Perlahan tapi pasti, rencanaku mulai terlaksana. Aku
sudah mempengaruhi pikiran Anna dan papanya. Yah, sebenarnya yang kuselipkan ke
benak mereka itu bukan ideku. Mereka sudah punya pikiran itu di benak mereka sendiri.
Aku hanya mendorong mereka ke arah yang benar. Aku masih punya satu orang lagi
untuk kupengaruhi dan ini tidak mudah. Tapi aku masih punya senjata rahasia.
Jadi di sinilah diriku, menunggu si profesor di depan gedung kantornya.
Sekertarisnya, seorang wanita dengan style fashion yang buruk yang terlihat
suka mencampuri urusan orang lain, menyuruhku menunggu di dalam kantor Dayton
karena kelas terakhirnya untuk hari ini akan berakhir lima belas menit lagi.
Tapi aku memilih untuk menunggu di luar sini. Musim semi toh sudah hampir tiba.
Ia berjalan dengan cepat ke arahku sambil membawa
setumpuk file berisi kertas. Baru setelah ia berada beberapa langkah dari pintu
dia sadar itu aku yang berdiri di sana.
“Justin,” katanya.
“Dayton,” jawabku.
“Apakah... Anna baik-baik saja?”tanyanya dan kurasa itu
lucu kenapa dia, tunangan Anna, harus bertanya padaku tentang keadaan Anna.
“Ya, dia baik-baik saja,” kataku sambil melirik ke jam
tanganku. “Harusnya sekarang ini dia sudah tiba di rumah,” kataku.
“Oh, jadi kau ke sini bukan karena ada yang terjadi padanya?”
tanyanya.
“Bukan,” kataku.
“Jadi apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya. Rupanya
dia bahkan tidak merasa perlu berpura-pura ramah padaku.
“Aku kesini untuk membicarakan Anna,” kataku. Ia masuk
ke gedung dan aku mengikutinya. Si sekertaris mengamati kami dengan pandangan
ingin tahunya. Aku hanya tersenyum padanya. Aku mengikuti Dayton ke dalam
kantor kecilnya. Aku mengamati kantor itu. Entah berapa kali Anna berada di
ruangan ini bersama dirinya. Aku mengusir bayangan itu. Aku tidak mau membayangkan
Anna berduaan dengan dirinya.
“Duduk,” katanya sambil meletakkan tumpukan file di
atas mejanya. Ada beberapa bingkai foto di atas meja itu. Salah satunya berisi
Anna dan dirinya. Aku melihat ke arah lain.
“Apakah kau mencintai Anna?” tanyaku langsung pada
sasaran. Dayton melepaskan jaketnya dan duduk.
“Tentu saja,” jawabnya.
“Seberapa besar?” tanyaku.
“Boleh kutahu arah percakapan ini?” tanyanya.
“Dengan skala 1 sampai 10, seberapa besar cintamu
padanya?” desakku.
“Seratus,” katanya.
“Dengan kata lain, kau amat sangat mencintainya,”
kataku.
“Ya, bisa dibilang seperti itu,”katanya.
“Apakah cintamu padanya cukup besar sampai kau rela
mengorbankan kebahagiaanmu demi kebahagiannya?” tanyaku. Ia tidak langsung
menjawab.
“Apa maksud dari semua ini?” tanyanya.
“Harusnya sekarang-sekarang ini kau sudah punya
perasaan bahwa... Anna sedang mempertimbangkan untuk putus denganmu,” kataku.
“Dia bilang itu padamu?” tanyanya.
“Tidak tepat seperti itu kata-katanya. Tapi ia terus
terombang-ambing di antara tinggal di sini bersamamu atau pulang supaya dapat
bersama-sama dengan orang tuanya. Kau tahu di dalam situasi seperti ini, Anna
adalah satu-satunya yang dapat membantu papanya dengan bisnis keluarga mereka,
bukan? Dan kita bahkan belum membahas depresi yang diderita mamanya. Apakah
Anna bilang bahwa sewaktu dia berangkat ke sini, orang tuanya terlalu sedih
sampai tidak dapat mengantarnya ke bandara?” tanyaku. Dayton melepaskan
kacamatanya untuk memijit pangkal hidung dan keningnya.
“Tolong jangan berbicara berputar-putar, Justin. Apa
maumu?,” tanyanya sambil memakai kacamatanya lagi. Aku hanya menangkat bahu.
“Aku tidak mau apa-apa. Aku hanya merasa bahwa kau
patut sadar bahwa saat ini kau tengah meletakkan Anna di posisi yang amat
sulit. Kau memaksanya memilih dan apapun yang dipilihnya, dia akan merasa
berasalah,” kataku.
“Ini urusanku dengan Anna. Kau tidak berhak untuk ikut
campur,” katanya.
“Kau benar. Tapi aku ingin kau memikirkan apa yang akan
kukatakan ini. Jika karena satu dan lain hal kau tidak dapat bersama-sama
dengan Anna, aku yakin kau ingin dia tetap mengagumi dirimu. Aku yakin kau
ingin dia mengingatmu sebagai pria yang penuh kasih, pria yang baik, pria yang jujur
dan bukan seorang yang egois dan tidak dapat dipercaya,” kataku. Aku lalu mengeluarkan
beberapa lembar kertas dari saku jaketku dan meletakkannya di atas mejanya.
“Apa ini?” tanyanya.
“Hanya beberapa printout berita lama dan dokumen
tentang bagaimana kau dipecat dari pekerjaanmu di pesisir timur. Bukan sesuatu
yang baru untukmu, tapi ini pastinya sesuatu yang baru bagi Anna,” kataku. Mata
Dayton melebar. Ia mengambil kertas itu dan mulai memindainya. “Apakah Anna
pernah heran kenapa seseorang dengan gelar Doktor dari universitas terkenal
seperti dirimu mau mengajar di kolese kecil seperti Foothill ini? Karena
kubayangkan mudah bagi seseorang dengan sebaris gelar seperti dirimu untuk
mendapatkan pekerjaan di Wall Street di mana uang mengalir seperti air,”
kataku.
“Dari mana kau dapat ini?” tanyanya.
“Sebagian tersedia di internet tapi aku memang
mempekerjakan seorang detektif,” kataku.
“Kau melakukan ini supaya Anna meninggalkanku karena
kau menginginkannya untuk dirimu sendiri!” katanya.
“Hei, kita ini tidak sedang membicarakan diriku. Kita
sedang membicarakan dirimu. Kau harus akui bahwa ... bila kau benar-benar
meletakkan kepentingan Anna di atas kepentinganmu sendiri, kau pasti sudah
sadar bahwa kau bukan orang yang tepat untuknya,” kataku. Dan aku diam sejenak
untuk membiarkan kalimat tadi bergema di dalam benak dan hatinya. Lalu aku
mencondongkan tubuhku ke arahnya sebagai tanda bahwa apa yang hendak kukatakan
berikutnya adalah sesuatu yang sangat penting. “Dayton, jika kau merelakan
Anna, dia akan selamanya berpikir bahwa kau telah mengorbankan kebahagiaanmu
demi dia. Selamanya dia akan mengagung-agungkanmu sebagai orang seperti itu,”
kataku. Aku lalu berdiri dan berjalan ke pintunya. Tapi sebelum aku keluar, aku
sekali lagi menoleh ke arahnya. “Dan aku akan bersumpah bahwa sampai kapanpun,
dia tidak akan pernah tahu bahwa kau pernah menjual integritasmu demi uang. Dia
tidak akan pernah tahu bahwa kau sudah menyebabkan begitu banyak keluarga
kehilangan uang simpanan dan uang pensiun mereka hanya karena mereka membeli
investasi jeblok yang angkanya sudah kau sulap jadi bagus,” kataku. Dengan itu,
aku meninggalkan dirinya untuk bergumul dengan pikirannya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page