanya dengan benar. “Saya perlu memberi rujukan pada seorang rekanku,” katanya, “ia akan dapat menjelaskan ini dengan lebih baik dan juga akan dapat menjawab semua pertanyaanmu dengan lebih jelas.”
“A.. apa maksudmu?” tanya Justin. Aku memandangnya dan langsung menangkap sinar mata kuatirnya.
“Ada beberapa abnormalitas pada hasil tes darahmu. Salah satunya, kadar besi dalam darah terlalu tinggi. Karena ini sudah bukan ranah spesialisasiku, aku akan mengirimmu ke Dr Patrick Tan. Hari ini dia praktik di sini. Asistenku sedang melihat apakah ia dapat menyelipkanmu dalam jadwalnya,” katanya.
Begitu aku mendengar nama Dr Patrick Tan, hatiku langsung jatuh ke perut dan lalu ke lantai. Tahukah kamu hanya perlu waktu satu detik saja untuk memorak-porandakan hidup seseorang? Satu detik kau baik-baik saja, tapi detik berikutnya, karena sesuatu yang terjadi atau sesuatu yang kau dengar, tiba-tiba kau tidak lagi baik-baik saja. Pasalnya, adik salah satu temanku juga pergi ke Dr Patrick Tan. Ia sakit leukimia.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page