Rupanya aku terlalu cepat senang. Harusnya aku sadar,
jika ada satu hal yang tidak kumiliki, selain pekerjaan yang baik dan masa
depan yang cerah, hal itu adalah keberuntungan. Sepertinya alam semesta sudah
berkeputusan untuk memastikan bahwa hidupku tidak semudah itu. Aku membaca
email itu sekali lagi seolah dengan membacanya berulang kali, isinya akan
berubah. Tapi tidak demikian.
Dari: Anna.k.2000@gmail.com
Kepada: Dayton.lee@foothill.edu
Prof Lee,
Aku baik-baik saja, Prof, dan terima kasih untuk ajakan minum kopinya,
namun belum bisa dalam waktu dekat.
Saat ini aku sedang pulang ke Jakarta dan baru akan kembali ke Foothill
sebelum semester musim gugur dimulai. Ya, musim panasnya menyenangkan di sini.
Tapi di Jakarta memang selalu musim panas.
Terlampir jawaban versi akhirku untuk perlombaan kemarin. Ini sudah
kugabung menjadi satu file (tapi yang ku unggah ke situs mereka terpisah per
bagian seperti instruksi dari mereka).
Sekian dulu, Prof.
Anna
NB: no ponsel US ku 669 291 9861. Tapi nomornya tidak aktif sampai aku
kembali ke sana. Selama di Indonesia, nomorku +62 817 670 4767
Bagaimana aku bisa tidak sadar bahwa ia seorang murid
asing? Dari nama belakangnya saja, Kusumahadi, harusnya aku langsung tahu! Tapi
seperti itulah bila kau tinggal di Silicon Valley, California. Ada begitu
banyak imigran dengan nama asing yang menetap di sini jadi setiap kali kau mendengar
nama asing, kau langsung berasumsi bahwa ia memang sudah pindah dan menetapi di
sini, dan bukan orang yang hanya di sini untuk sementara waktu saja seperti
mahasiswi asing yang rumahnya di seberang samudra sana.
Sekarang aku harus bagaimana? Apakah aku harus
melanjutkan rencanaku untuk mencoba masuk ke dalam hidupnya? Bukankah masih ada
tiga tahun penuh sebelum ia lulus? Banyak yang dapat terjadi di dalam tiga
tahun, bukan? Bisa ada virus yang lebih parah dari Coronavirus yang menyebar di
negaranya, yang memusnahkan setengah penduduknya, membuat negara itu tidak
nyaman lagi untuk ditinggali. Atau bisa saja terjadi perang di sana dan penduduknya
terpaksa mencari suaka politik di tempat lain. Jika sebuah perusahaan tidak
punya masa depan, apakah kita sebaiknya tetap melakukan investasi di dalamnya? Jika
sebuah hubungan tidak punya masa depan, apakah kita sebaiknya tetap berusaha? Aku
benci diriku yang penuh keraguan ini. Diriku yang lama tidak akan ragu-ragu
seperti ini. Tidak saja dia akan tetap pada rencananya, ia akan melakukan
segalanya untuk mempercepat rencananya. Jika sebuah perusahaan tidak punya masa
depan, ia akan membangun masa depan itu dengan tangannya sendiri. Tapi diriku
yang satu itu sudah kena batunya dan ia sudah sadar bahwa ia tidak sehebat itu.
Jadi kembali ke pertanyaanku ... Apa yang harus kulakukan? Jika aku pernah
tidak beruntung karena mengikuti otakku, apakah sekarang aku boleh mencoba
mengikuti hatiku?
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page