Harus kuakui sejak Anna kembali dari Jakarta, ia bukan
gadis yang sama. Kehilangan orang yang kau cintai memang akan mengubahmu seolah
ada bagian dari dirimu yang tak lagi kau kenali. Kau tidak dapat lagi kembali
ke keadaan normal. Yang dapat kau lakukan hanyalan mencoba mencari keadaan
normal yang baru dan mencoba melanjutkan hidupmu dari sana. Anna jadi sering
terdiam seolah ada bagian baru di dalam benaknya yang sedang dicobanya untuk
mengerti. Kami masih melakukan hal-hal yang sering kami lakukan. Kami pergi
menonton film, kami pergi makan atau pergi ke tempat lainnya. Kami menghabiskan
waktu bersama-sama di tempatnya atau di tempatku. Kami mengerjakan cucian di
akhir minggu. Tapi kenyamanan yang dulu menyelimuti kami seperti selimut tebal
telah menjadi tipis dan rapuh. Kami seolah harus berjingkat-jingkat karena
takut mengatakan hal yang salah seolah kebersamaan kami adalah rumah yang
terbuat dari kartu yang akan langsung ambruk bila tersentuh sedikit saja.
Justin terus mendesakku untuk putus dengan Anna. Ia
tidak berhak. Tapi ia memang benar tentang satu hal. Jika Anna dan keluarganya
sampai tahu masa laluku, pandangan mereka atas diriku akan selamanya berubah.
Setelah apa yang kulakukan, mereka akan menganggapku lintah yang sengaja
menempelkan diriku pada Anna hanya karena ia berasal dari keluarga kaya. Aku
tidak dapat membiarkan itu terjadi. Aku sebenarnya heran kenapa Justin tidak
langsung saja membocorkan masa laluku pada Anna. Ia begitu menginginkan kami
putus dan bila ia memberi tahu Anna, yang diinginkannya akan langsung
terlaksana. Mungkin dia pria yang baik. Mungkin aku hanya menolak melihatnya
seperti itu hanya karena ia adalah sainganku.
Yang sejujurnya, aku tak dapat melakukannya. Aku tak
mampu meninggalkan Anna. Aku telah mencoba. Sungguh. Banyak kali. Aku
mengajaknya ke observatory tempat dulu kami melihat bintang. Kupikir tentunya
tempat itu cocok untuk kencan terakhir kami. Tapi saat aku menciumnya, aku
tidak ingin itu menjadi ciuman kami yang terakhir. Aku tidak ingin kencan itu
menjadi kencan kami yang terakhir. Aku tidak ingin hari itu menjadi hari
terakhir bagi kami sebagai sepasang kekasih karena aku tidak akan tahu caranya
menghadapi hari esok tanpa dirinya. Lalu kupikir sebaiknya aku menunggu setelah
ujian akhir semester. Aku mengajak Anna ke Twin Peaks sehari setelah ujian
selesai. Tapi seraya kami memandang kota San Francisco di bawah sana,
satu-satunya yang mampu kukatakan padanya adalah fakta bahwa aku akan
mencintainya selamanya. Lalu kupikir aku akan melakukannya di akhir liburan
musim semi, sebelum semester musim semi dimulai. Tapi saat ia berada di
pelukanku saat kami menonton Netflix, yang kupikirkan adalah betapa aku ingin
melakukan ini saat aku sudah tua nanti, saling berpelukan di sofa sambil
menonton apapun yang biasa ditonton orang tua pada saat itu. Hanya tinggal
sepuluh minggu sebelum wisuda. Mungkin sebaiknya kulakukan setelah wisuda? Aku
mendesah. Memang tidak akan pernah ada
waktu yang tepat untuk memutuskan sebuah hubungan. Aku memandang jam dinding dan sadar bahwa aku
harus segera tidur karena harus mengajar esok pagi. Saat aku berdiri, pintuku
diketuk. Aku mengintip melalui lubang intip pada pintu tapi tidak dapat melihat
apa-apa. Aku membuka pintu dan melihat ternyata lubang intip itu tertutup
tanah. Tidak ada siap-siapa di luar. Tapi di lantai tepat di depan pintuku
tergeletak sebuah kotak kecil polos dengan namaku tertulis di atasnya. Dan aku
langsung mengenal tulisan tangan itu. Tulisan Anna.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page