Kampus sudah sepi karena semester musim panas sudah selesai minggu lalu. Kebanyakan dosen sudah memulai liburan mereka. Hanya staff administrasi yang masih ada untuk membereskan beberapa urusan. Dan seperti biasa aku selalu menggunakan waktu ini untuk membereskan kantor. Lebih mudah melakukannya saat tidak ada orang lain di gedung ini. Dan kebiasaan ini memberikan rasa damai di hatiku, membuatku siap menghadapi tahun ajaran baru yang akan datang. Aku sedang memindahkan beberapa pot tanaman di dekat pintu masuk, saat Prof. Lee masuk.
“Amanda, bisa bicara sebentar?” tanyanya.
“Tentu,” kataku. Kami berjalan ke mejaku. “Ada yang bisa kubantu?” tanyaku.
“Aku perlu memberitahumu bahwa aku tidak akan ada di sini di hari pertama semester musim gugur nanti tapi aku akan meninggalkan rekaman untuk diputar di ketiga kelasku hari itu,” katanya.
“Kau sudah dapat ijin dari Dean?” tanyaku sambil mengambil jarum rajutku untuk meneruskan syal yang sedang kubuat. Ia mengangguk. “Kau akan pergi berlibur?” tanyaku. Aku tahu itu bukan urusanku tapi memang ada alasannya kenapa aku dipanggil si maha tahu Amanda.
“Tidak,” katanya.
“Oh berarti ini acara yang berhubungan dengan bukumu lagi?” tanyaku. Cukup mengasyikan melihat Dayton di youtube, IG lives dan lainnya. Rasanya seperti mengenal seorang selebriti.
“Begitulah,” katanya.
“Ke mana kali ini?” tanyaku.
“Kuala Lumpur,” katanya.
“Sejauh itu! Waah!” kataku.
“...dan Jakarta,” tambahnya. Aku meletakkan rajutanku di atas meja dan memandangnya.
“Jakarta, Indonesia?” tanyaku. Dia mendesah seolah satu ton beban baru saja diletakkan di pundaknya. “Kenapa? Kau tidak ingin pergi ke sana?” tanyaku, berpura-pura tidak tahu walau aku sebenarnya tahu apa yang sedang berkecamuk di benaknya.
“Aku menolak tapi kata Ben aku harus pergi,” katanya.
“Ben tidak dapat membuatmu melakukan apa yang tidak ingin kau lakukan,” kataku. “Dan kupikir... harusnya kau punya keinginan pergi ke sana,” tambahku. Ia mendesah lebih panjang lagi, bahunya merosot. “Benar, tidak?” desakku.
“Aku tidak tahu, Amanda. Dan tidak penting apa yang kuinginkan,” katanya.
“Sudah... sudah tiga tahun kau tidak bertemu dengannya,” kataku.
“Tiga tahun, dua bulan, delapan hari,” katanya perlahan. Giliranku yang mendesah. Jelas sekali dia masih mengharapkan gadis itu.
“Kau tentu ingin menemuinya?” tanyaku. Ia hanya mengangkat bahu.
“Seperti yang kubilang, tidak penting apa yang kuinginkan,” katanya.
“Apakah dia...”
“Ya, dia sudah menikah. Dia punya seorang anak laki-laki,” katanya tanpa menanti aku menyelesaikan pertanyaanku.
“Kau tahu dari mana?” tanyaku.
“Ada di instagramnya,” katanya. Benar juga. Sekarang ini memang lebih mudah untuk mengetahui hal-hal seperti ini.
“Yah, kupikir tidak ada salahnya bila dua orang sahabat lama minum teh bersama,” kataku. Ia menggeleng.
“Kurasa bukan ide yang baik,” katanya.
“Oh ya, apakah kau butuh bantuanku untuk book tiket dan hotel?” tanyaku. Ia menggeleng.
“Penerbit sudah mengurusnya,” katanya. Aku menyodorkan selembar kertas dan pulpen ke hadapannya.
“Tolong tulis jadwalmu. Tanggal berapa ada di KL, tanggal berapa di Jakarta dan akan tinggal di hotel mana dan tanggal berapa mendarat di sini lagi jadi bila Dean Hueg atau pamanmu bertanya, aku bisa menjawab,” kataku. Ia menuliskannya dan menyodorkan kertas itu kepadaku.
“Semoga musim panasmu menyenangkan, Amanda,” katanya sambil berdiri.
“Kau juga,” kataku. Dan seraya aku melihatnya berjalan keluar gedung dengan lesu, aku mulai berpikir apakah ada yang dapat kulakukan tentang urusan ini.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page