Aku mencintai Dayton. Sangat. Aku mau menghabiskan
seluruh sisa hidupku bersamanya. Apakah itu egois? Dia adalah cinta sejatiku. Kenapa
aku tidak boleh mengutamakan diriku sendiri? Aku benci Amos. Aku benci dia
karena dia meninggal begitu saja. Kenapa juga dia harus menyetir di tengah
malam seperti itu? Dia sama sekali tidak memikirkan aku, atau orang tua kami.
Bukankah membahayakan dirinya seperti itu saat begitu banyak orang membutuhkan
dirinya itu egois namanya? Aku benci orang tuaku. Aku benci karena mereka hanya
punya dua anak. Mungkin mereka terlalu malas untuk punya dan membesarkan lebih
banyak anak. Apakah mereka tidak sadar bahwa meletakkan tuntutan yang begitu
besar di pundak dua anak itu egois? Aku juga benci Dayton karena dia orang
Amerika. Itu memang bukan salahnya. Dan dia tidak pernah berniat membuatku
berada di posisi sulit seperti ini. Tapi memang begitu kenyataannya. Dan lalu
aku sadar bahwa aku tidak bisa menyalahkan semua orang itu. Tidak ada yang
dapat kusalahkan. Tidak Amos, tidak orang tuaku, tidak Dayton. Aku bahkan tidak dapat
menyalahkan diriku sendiri. Dan ini membuatku semakin marah. Dan aku terus
berayun di antara menyalahkan Tuhan karena telah membiarkan semua ini terjadi
dan memohon padaNya untuk memaafkanku karena telah menyalahkanNya. Aku juga
terus bertanya-tanya apakah Dia sengaja mengambil Amos sebagai hukuman karena
aku telah dengan egoisnya memutuskan untuk tidak pulang setelah lulus nanti.
Ponselku bergetar. Nomor mama terera di sana. Aku
menekan tombol tolak. Tapi lalu ponsel itu bergetar lagi. Aku mendesah tapi
kali ini aku menekan tombol terima.
“Anna?” kata mama.
“Ya, Ma,” kataku,
“Tentang bunganya. Kau bilang kau mau anyelir. Tapi
kata si tukang bunga pasokan anyelir itu tidak konsisten. Dia mengusulkan daisy
saja. Ada yang merah muda. Bagaimana, sayang?” tanyanya.
“Baik, Ma, boleh,” kataku.
“Baik. Dan untuk kain dekor yang akan menutupi tembok.
Kau bilang kau mau warna perak. Tapi kata si vendor dekor, perak itu terlalu
gemerlap jadi tidak bagus di foto. Dia mengusulkan satin warna mutiara. Katanya
bunga merah muda akan terlihat lebih baik dengan dasar putih mutiara. Apa
pendapatmu?” tanyanya.
“Ok, Ma,” kataku.
“Baiklah. Oh ya, perubahan warna kain dekor ini tidak
akan mempengaruhi warna pakaian keluarga. Jadi tetap dengan warna lavender. Oh
ya, apakah mama Dayton sudah mengabari apakah dia akan beli baju sendiri di
sana atau harus dijahitkan di sini?”tanyanya.
“Aku tidak tahu, Ma. Nanti kutanyakan,” kataku.
“Baiklah. Tapi harus secepatnya. Waktu tinggal tiga
bulan lagi dan si penjahit perlu waktu karena ada banyak gaun yang harus
dijahit. Dia bahkan belum mulai membuat baju penggiringmu. Dia masih menunggu
ukuran Dina. Bisakah kau mengingatkan Dina untuk cepat membalas email si
penjahit?”
“Baik, Ma,” kataku.
“Baik. Sekarang kue. Kau bilang kau mau red velvet.
Tapi kata si tukang kuenya ...,”
“Ma, ini bahasnya boleh besok?” tanyaku.
“Oh, di sana jam berapa ya? Apakah sudah terlalu malam?
Apakah aku salah menghitung perbedaan waktu lagi?” tanyanya.
“Bukan, Ma. Aku.. aku mau makan malam dulu dan aku
masih punya tugas yang harus kukerjakan,” kataku. Sebenarnya tidak ada. Aku
sudah menyelesaikan tugasku.
“Oh, baiklah jika begitu, kita lanjutkan besok,”
katanya. Aku mematikan ponselku. Lalu sebuah kesadaran datang secara tiba-tiba,
menghantamku seperti gelombang tsunami. Kedua orang tuaku tidak pernah
sekalipun memintaku membatalkan pernikahanku. Dan mamaku, mamaku yang masih
depresi karena ditinggal Amos, masih memaksa dirinya mengurus semua persiapan
pernikahanku. Sebegitu tidak egoisnya dia dan sebegitu egoisnya diriku. Aku menangis.
Lalu aku menyadari satu hal lagi. Aku sama sekali tidak peduli atas jenis bunga
yang akan dipajang di pernikahanku, aku juga sama sekali tidak peduli apakah
kain yang digantung berwarna perak atau mutiara, aku juga tidak peduli lagi
apakah kuenya red velvet atau rasa lain. Aku tidak peduli. Karena aku tahu aku
tidak akan pernah dapat memaafkan diriku sendiri jika aku membiarkan pernikahan
ini tetap berjalan. Aku menekan nomor mama. Ia mengangkat ponselnya setelah
satu deringan.
“Ma?” kataku.
“Ya, sayang,” katanya.
“Tolong... tolong batalkan semuanya,” kataku.
“Apa.. apa maksudmu?” tanyanya. Aku tidak dapat menjawab. Aku mulai menangis.
“Oh, Anna,”
katanya. Aku dapat mendengar keputusasaan di dalam suaranya. Keputusasaan
yang diderita seorang ibu saat ia tidak dapat berada di sisi anak perempuannya
saat anak itu membutuhkannya. Keputusasaan yang diderita seorang ibu saat tidak
ada lagi yang dapat dilakukannya.
“Ma, aku tidak bisa menikah dengannya,” kataku
akhirnya.
“Apakah kau yakin, sayang?” tanyanya. Aku dapat
mendengar harapan pada suaranya. Tapi juga perasaan bersalah.
“Ya. Aku akan membatalkannya,” kataku.
“Mungkin..
mungkin kau harus memikirkannya dulu, sayang. Tidur dulu. Jangan membuat keputusan tergesa-gesa. Besok
bisa kita bicarakan lagi,” katanya.
“Tidak, Ma. Aku sudah selesai berpikir. Batalkan
semuanya,” kataku. Dan mungkin ia menangkap keputusan di dalam nada bicaraku
sehingga dia tidak bertanya apa-apa lagi.
“Baiklah, sayang,” katanya.
“Sudah ya, Ma,” kataku.
“Ya. Jika kau masih mau bicara nanti, telpon lagi, ya,”
katanya. Aku memutuskan hubungan dan mulai menangis lagi. Entah berapa lama aku
menangis. Tapi aku tahu masih ada satu hal yang harus kulakukan. Aku memandang
cincin pada jariku. Airmata membuat pandanganku buram. Aku melepaskan cincin
itu. Lalu aku mengambil secarik kertas dan mulai menulis. Aku menulis untuk
memberitahu Dayton bahwa aku akan selalu ingat kali pertama aku melihatnya. Aku
menulis untuk memberitahunya bahwa setelah ini, kemana pun kehidupan membawaku,
aku tak mungkin melupakannya. Aku menulis untuk memberitahunya bahwa tidak akan
pernah aku menyesal telah menjadi bagian dari hidupnya. Tapi aku juga
memberitahunya bahwa aku tidak lagi bisa menjadi itu. Dan kuberitahu juga bahwa
suatu hari nanti akan ada seorang wanita yang sangat beruntung yang akan
mengenakan cincin ini. Dan aku begitu sedih karena aku bukan wanita itu.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page