Aku memenangkan kompetisi itu! Hanya pemenang ketiga,
tapi tetap saja aku begitu gembira. Dan percaya atau tidak, dan mungkin ini
terdengar menyedihkan, aku gembira bukan sepenuhnya karena aku menang, tapi
karena sekarang aku jadi punya alasan untuk menemui Prof. Lee. Tentunya aku
harus memberitahu dirinya bahwa aku menang, bukan? Tidak, ajakan minum kopi itu
tidak pernah terlontar lagi walaupun aku sudah menanti-nantikannya sejak awal
semester gugur ini. Dan yang sesungguhnya, selain beberapa anggukan yang dapat
dihitung dengan jari di satu tangan, tidak ada komunikasi lain di antara kita.
Dan itu mengecewakanku karena bukankah email terakhirnya itu sarat akan janji?
Atau mungkin itu hanya hayalanku semata. Dan aku terus mencoba berpikir sambil
membaca ulang emailku padanya untuk mencari apakah ada yang kutulis yang
mungkin bisa menyinggung perasaannya. Rasanya tidak ada. Jadi entah apa yang
membuatnya kembali menunjukkan ketidak peduliannya padakku. Apalagi mengingat
dia sempat minta maaf atas hal itu di emailnya.
Tapi pastinya dia berhak mendengar berita ini, bukan?
Yah, dia memang bisa saja membacanya sendiri di situs UC tapi aku merasa sudah
sepatutnya aku menyampaikan berita ini sendiri sambil sekali lagi berterima
kasih padanya. Ini jelas akan meningkatkan kemungkinanku diterima di UC
Berkeley tahun depan. Jadi di sinilah diriku, mengantre di depan kantornya pada
jam kantornya. Setiap kali ada murid yang datang untuk mengantre, aku
memberikan posisiku dan aku pindah ke buntut barisan. Itu kulakukan supaya aku
jadi murid terakhir yang harus ditemuinya. Dengan begitu, aku tidak harus
buru-buru. Tapi mungkin ada alasan lain
kenapa aku melakukannya. Mungkin aku tidak benar-benar siap untuk bertemu
dengannya. Mungkin aku sebenarnya berharap waktu akan habis dan aku tidak usah
menemuinya hari ini. Karena saat ia berjalan di sisi lain lorong dan tidak
melihatku, mudah untuk mengatakan pada diriku sendiri bahwa dia sedang sibuk
atau sedang terburu-buru. Tapi apa yang harus kukatakan pada diriku sendiri
bila ia berdiri di hadapanku sambil memandang menembus diriku seolah aku tidak
ada di sana, seolah aku tidak berarti apa-apa?
Ada dua murid lagi di depanku dan sudah tidak ada lagi
murid yang datang. Aku memandang jam tanganku. Jam kantornya masih tersisa dua
puluh menit. Jika yang di dalam
memerlukan lima menit lagi, dan kedua murid di depanku masing-masing memerlukan
sepuluh menit, tidak akan tersisa waktu bagiku. Tapi tidak perlu waktu satu
menit untuk mengatakan, “Hai, Prof, hanya ingin memberitahumu bahwa aku dapat
juara ketiga. Terima kasih! Apakah aku
boleh mentraktirmu kopi?” Tujuh detik tepat. Aku tahu karena aku sudah
berlatih. Banyak kali. Dan aku bahkan menggunakan stop watch. Dan sekarang kita
tahu satu lagi alasan kenapa aku perlu jadi yang terakhir pada antrean ini.
Karena jika masih ada murid lain yang menunggu, tentu saja dia akan menolak.
Murid yang di dalam keluar. Murid di depan antrean
masuk. Hanya tinggal satu orang lagi di depanku. Aku melihat jam pada dinding.
Sisa dua belas menit lagi. Bagaimana jika Prof. Lee tidak senang aku datang?
Bagaimana jika ia bilang tidak? Karena jika ia memang benar-benar ingin minum
kopi denganku, tentunya dia sudah mengajak sejak kapan-kapan, bukan? Dan apa
artinya itu? Murid yang berada di dalam
keluar. Murid yang berada di depanku masuk ke dalam. Setelah ini giliranku. Aku panik. Aku mencoba
melatih kalimatku lagi. Tapi aku bahkan tidak dapat membisikkan kata pertama.
Dan mungkin aku memang pengecut. Karena begitu murid yang baru keluar itu lewat
di sampingku, aku memutar tubuhku untuk mengikutinya berjalan keluar gedung.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page