Aku tidak sengaja tahu bahwa si pencuri monyet sedang
melewatkan liburan musim panasnya di Jakarta. Ya, betul! Si pencuri monyet yang
itu! Yang dulu mencuri boneka monyetku waktu aku kecil. Yah, lagi-lagi memang
aku yang memberikan boneka itu padanya. Tapi saat itu aku memang tidak punya
pilihan, bukan? Jadi aku sedang berbicara di telpon dengan Amos tentang
pengiriman sabun Goodlife yang harusnya dikirim minggu lalu, kemudian ia
memintaku untuk menunggu sebentar karena dia harus berbicara dengan seseorang yang
masuk ke ruangan kantornya. Aku memang hanya mendengar suara itu samar-samar,
tapi aku tahu itu dia. Jangan tanya bagaimana aku bisa tahu. Aku tahu saja.
“Maaf kita jadi terpotong,” kata Amos.
“Nggak apa. Kalo itu penting, aku bisa telpon lagi
nanti,” kataku, mencoba mengorek lebih banyak informasi darinya.
“Oh tidak apa. Itu tadi hanya adikku, Anna. Kau pernah
bertemu dengannya ...”
“Tahun lalu di kantormu,” kataku menyelesaikan kalimat
Amos.
“Ya, benar,” katanya.
“Dia sedang liburan musim panas ya?” tanyaku.
“Iya. Tapi dia tidak seperti orang yang sedang iburan,”
katanya.
“Maksudmu?”
“Sedih, ngambekan, tak tahu lah,” katanya.
“Dia bilang kenapa?” tanyaku.
“Urusan cowok. Panjang ceritanya. Aku tidak mau
membuatmu bosan,” katanya.
“Dia kuliah di Foothil, bukan?” tanyaku.
“Dia sudah transfer ke SCU sekarang. Tapi ya, dia
tadinya di Foothill,” katanya.
“Boleh aku minta nomor ponselnya? Adik temanku ada yang
sedang galau antara Foothill atau De Anza,” kataku. Tentu saja ini hanya
bikin-bikinanku. Tidak ada yang sedang galau.
“Hm... dua itu memang
kolese yang banyak disukai di California utara,” katanya.
“Ya. Mungkin dia bisa
tanya pendapat Anna?” tanyaku. Amos percaya dan ia memberikan nomor Anna
padaku.
Waktu aku menjemput Anna seminggu kemudian – aku tidak
langsung menghubunginya karena aku perlu merencanakan sesuatu dulu – dia bukan
gadis penuh kehidupan yang kuingat. Kilat matanya sudah hilang, langkah
ringannya tidak ada dan ia tidak tersenyum barang sekalipun selama perjalanan
ke restoran. Dan fakta bahwa aku begitu sedih melihatnya seperti ini
mengejutkan diriku sendiri. Kenapa aku begitu ingin melihatnya tersenyum?
Di restoran dia memandang menu seolah lembaran itu
hanyalah lembaran koran lama yang lusuh. Dan waktu aku bilang aku baru dikabari
bahwa temanku dan adiknya tidak jadi bisa datang karena ada acara mendadak –
yah, memang sebenarnya tidak ada teman dan adik yang akan bergabung, tapi dia tentu
tidak tahu itu – ia hanya mengangkat bahu seolah apapun yang terjadi di dunia
sekitarnya tidak menarik perhatiannya lagi. Aku bertanya tentang Foothill,
apakah ia menyukainya, kelas apa yang paling disukainya dan lainnya sambil
berpura-pura bahwa aku akan menyampaikan informasi itu ke temanku dan adiknya
yang tidak benar-benar ada itu. Ia berusaha menjawab dengan lengkap tapi dapat
kulihat bahwa pikirannya tidak ada di sini. Setelah makan aku seharusnya
mengantarnya pulang. Tapi aku tentu punya rencana lain.
“Anna, aku perlu mampir untuk mengamati satu acara
kantor. Di dekat sini. Apakah kau keberatan?”tanyaku seraya mobil yang kusetir
meninggalkan lapangan parkir restoran.
“Tidak,”katanya sambil memandang ke luar jendela seolah
aku sama pentingnya dengan daun kering yang tergeletak di jalanan.
“Acara ini sebenarnya tentang salah satu produkmu,”
kataku.
“Maksudmu?” tanyanya sambil memandangku. Paling tidak
sekarang aku lebih penting daripada daun kering menyedihkan tadi.
“Kau tahu Shampet, shampo anjing produksi pabrik
papamu?” tanyaku. Ia mengangguk.
“Kata Amos itu tidak laku,” katanya.
“Karena itu aku punya banyak yang sudah kedaluwarsa di
gudang,” kataku. Perusahaan distribusi papaku mendistribusikan Shampet dan
produk Goodlife lain yang diproduksi di pabrik papa Anna.
“Oh, maaf,” katanya.
“Tidak perlu minta maaf. Amos sudah memberi refund. Dan
yang sebenarnya, aku menemukan cara untuk menggunakannya,” kataku.
“Untuk apa?”tanyanya.
“Nanti kau lihat saja!” kataku. Dan ia memandangku
terbelalak seolah aku teka-teki yang sedang ingin dipecahkannya. Dan tiba-tiba
aku jadi lebih penting dari semua yang ada di jalanan! Dan jantungku
mengejutkanku dengan berdetak lebih cepat.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page