Aku begitu ingin jam kantor ini cepat berlalu supaya
aku dapat melanjutkan memandangi ponselku. Jadi aku mencoba membuat setiap sesi
sependek mungkin. Pastinya mahasiwi-mahasiswi itu merasa bahwa aku terburu-buru
hari ini. Biar saja, yang penting semua pertanyaan sudah kujawab tuntas. Lalu tiba-tiba
... ia ada di sana. Berdiri di bawah bingkai pintuku seperti yang telah
dilakukannya berkali-kali sebelumnya. Dan untuk beberapa saat, aku lupa
bernapas. Kami berdua hanya terdiam seolah bumi berhenti berputar. Lalu aku
sadar ia sedang menantiku.
“Apakah kau hanya akan berdiri di sana seperti sebuah
vas besar berisi bunga atau kau akan masuk?” Bunga? Oh, seharusnya aku dapat
memikirkan kata benda lain yang tidak
segombal itu. Tapi itu memang hal pertama yang terlintas di benakku saat
melihatnya.
“Aku berhutang kopi padamu,” katanya sambil berjalan
mendekat.
“Tidak! Aku yang berhutang kopi padamu,” kataku.
“Tidak! Sebenarnya aku berhutang 2 kopi padamu,” katanya.
“Begitu?”tanyaku.
“Ya,” katanya.
“Kau tahu, sejujurnya ... aku tidak minum kopi,”
kataku. Sebuah senyum malu mulai terbentuk pada bibirku. Ia memandangku
tidak percaya.
“Benarkah? Karena sejujurnya, aku juga tidak minum
kopi!” katanya. Giliranku untuk memandangnya tidak percaya.
“Jadi... kita ini dua manusia yang tidak suka kopi yang
sedang saling memaksa untuk minum kopi?”tanyaku. Ia tertawa. Bunyinya seperti
hujan yang jatuh pada jendela yang membuatnya gemerlapan, seperti lonceng angin
yang dibelai angin musim gugur sampai seolah hidup, seperti air yang mengalir
di antara bebatuan, yang menggelitik butiran batu sampai setiap butirnya
mendesah kegelian. Tapi lebih dari semua itu, bunyi tawa gadis itu seperti
bunyi harapan.
“Tidak ada yang antre lagi di depan?” tanyaku.
“Tidak. Aku yang terakhir,” katanya.
“Jadi kau sudah baca emailku?”tanyaku.
“Email yang mana?” tanyanya.
“Email yang kukirim tadi pagi. Kau tidak datang ke sini
karena email itu?” tanyaku.
“Ponselku ketinggalan di rumah jadi aku belum memeriksa
email sejak pagi,” katanya. Aku memandangnya lekat-lekat, mencoba mencerna apa
yang baru saja dikatakannya. Jadi ia bukan datang ke sini karena kuminta.
Apakah ini berarti ia datang ke sini karena ia memang ingin menemuiku?
“Ayolah kita minum .... teh?” tanyaku. Ia tersenyum dan
mengangguk.
Tidak seperti universitas berasrama yang kafeteria nya
selalu penuh dengan mahasiswa yang tinggal di kampus, kafetaria Foothill di
sore hari tidak pernah penuh karena Foothill tidak punya asrama. Itu bagus
karena walaupun aku ingin mengabarkan pada dunia bahwa aku akan minum teh
bersama Anna, aku tidak yakin itu ide yang bagus.
“Jadi kenapa kau tadi bilang bahwa kau berhutang dua
kopi padaku?” tanyaku seraya kami berdua duduk. Dua cangkir teh dan dua muffin
terletak di atas baki yang kubawa. Tadi
Anna memaksa ingin bayar tapi aku berhasil mengeluarkan kartu debit dosen ku
lebih cepat daripada ia dapat mengeluarkan uang dari dompetnya.
“Kopi yang pertama untuk kompetisi UC kemarin. Tahukah
kau bahwa aku menang juara tiga?” tanyanya. Mataku melebar.
“Oh, itu sudah diumumkan?” tanyaku. Ia mengangguk dan tersenyum.
Bagaimana bisa aku melewatkan hal itu? Pastinya aku terlalu sibuk tenggelam di
dalam kebimbanganku sampai melupakan tanggal pengumuman itu. “Waaah!
Itu... itu keren sekali! Selamat!”
kataku.
“Itu berkat bantuanmu, Prof,” katanya.
“Itu semua karena dirimu. Aku bangga padamu,” kataku
dan itu benar. Senyumnya melebar.
“Dan kopi yang ke dua untuk ini,” katanya sambil
menyorong secarik kertas di atas meja ke arahku. Aku mengambil dan membacanya.
Itu adalah surat penerimaan cepat ke Santa Clara University, sebuah universitas
swasta di dekat Foothill.
“SCU? Kau memasukan aplikasi ke sana?” tanyaku.
“Itulah herannya! Aku tidak daftar ke sana,” katanya.
“Oh, jadi kau rasa ini karena kau memenangkan kompetisi
UC itu?” tanyaku.
“Pastinya karena itu, bukan?” tanyanya.
“Ya, itu sangat mungkin. Akhir-akhir ini ranking SCU
terus naik dan pastinya mereka berambisi untuk menarik lebih banyak mahasiswa
andalan dan mereka tahu bahwa saingan utama mereka adalah UC,” kataku.
“Dan selain diterima lebih awal, mereka memberikanku
bantuan keuangan,” katanya sambil menyorongkan secarik kertas lagi. “Tidak
besar, tapi lumayan lah,” tambahnya. Aku mengambil kertas itu dan melihat bahwa
SCU akan memotong $5,000 dari uang kuliah tahun pertama Anna di sana.
“Kau tahu SCU itu sekolah swasta dan karenanya uang
kuliahnya mahal?” tanyaku.
“Ya.Tapi karena aku murid asing, uang kuliah UC
Berkeley juga akan mahal untukku,” katanya. Hal itu lagi. Statusnya sebagai
murid asing tiba-tiba membengkak seperti sebuah gunung batu besar sedingin es
di hadapanku.
“Oh, ya,”kataku. Tidak tahu harus menjawab apa lagi.
“Aku memutuskan untuk mengambilnya,” katanya.
“Jadi kau tidak akan daftar ke UC Berkeley?” tanyaku.
“Tidak. Salah satu tanteku lulusan SCU dan ia
menyukainya. Dan lagi, kenapa aku harus menunggu sampai semester musim gugur
depan bila aku bisa transfer musim dingin ini?” katanya. Dan saat itulah aku
menyadari sesuatu yang harusnya sudah kusadari sejak tadi. Penerimaan awal di
SCU ini akan membuat Anna lebih cepat meninggalkan Foothill. Dan bukankah itu
hal yang paling kuinginkan?
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page