Pertama kupikir dia kekasih baru Anna. Walaupun jika
dilihat lagi, dia sedikit lebih tua dari kami. Saat aku meminta alamat Anna
dari Dina, aku sebenarnya juga ingin bertanya apakah Anna sudah punya kekasih.
Tapi tidak jadi kutanya. Aku tidak siap mendengarkan jawabannya.
Satu jam kemudian aku melihat Anna berjalan mendekat.
Aku berdiri. Ia memperlahan langkahnya
dan berhenti beberapa meter dariku. Ia memandangku seolah tidak percaya. Lalu
dengan cepat, pandangan itu berubah menjadi pandangan penuh amarah. Ia berjalan
melewatiku, seolah aku tidak ada di sana, menuju pintu apartemennya. Ia
mengeluarkan kuncinya, membuka pintu dan masuk. Dia sudah hampir menutup pintunya
tapi aku menahannya.
“Anna,” panggilku. Ia kembali mendorong pintunya. Tapi
aku lebih kuat. Dia meninggalkan pintunya dan berjalan menuju pintu kamarnya.
Ia masuk dan menutup pintunya. Terdengar kunci di putar. Aku mendesah. Ini
bukan permulaan yang baik. Tapi aku memang tidak bisa mengharapkan ia berlari
ke arahku untuk memelukku setelah apa yang kulakukan padanya, bukan? Aku masuk
ke dalam apartemennya dan menutup pintunya.
Aku meletakkan tasku di lantai dan mulai mengetuk pintu kamarnya.
“Anna, kita perlu bicara,” kataku.
“Pergi saja,” katanya.
“Anna, tolong. Biarkan aku menjelaskannya,”kataku.
“Tidak ada yang perlu dijelaskan,” katanya.
“Anna, aku bukan ayah dari bayi itu,” kataku. Kali ini
dia diam. Aku menunggu. Beberapa menit lewat dan aku terus menunggu. Lalu aku
mendengar ia bergerak dan kunci pintu yang diputar.
“Anna? Aku boleh masuk?” tanyaku. Ia tidak menjawab.
Tapi aku tahu itu artinya aku boleh. Selama tahun-tahun kami bersama, setiap
kali kami bertengkar dia selalu mengunci diri di kamar dan ketika ia membuka
kunci itu berarti ia sudah mengijinkan diriku untuk masuk. Aku membuka
pintunya. Ia sedang duduk bersila di lantai, bersandar pada salah satu dinding.
Aku masuk dan duduk di sampingnya.
“Kau menikah dengannya,”katanya.
“Aku akan minta cerai,” kataku.
“Maksudku... bila itu bukan bayimu, kenapa kau menikah
dengannya?” tanyanya.
“Aku... kupikir aku ayahnya. Baru belakangan ini ada
yang bilang padaku bahwa saat Jenny bersama-sama diriku, dia sebenarnya juga
bersama-sama dengan pria lain. Aku lalu minta test paternity. Hasilnya keluar
minggu lalu. Aku bukan ayahnya,” jelasku.
“Oh. Tapi kau memang tidur dengannya,” katanya,
“berulang kali,” tambahnya.
“Aku... ya,” kataku.
“Berarti tidak penting apakah kau ayah bayi itu atau
bukan,” katanya.
“Tentu saja penting!” kataku.
“Kenapa?” tanyanya.
“Karena bayi itu bukan bayiku, aku dapat meminta
cerai,” kataku.
“Untuk apa cerai?” tanyanya.
“Supaya...
supaya aku bisa kembali padamu,” kataku. Aku tidak mengerti kenapa itu
tidak langsung jelas baginya.
“Apa yang membuatmu berpikir aku akan kembali padamu?
Bagaimana caraku untuk dapat memercayaimu lagi?” tanyanya.
“Anna, pandang aku!” kataku. Saat dia tidak bergerak,
aku yang mengubah posisiku supaya wajahku tepat berada di depan wajahnya. Ia
tetap tidak mau memandangku. Aku menyentuh dagunya untuk mengangkatnya.
“Jangan sentuh aku,” katanya sambil mengibaskan
tanganku.
“Anna, aku memang berbuat kesalahan. Kesalahan yang
besar. Tapi itu tidak berarti aku tidak mencintaimu. Aku tidak pernah berhenti
mencintaimu,” kataku. Akhirnya ia mengangkat wajahnya untuk memandangku.
Matanya menatap langsung ke mataku. Dan aku mendengar hatiku pecah
berkeping-keping. Karena saat itu di sana, aku melihat bahwa dia tidak lagi
memandangku seperti dulu, seperti aku adalah matahari, bulan dan bintangnya.
Yang kulihat di dalam sorot matanya hanya rasa benci dan rasa kasihan.
“Maaf, Ivan. Tapi aku sudah berhenti mencintaimu,”
katanya. Dan hatiku pecah menjadi serpihan yang lebih kecil jika itu memang mungkin.
“Apakah ini karena pria itu?” tanyaku.
“Pria apa?” tanyanya.
“Pria yang tadi datang ke sini mencarimu. Lebih tua,
tingginya sedang, pakai kacamata. Apakah karena dia?” tanyaku. Dan saat aku
melihat matanya melebar dan sinar matanya jadi seterang kembang api, aku
tahu aku sudah kalah dalam perang ini. Aku sudah kehilangan gadisku
selamanya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page