Aku pernah mendengar ada sejenis siksaan jaman kuno di
China di mana kedua tangan dan kaki orang yang disiksa itu diikat pada empat
kuda yang berbeda, lalu kuda itu disuruh lari ke empat jurusan yang berbeda
sampai tubuh si tersiksa terbelah menjadi empat. Saat tiba waktuku untuk
terbang kembali ke Amerika, seperti itu rasanya hatiku. Aku tahu bahwa
meninggalkan orang tuaku itu salah. Tapi lalu ada Dayton. Paling tidak semua
setuju bahwa aku harus menyelesaikan kuliahku. Tidak ada untungnya putus kuliah
dan itu sudah pasti bukan hal yang diinginkan Amos. Amos pasti menginginkan
kami semua melanjutkan hidup. Tapi seperti apa hidup tanpa dirinya? Apa itu
hidup bila kau tercabik di antara keluargamu dan kekasihmu?
“Kau sudah memberitahu Dayton untuk menjemput kita?”
tanya Justin. Kami sedang transit di Tokyo, menantikan penerbangan lanjutan ke
San Francisco. Aku menangguk. Aku masih belum terlalu mengerti kenapa Justin
tiba-tiba jadi tinggal di komplek apartemenku. Dia hanya pernah menjelaskan
sepintas bahwa dia harus bernegosiasi dengan beberapa pabrik di Amerika yang
produknya akan didistribusikan di Indonesia. Apapun alasannya, aku berterima
kasih ada dia. Dia begitu banyak membantuku dan keluargaku dan harus kuakui,
akhir-akhir ini dia telah menjadi satu hal yang pasti di dalam hidupku,
seseorang yang selalu dapat kuandalkan. Justin berdiri dan berjalan ke vending
machine di dekat sana. Ia membeli dua botol teh tawar dan membuka sebuah
untukku. Ia bahkan ingat aku tidak suka teh yang manis. “Kau masih sedih karena
orang tuamu tidak mengantarmu ke bandara, ya?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Tidak. Memang sebaiknya mereka di rumah saja. Jika
mereka mengantarku, mereka akan tambah sedih,” kataku. Tapi yang sebenarnya,
aku memang sedih karena di saat kedua orang tuaku sedang terlalu sedih untuk
keluar rumah, aku malah terbang jauh dari mereka dan bukannya bersama-sama
mereka.
“Mamaku akan menelpon mamamu setiap hari. Dan aku akan
mengingatkan sekertaris papamu untuk membuat janji dengan si psikiater
bernama Dr Yossy itu. Banyak yang
merekomendasikan dia. Dia pasti bisa membantu mama dan papamu mengatasi kesedihan
ini,” katanya. Aku mengangguk dan lagi-lagi begitu bersyukur dirinya ada di
sana. “Kau tahu, papaku dulu pernah bilang bahwa setiap keluarga harusnya punya
empat anak. Satu untuk si papa, satu untuk si mama, satu untuk negara dan satu
untuk ... cadangan. Itu berarti di keluargaku, aku hanya anak cadangan. Haha,”
katanya. Aku tersenyum. Itu satu hal lagi yang kusuka dari Justin. Ia selalu
berhasil membuatku tersenyum. Tapi lalu setelah itu aku jadi terus memikirkan
yang dikatakannya. Orangtuaku hanya punya dua anak. Dan sekarang tinggal satu.
Aku. Dan jika aku tinggal di Amerika nanti, mereka tidak akan punya siapa-siapa
lagi. Air mataku merebak dan tak dapat kutahan. Aku mulai menangis. Pertamanya
tanpa suara. Tapi lalu aku mulai terisak-isak. Kesedihan di dalam diriku begitu
besar seolah ada sumur tanpa dasar di dalam diriku yang berisi kesedihan dan
terus tertumpah keluar. Justin mendekatkan dirinya dan menarikku ke dalam
pelukannya. Tangisku mengeras. Aku melepaskan diri untuk meraih tasku. Tapi sebelum
aku membukanya, Justin sudah mengeluarkan sebungkus tisu dari sakunya dan
memberikannya padaku. Aku menerimanya. Ia menarikku kembali ke dalam pelukannya
dan membiarkan diriku menangis di sana selama yang kubutuhkan.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page