Kau tahu waktu sepanjang lima detik di setiap pagi hari ketika kau baru saja terbangun tapi belum benar-benar terbangun, saat di mana mimpi dan kenyataan seolah menyatu? Itu adalah saat terbaik dari hari-hariku karena hanya di saat itulah aku belum sadar bahwa Anna tidak lagi menjadi bagian dari hidupku. Bagaimana cara kau melupakan seseorang padahal seluruh alam semesta seolah bersikeras terus mengingatkanmu padanya? Saat aku menyisir rambut, aku teringat sensasi jemarinya pada rambutku. Saat aku melipat pakaian, aku ingat bagaimana ia suka menempelkan pakaianku pada pipinya. Saat aku keluar masuk pintu, aku inget bagaimana ia dulu berdiri di bawah bingkai pintu kantorku. Mungkin jika aku hanya diam dan tidak melakukan apapun baru aku tidak akan teringat dia. Tapi bahkan saat bernapas pun aku ingat saat-saat kami hanya duduk berpelukan tanpa berkata apa-apa dan hanya suara napas kami yang terdengar. Dan bagaimana saat kami berciuman ... Kau tahu, rasanya hanya ada satu cara yang dapat membuatku melupakan dirinya yaitu dengan membunuh diriku sendiri.
Tapi demi mama tentu aku tidak dapat melakukan itu. Dan aku juga tidak sebodoh atau segila itu. Paling tidak untuk saat ini. Jadi aku melakukan apapun untuk mengisi hari-hariku. Aku mengajar tiga kelas. Aku bekerja sukarela di pusat komunitas, di tempat penampungan tuna wisma dan di panti jompo. Aku belajar gitar walaupun aku tidak dapat membedakan nada. Aku pergi ke kelas melukis walaupun setiap kali aku menunjukkan hasil karyaku, gurunya tampak lebih gugup dari diriku. Lalu saat teman kuliahku, Benjamin, si kolumnis keuangan pribadi yang sedang naik daun bertanya apakah aku mau menulis buku berdua dengannya, aku langsung bilang iya walaupun aku tahu aku yang akan menulis 99% dari buku itu dan hanya akan dapat 25% dari royaltynya. Karena dia toh yang punya nama besar dan sejuta pengikut. Lalu saat bukunya laris, aku jadi terseret untuk pergi ke acara-acara pembahasan buku dan jumpa temu pembaca. Yah, kebanyakan Ben yang berbicara. Aku hanya duduk dan membantunya menjawab pertanyaan. Lalu karena dia sibuk mengerjakan hal besar lainnya, aku yang dikirim untuk hadir di acara-acara di kota-kota yang lebih kecil. Aku tidak masalah selama acara-acara itu tidak bentrok dengan kelas-kelas yang kuajar. Kupikir, semakin banyak hal yang kukerjakan berarti lebih sedikit waktu dan kesempatanku untuk memikirkan Anna.
Lalu beberapa penerbit di Asia menerjemahkan buku kami. Lalu tiba waktunya untuk mengadakan acara-acara di beberapa kota di Asia. Ben memilih untuk pergi ke Shanghai, Tokyo dan Singapura sementara ia menyuruhku pergi ke Kuala Lumpur dan ... Jakarta.
“Ben, kau boleh memberikan kota mana saja, yang paling tidak nyaman sekalipun tapi aku tidak bisa pergi ke Jakarta,” kataku.
“Maaf, Day, keluargaku tidak memperbolehkanku ke Jakarta. Kau tahu di sana situasi politiknya tidak selalu stabil,” katanya.
“Terus kau menyuruhKU untuk ke sana?” tanyaku.
“Kau belum punya istri dan anak jadi risiko seperti itu kecil buatmu,” katanya.
“Ben, Jakarta tidak separah itu. Percayalah. Aku pernah ke sana,” kataku.
“Nah apalagi kau pernah ke sana dan kau sendiri bilang di sana tidak parah. Jadi ya kau saja yang ke sana,” katanya. Aku mendesah. Bagaimana bisa hal yang kulakukan demi membuat diriku melupakan Anna pada akhirnya justru melakukan yang sebaliknya?
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page