“Jadi dia menciummu??” tanya Dina.
“Hanya ciuman singkat di bawah mistletoe,” jawabku.
“Dan itu juga karena neneknya yang menyuruh,” tambahku.
“Ciuman itu...hanya ciuman dari seorang saudara lelaki
ke saudara perempuannya ... atau ciuman sungguhan yang layaknya dari seorang
kekasih?” tanyanya. Aku mengangkat bahu seolah itu bukan hal besar walau
sesungguhnya, setiap kali aku memikirkan ciuman itu, seluruh tubuhku menghangat.
Ciuman itu mungkin singkat, tapi jelas-jelas bukan ciuman seorang kakak untuk
adiknya. Atau apakah itu hanya imajinasiku saja?
“Jadi sekarang bagaimana?” tanya Dina.
“Ya tidak gimana-gimana,” jawabku.
“Kau suka dia, bukan?” tanyanya. Aku mengangkat bahu
lagi dan berdiri untuk mengisi gelas air kami.
“Tidak penting apa yang kurasakan,” kataku. Dina
berdiri dan mengikutiku ke dapur.
“Tentu saja penting! Amat penting! Kau tidak boleh
membiarkan dirinya menggunakan dirimu seperti ini! Kau bukan artis dan ini
bukan film. Ini kehidupan nyata. Kau gadis sungguhan dengan hati sungguhan!”
katanya. Aku menyodorkan gelas airnya padanya dan berjalan kembali ke meja
makanku. Aku tahu Dina benar. Dayton memang tidak memaksaku untuk
melakukannnya. Dia bertanya dan aku menyetujuinya. Tapi aku tahu ini bisa saja jadi
ruwet dan aku bisa saja patah hati. Karena ...tidak bisa dipungkiri lagi,
perasaanku untuknya memang sudah membengkak dan tidak mungkin diabaikan lagi.
“Anna, kau harus melindungi dirimu sendiri!” kata Dina.
“Jadi aku harus bagaimana?” tanyaku. Dina hanya diam.
Rupanya dia juga tidak tahu harus bagaimana. Yang sebenarnya, aku tahu.
Kepura-puraan ini harus berakhir. Aku tidak bisa menjadi kekasih bohongan
selamanya dan semakin lama sandiwara ini berlangsung, lebih besar risiko yang
kuhadapi karena semakin tinggi harapan kau gantungkan, semakin sakit saat
segalanya jatuh dan pecah berkeping-keping. Aku minum dari gelasku. Ponselku
bergetar. Nama Dayton tertera pada layarnya. Dina melihatnya juga. Ia melipat
kedua tangannya di hadapannya dan memandangiku seolah hendak melihat apakah aku
berani mengangkat ponsel itu. Aku membiarkan ponselku terus bergetar.
“Kau tidak akan mengangkatnya?” tanyanya. Aku
menggeleng. Ponsel itu berhenti bergetar namun tak lama lagi, mulai bergetar
lagi.
“Kurasa dia tidak akan berhenti menelpon sampai kau
mengangkatnya,” kata Dina. Kami berdua hanya duduk memandangi ponsel itu di
atas meja seolah sedang memandangi kelinci peliharaan yang sedang mengunyah
wortel. Saat ponsel itu bergetar untuk ketiga kalinya, aku menekan tombol
Reject dan mematikan ponselku.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page