Begitu pintu yang kututup memisahkan ruang di antara
kami sehingga dirinya hilang dari pandanganku, aku merasakan hatiku dirobek
menjadi serpihan panjang yang tipis. Kenapa aku menyuruhnya pergi padahal yang
begitu kuinginkan adalah supaya ia tetap di sini? Apa yang harus kulakukan
sekarang? Jika aku membuka pintu ini dan berlari, apakah aku akan dapat
menahannya sebelum ia pergi? Lalu jika aku berhasil menyusulnya, apa yang harus
kukatakan padanya? Dan tiba-tiba itu tidak penting. Aku akan tahu apa yang
harus kukatakan saat aku melihatnya nanti. Semoga saja aku belum terlambat. Aku
meraih gagang pintuku dan membukanya dengan cepat. Tapi aku tidak berlari
karena dia ada di sana. Dayton berdiri tepat di hadapanku dengan satu lengannya
terangkat seolah ia sedang akan menggedor pintuku dengan segala kekuatannya.
“Dayton,” aku menyebutkan namanya untuk membuatku
percaya bahwa dia benar-benar ada di sana. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia
hanya menurunkan tangannya dengan perlahan seolah ia tidak ingin mengganggu
udara di sekitar kami. Dan untuk sementara, tidak ada yang bergerak seolah bumi
lupa berputar.
“Aku tidak mau pergi,”
katanya.
“Aku tidak ingin kau
pergi,” kataku. Setelahnya ... tidak jelas siapa yang bergerak lebih dulu.
Mungkin dia. Tapi aku juga bergerak. Dan tiba-tiba aku sudah berada di dalam
pelukannya. Bibirnya menemukan bibirku. Aku merasakan rambutnya di sela-sela
jemariku. Ia meletakkan satu tangannya pada punggungku untuk menarikku lebih
dekat. Tangannya yang satu lagi berada di belakang leherku. Aku menghirupnya
seolah dia udara yang kuperlukan untuk mengisi paru-paruku. Ia memperdalam
ciumannya seolah itu masih mungkin.
“Aku tidak mau kau berpura-pura lagi,” katanya di
sela-sela ciumannya. “Aku ingin hubungan ini hubungan sungguhan,” tambahnya. Ia
lalu memegang wajahku dengan kedua tangannya dan sedikit menjauhkan wajahnya
supaya ia dapat memandang mataku. “Anna, tolong katakan iya,” katanya. Ia meletakkan
keningnya pada keningku, menantikan jawabanku.
“Ya,” kataku.
“Sungguh?”tanyanya.
“Ya, sungguh,” kataku. Dan tanpa memberinya kesempatan
untuk mengatakan apa-apa lagi, aku menciumnya. Aku menciumnya supaya dia tahu
betapa aku rindu dirinya. Aku menciumnya supaya dia tahu bahwa aku tidak pernah
berhenti memikirkan dirinya sejak pertama aku melihatnya. Aku menciumnya supaya
dia tahu bahwa aku memang tidak bisa berpura-pura menjadi kekasihnya lagi karena
kenyataannya aku sudah jatuh cinta padanya.
“Apakah kita hanya akan berdiri di sini sambil
berciuman atau... apakah kita ... bisa masuk ke dalam?” tanyanya. Baru saat itu
aku sadar bahwa kami berdua masih berdiri di bawah bingkai pintuku. Aku
tertawa, menariknya masuk dan menutup pintu di belakangku. Ia tidak memerlukan
waktu lama untuk menarikku kembali ke dalam pelukannya untuk menciumku. Ia
menciumku supaya aku tahu aku miliknya. Ia menciumku dengan segenap jiwanya
seolah ia ingin menebus saat-saat di mana kami belum boleh melakukan sesuatu
yang lebih dari saling berpandangan. Ia menciumku dengan begitu lembut supaya
aku tahu bahwa ia tidak akan pernah menyakitiku. Dan di antara semua ciuman
itu, aku percaya padanya. Karena ketika kau mencintai seseorang yang juga
mencintaimu, alam semesta akan memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page