Aku tidak tahu kenapa tapi sepertinya nenek menyukai Anna. Nenek menelponku secara khusus untuk memastikan Anna akan datang ke makan malam Natal kami karena ia sudah menyiapkan hadiah bertuliskan nama Anna di bawah pohon natal. Walaupun nenek tidak beragama Kristen, nenek sangat suka hari Natal. Menurutnya, merayakan hari Natal itu adalah sebuah bukti bahwa keluarga kami sudah bertransformasi menjadi keluarga amerika seolah kau dapat mengganti nenek moyangmu hanya dengan meletakkan sebuah pohon cemara di ruang keluargamu.
Jadi di sinilah diriku, menuju apartemen Anna. Dengan bersenjatakan kotak dari toko kue Sweet Diplomacy di kursi sebelah berisi setengah lusin Belgravia, cupcake glutten free dengan frosting buttercream italian meringue, aku akan membujuknya untuk datang denganku ke makan malam Natal keluargaku. Tidak, dia tidak tahu aku akan datang. Aku ingin kedatanganku ini jadi kejutan. Aku tidak tahu apakah dia ada di rumah atau tidak. Tapi berhubung ini sedang libur musim dingin, aku toh tidak punya pekerjaan lain. Jadi bila aku harus menunggu sampai jam makan malam sekalipun, aku punya banyak waktu.
Anna tinggal di Avalon Towers, sebuah komplek apartemen di Mountain View, sepuluh menit dari Foothill College. Pertama kali aku ke tempat itu untuk menjemputnya, aku terkejut karena apartemen itu ternyata apartemen mahal. Tidak biasanya mahasiswi tinggal di tempat seperti itu. Dan setiap kali aku datang, aku masih terkagum-kagum atas gedung mewah yang terawat baik itu, dan juga kolam renang berukuran olimpiade. Tempat itu terlihat seperti resor bintang lima. Aku memarkir mobilku dan berjalan ke apartemen nomor 815. Ketika aku tiba di sana, aku melihat seorang lelaki muda duduk di undak-undakan di depan pintunya. Sebuah tas travel tergeletak di sisinya.
“Apakah ... kau sedang menanti Anna?” tanyaku.
“Ya,” jawabnya, “dia sedang pergi,” tambahnya.
“Kau...teman Anna?” tanyaku.
“Aku kekasihnya.” Ia mengatakan hal itu dengan ringan saja seolah sedang mengatakan bahwa hari ini tidak akan turun hujan. Tapi kalimat itu menghantamku seperti hujan badai. Anna tidak pernah mengatakan padaku bahwa dia punya kekasih. Tapi dia memang tidak harus mengatakannya padaku, bukan? Dan kenapa aku berasumsi bahwa dia tidak punya?
“Kau mahasiswa Foothill juga?” tanyaku.
“Bukan,” katanya. Aku menantikan dirinya untuk memberi tahu di mana dia kuliah tapi dia diam saja.
“Apakah kau ... dari Indonesia juga?” tanyaku.
“Ya,” jawabnya. Aku melirik tas travelnya. Rasanya itu terlalu kecil untuk seseorang yang baru saja terbang menyeberangi samudra.
“Kau... baru datang dari Indonesia?” tanyaku.
“Apa? Oh tidak. Aku baru datang dari Boston. Untuk memberinya kejutan,” katanya.
“Sudah ...berapa lama kalian...bersama?” tanyaku. Aku hampir tersedak sewaktu hendak mengatakan kata ‘bersama’.
“Kira-kira enam tahun lah,” katanya sambil mengangkat bahu seolah enam tahun itu waktu yang sudah lama sekali. Tapi enam tahun memang bukan waktu yang singkat. Dan tiba-tiba aku merasa begitu bodoh. Mengapa aku tidak menyadari adanya kemungkinan yang begitu besar bahwa Anna punya kekasih yang juga seorang Indonesia, seseorang yang akan pulang ke tempat yang sama dengan dirinya?
“Dan... kau siapa?” tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepalaku.
“Bukan siapa-siapa,” jawabku, lebih kepada diriku sendiri. Aku mulai berjalan menjauh.
“Hai, apakah aku harus memberitahu Anna bahwa kau mampir?” panggilnya. Aku berhenti dan menoleh.
“Tidak. Tidak usah,” kataku dan aku pun melanjutkan langkahku. Karena apa gunanya memberitahu Anna bahwa aku datang untuk memberinya kejutan saat kekasihnya juga sedang melakukan hal yang sama? Dan lagi, yang dapat kutawarkan hanyalah enam cupcake bodoh ini. Apalah artinya ini bila dibandingkan dengan enam tahun hubungan dan seluruh masa depan yang dapat ditawarkan oleh kekasihnya itu?
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page