Tentu saja aku senang akan pulang. Sangat senang! Dan itu karena aku membawa pulang Anna bersamaku. Dan kali ini dia pulang bukan hanya untuk liburan. Ia pulang untuk tinggal di Indonesia. Tidak ada lagi omong kosong tentang menikah dengan si profesor yang tidak berguna itu. Pria macam apa yang tidak menemani tunangannya pulang saat kakak si tunangan meninggal? Anna patut mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari dia. Seseorang seperti diriku.
Tidak perlu waktu lama untuk mengantarkan mobil Anna ke dealer mobil. Dari dealer mobil aku naik grab kembali ke apartemen kami. Aku memeriksa kedua apartemen kami untuk terakhir kalinya. Lalu aku memasukkan ke empat kopor, tiga miliknya dan satu milikku, ke dalam mobilku. Untung saja aku menyewa mobil yang agak besar. Setelah itu aku mengembalikan kunci apartemen ke kantornya. Kantor itu sudah tutup tapi aku sudah memberitahu managernya tadi bahwa kami akan meninggalkan kunci di dalam kotaknya. Dari sana aku pergi membeli makan malam di Kirin, sebuah restoran di Mountain View. Hatiku begitu gembira sampai aku bersiul-siul saat menyetir menuju apartemen Dina. Aku benar-benar akan pulang dengan Anna! Aku sudah hampir masuk ke komplek apartemen ketika aku melihat dirinya. Dia baru keluar dari mobil Subaru Impreza. Mobil Dina bukan Subaru. Dan sepanjang yang kutahu, tidak ada teman Anna yang mengendarai Subaru. Berarti mungkin itu mobil grab. Tapi kenapa Anna dan Dina harus menggunakan Grab? Ke mana mereka pergi? Lalu kuperhatikan bahwa tidak ada Dina. Hanya Anna seorang diri. Aku cepat-cepat memarkir mobilku di tepi jalan. Aku sengaja tidak menyetir masuk ke komplek karena instingku mengatakan sebaiknya Anna tidak tahu aku melihatnya. Aku mengikuti Anna dari kejauhan. Dia memang masuk ke komplek Dina dan berjalan menuju apartemen Dina. Ketika tiba di sana, ia mengetuk pintunya dan Dina membukakannya. Lima menit kemudian aku baru berjalan ke pintu Dina dan mengetuknya juga. Dina membukanya dan aku melihat dia sedikit gugup seolah tidak menyangka aku tiba secepat itu.
“Ayam saus lemon, daging dengan brokoli dan ... nasi goreng ayam dan ikan asin!” kataku. Dina dan Anna dua-duanya adalah penggemar nasi goreng ayam dan ikan asin dari Kirin. Dina membiarkanku masuk. Anna sedang duduk di sofa. Aku berjalan ke arah meja makan Dina. Mereka berdua mengikutiku. “Jadi, apa yang kalian lakukan tadi? Sempat keluar?” tanyaku dengan nada sambil lalu seolah aku hanya sedang membuat percakapan biasa walaupun aku begitu ingin tahu jawabannya.
“Kami tidak ke mana-mana. Hanya di sini saja,” kata Dina.
“Hanya di sini? Tidak bosan? Apa yang kalian lakukan?” tanyaku lagi.
“Yah, hanya ngobrol saja. Dan nonton ... ini itu,” kata Anna. Dia bohong. Dan karena itu aku langsung tahu dia habis dari mana. Dan hatiku begitu sakit. Aku menarik napas panjang dan menimbang-nimbang apakah aku harus melabraknya. Tapi aku pernah mendengar nasihat dari seorang bijak yang mengatakan bahwa jangan pernah mengalihkan pandanganmu dari sasaranmu[1]. Aku memandang Anna. Dalam beberapa jam lagi gadis ini akan terbang mengarungi samudra bersamaku. Dan setelah kami mendarat, tidak akan ada lagi yang dapat menghalangiku. Dia akan jadi milikku. Itu saja yang penting. Jadi aku pun tersenyum dan mulai menyendokkan nasi goreng ayam dan ikan asin itu ke atas piringnya.
[1] “You keep your eyes on the prize, you try to do what's right, and eventually, you'll reach your goal.” Eric Holder
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page