Seperti biasa, Nenek Qing selalu menemukan kesalahan pada diriku. Aku tidak menyetrika pakaianku dengan rapi, rambutku terlalu panjang – padahal baru dipotong minggu lalu. Tapi itu bukan masalah. Selama tangan Anna berada di dalam genggamanku, tidak ada yang dapat dikatakan siapa saja yang dapat membuatku kesal.
“Oh Anna, aku senang sekali kau bisa datang!” kata Nenek Qing setelah ia selesai menegorku karena mengenakan sepasang sepatu olah raga dan bukan sepatu kulit. “Ayo ceritakan apa saja yang sudah kau lakukan sejak terakhir kita bertemu,” katanya sambil menarik Anna dari sisiku. Anna memandangku, berharap aku membebaskannya dari situasi ini. Tapi aku hanya mengedipkan mataku padanya. Jika nenek Qing ingin memonopoli dirinya, tidak ada yang dapat kulakukan. Aku hanya harus mencari cara untuk menebusnya nanti. Dan untuk ini, setengah lusin Belgravia dan segelas Taro Lover tidak cukup.
“Dia manis ya,” kata ibuku yang tiba-tiba sudah berada di sisiku.
“Ya,” kataku.
“Kau tahu kau tidak boleh punya perasaan terhadap muridmu, bukan?” katanya. Aku memandangnya dan heran bagaimana dia bisa tahu. “Seorang ibu dapat merasakan hal-hal seperti ini,” katanya seolah sedang membaca pikiranku.
“Di akhir semester yang baru berakhir ini, dia secara resmi sudah bukan mahasiwi Foothill lagi,” kataku. Aku tidak bisa tidak tersenyum sewaktu mengatakannya. Ibu melihatnya.
“Sudah lama aku tidak melihatmu sebahagia ini,” katanya. Aku hanya mengangkat bahu. Tapi aku tahu dia benar. Aku mencuri pandang ke arah Anna. Hari ini ia menyanggul rambutnya sehingga seluruh lehernya terlihat. Entah kapan aku akan bisa menyentuh leher itu dengan jemariku, dengan bibirku. Hanya Tuhan yang tahu betapa aku menginginkan hal itu. Nenek Qing sedang memamerkan koleksi kristal Swarovskynya pada Anna. Seolah dapat merasakan pandanganku, Anna menoleh untuk memandangku. Dan ia tersenyum. Hatiku bergetar seperti dawai biola yang dimainkan oleh pemilik yang dicintainya.
“Dayton! Day!” ibuku memanggil.
“A.. apa?” tanyaku. Ia meninggikan sebelah alisnya.
“Aku tadi bertanya ke universitas mana dia akan transfer?” katanya.
“Oh. Ke SCU,” jawabku.
“Praktis sekali!” katanya. Santa Clara University memang hanya berjarak setengah jam naik mobil dari Foothill college. Aku tersenyum.
“Dan setelah itu... apakah ia akan mengambil S2 atau langsung bekerja?” tanyanya. Aku tidak tahu jawabnya. Dan ada sebuah kemungkinan lagi yang tidak disebutkan ibuku di dalam pertanyaannya, apakah dia akan pulang ke Indonesia.
“Aunt Susan, Dayton, ke sini. Kita akan menyanyi,” panggil sepupuku Izzy. Sebagai yang tertua di antara semua sepupu, Isabelle yang selalu mengatur ini itu. Rupanya semua orang sudah berada di sekeliling pohon natal. Aku berdiri, berjalan ke arah Anna dan berdiri di sisinya. Ia tersenyum padaku. Kami semua menyanyikan lagu White Christmas. Selalu lagu itu yang dinyayikan karena itu lagu kesukaan Nenek Qing walaupun tidak pernah ada salju di hari Natal di California. Aku meraih tangan Anna. Dan selama sisa hari itu, aku tidak pernah melepaskannya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page