Orang-orang mungkin berpikir bahwa saat aku merajut,
aku begitu terpaku pada tangan dan benangku sampai-sampai tidak dapat
memperhatikan sekelilingku lagi. Itu salah besar. Aku bisa merajut sambil makan
– tapi tidak kulakukan karena aku tidak ingin rajutanku terkena saus. Aku bisa
merajut sambil menonton film. Aku bisa merajut sambil mengadakan percakapan
telpon yang penting. Rantai tiga. “Apakah pengacaramu yakin ia dapat
memenangkan hak asuh untuk anak perempuanmu?” Dua double crochet ke dalam tusukan
yang sama. “Dia harus menemukan celah di dalam perjanjian pranikah itu!” Rantai
dua. “Ya, Aku bisa merekomendasikan detektif yang dapat menjaga rahasia.” Tiga double crochet di dalam tiga tusukan.
Yang sebenarnya, selama aku merajut itulah aku merasa paling nyaman dan
karenanya, daya pikir dan daya observasiku keduanya meningkat.
Karena itu aku melihat semuanya. Aku melihat waktu
mahasiswi itu, Anna, mengantre di depan kantor Prof. Lee muda untuk pertama
kalinya. Aku melihat bagaimana setiap kali ada murid yang datang, ia lalu
pindah ke belakang barisan. Aku melihat bagaimana ia terus bergantian
memandangi jam tangannya sendiri dan jam dinding seolah berharap mereka
berdetak lebih cepat atau lebih lambat dari sebenarnya. Aku melihat bagaimana
ia gelisah setiap kali barisan bertambah pendek karena ada satu murid lagi yang
masuk ke dalam. Aku melihat bagaimana dia terus memindahkan bobot tubuhnya dari
satu kaki ke kaki lainnya seolah kedua kakinya menginjak bara api. Ketika
tinggal satu saja murid di depannya, aku bertaruh dengan diriku sendiri bahwa
ia tidak akan punya keberanian untuk melakukan apapun itu yang sedang
direncanakannya. Waktu ia melangkah pergi, walaupun aku menang taruhan, aku
begitu sedih seolah ada tanaman kecil di dalam diriku yang mati. Mungkin karena
dengan jelas kulihat bahwa secercah harapan yang dibawanya saat ia memasuki
gedung ini telah hilang tanpa jejak.
Lalu Prof. Lee muda keluar dari ruang kantornya untuk
memastikan bahwa memang tidak ada lagi antrean di depan. Dan aku melihat
keheranan pada wajahnya saat ia melihat gadis itu menghilang di balik pintu
gedung. Aku melihat keheranan itu berubah menjadi keinginan. Dan ia hanya
berdiri terdiam di sana. Mungkin dia perlu sedikit suntikan semangat. Mungkin
harusnya aku berteriak dan menyuruhnya untuk mengejar gadis itu. Tapi lalu aku
melihat keinginan itu berubah menjadi keputus-asaan seolah ada batu besar di
atas tubuhnya yang memaksanya untuk diam di tempat. Ia memandangku dan ia tahu
bahwa aku tahu. Aku meletakkan rajutanku dan dengan gerakan tanganku, aku
menyuruhnya untuk duduk di kursi di hadapan mejaku. Ia berjalan berlahan dan
menjatuhkan tubuhnya di atas kursi itu seolah ia tidak punya lagi kemampuan
untuk mengangkat beban tubuhnya sendiri. Terkadang beban terberat memang bukan
beban fisik.
“Itu tadi ... Anna?” tanyanya.
“Ya, itu dia,” kataku.
“Apa yang dia lakukan di sini?” tanyanya.
“Yah, tadi sih dia mengantre pada antreanmu,” kataku.
“Begitu?” tanyanya. Aku mengangguk. “Tapi... tapi dia
tidak masuk ke dalam,” tambahnya.
“Ya, aku lihat,” kataku. Lalu untuk beberapa lama ia
tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya sibuk memandangi rajutanku di meja seolah
itu adalah benda yang tak dapat dimengerti. Aku tahu bukan rajutanku yang
sedang dipikirkannya.
“Kau tahu bahwa dia tidak akan jadi mahasiswi di sini
selamanya, bukan?” kataku. Ia memandangku. Matanya membesar seolah kaget atas
arah percakapan ini. Tapi lalu ia kembali menunduk. Kali ini untuk memandang
tangannya sendiri.
“Ia tidak akan lama di sini,” katanya setengah
berbisik.
“Karena ia murid asing?” tanyaku. Ia mengangkat bahu.
“Sepertinya aku yang terakhir sadar bahwa ia murid
asing,” katanya.
“Aku dulu murid asing,” kataku. Matanya membesar sekali
lagi.
“Kau?” tanyanya. Aku menggangguk sambil meraih
rajutanku. Rantai tiga.
“Aku dulu murid asing. Dan aku bertemu kekasihku di
universitas jadi aku memutuskan untuk mencari pekerjaan supaya bisa terus
menetap di sini.”Dua double crochet di dalam tusukan yang sama.
“Di mana dia sekarang?” tanyanya. Semuanya tahu aku tidak menikah.
“Dia ditugaskan ke luar, ke Australia. Lalu ia jauh
cinta dengan seseorang di sana. Dan tidak kembali,” kataku. Rantai dua. Tiga double
crochet di dalam tiga tusukan berikutnya.
“Apa? Itu .... itu payah sekali,” katanya.
“Yah begitulah,” kataku. Rantai tiga. Half double
crochet di dalam tusukan berikutnya. “Tapi kita tidak sedang membahas diriku di
sini.” Aku meletakkan rajutanku supaya aku dapat memandang matanya. “Kita
sedang membahas dirimu. Dan kau harus percaya bahwa segalanya mungkin.” Ia
memandangku dengan begitu serius seolah ingin mempercayai diriku, ingin
mempercayai bahwa segalanya memang mungkin.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page