Dia menciumku seolah dia telah menantikan ciuman yang
satu ini seumur hidupnya. Ia menciumku seolah ingin memberikan kehangatan semua
bintang di atas sana kepadaku. Ia menciumku seolah untuk membayar semua waktu
yang hilang saat kami tidak berada di dalam pelukan masing-masing, tidak berada
di dalam kehidupan masing-masing. Dan aku hanya bisa meleleh di dalam
dekapannya sampai aku tak dapat lagi menemukan batasan di antara kami.
“Anna,” ia membisikkan namaku.
“Aku di sini,” kataku. Ia lalu berhenti menciumku untuk
memandang mataku.
“Aku senang kau ada di sini,” katanya.
“Aku juga senang,” kataku.
“Aku mau tanya,” katanya.
“Apa?” tanyaku.
“Apakah... apakah kau benar sayang padaku?” katanya.
“Ya,” kataku.
“Sungguh?”
“Sungguh.”
“Aku ... aku juga benar-benar menyayangimu,” katanya.
“Aku tahu,” kataku.
“Aku ...belum pernah mencintai seseorang seperti ini,
dan aku yakin tidak akan pernah lagi,” katanya. Ia lalu memasukkan tangan
kanannya ke dalam saku celananya dan mengeluarkan sesuatu yang kecil yang tak
dapat langsung kulihat. Tapi saat ia mulai berlutut di hadapanku, aku langsung
tahu apa yang sedang dilakukannya. Aku begitu terkejut. Aku tahu kami saling
mencintai. Tapi aku tidak siap untuk hal seperti ini dan tadinya kupikir ia
juga belum. Tapi lalu aku ingat apa yang Izzy katakan padaku, tentang peraturan warisan neneknya.
“Dayton? Apa yang kau lakukan?” tanyaku. Suaraku
bergetar. “Tolong berdirilah,” kataku sambil mencoba menariknya berdiri. Tentu
saja aku tidak cukup kuat.
“Anna, tolong dengarkan aku,” katanya sambil memegang
sebentuk cincin dengan kedua tangannya. Ia mengangkat cincin itu supaya aku
dapat melihatnya. Tapi aku tidak ingin melihatnya. Aku tidak mau mendengarkan
apa yang dikatakannya. Aku tahu apa yang hendak ditanya olehnya dan sedihnya,
aku juga tahu kenapa ia melakukan ini dan itu memuakkanku. Aku begitu kecewa.
Tadinya kupikir dia ... berbeda. Kukira dia benar-benar mencintaiku. Tapi
rupanya tidak. Rupaya dia hanya berencana untuk menggunakan diriku. Dan
tiba-tiba aku merasa begitu bodoh, begitu naif. Dan begitu terluka.
“Mengapa... kau melakukan ini?” tanyaku. Aku dapat
melihat kebingungan di mata Dayton. Tentu saja ini bukan reaksi yang kau
harapkan dari kekasihmu saat kau sedang berlutut sambil memegang sebentuk
cincin.
“Anna? Apa... apa maksudmu? Aku... “ tapi ia tidak
sempat menyelesaikan kalimatnya karena aku sudah mulai berlari. “Anna, kau mau
ke mana?” panggilnya. Ia berdiri dan meraih tanganku. Tapi aku berhasil
mengibaskannya. Aku mengambil tasku yang tergeletak di atas selimut piknik dan
berlari secepat kubisa ke arah tangga seolah alarm kebakaran telah berbunyi.
“Anna!” panggilnya lagi. Ia hanya beberapa langkah di belakangku. Dan setelah
kami tiba di lantai bawah, ia berhasil memegang lenganku. Aku memberontak tapi
kali ini ia tidak melepaskan pegangannya.
“Lepaskan aku,” kataku. Ia terkejut.
“Apa..apakah aku telah berbuat sesuatu?” tanyanya.
“Kau tadi... kau tadi hendak melamarku, bukan?”
tanyaku.
“Iya, memang seperti itu. Tapi lalu kau lari seolah aku
ini...menjijikkan,” katanya. Aku merasakan butiran air mata menumpuk pada sudut
mataku.
“Aku... aku ingin pulang,” kataku.
“Paling tidak biar kuantar,” katanya. Aku memandangnya
dan mengangguk. “Kau tunggu di sini sebentar biar ku ambil barang-barang di
atas?” tanyanya. Aku menangguk lagi.
Tapi begitu ia menghilang di atas anak-anak tangga, aku
berlari keluar. Dan walaupun langit malam musim semi menaburkan sejuta kerlip,
hatiku segelap jurang derita.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page