Bekerja di perusahaan papa ternyata amat memusingkan.
Pemasok-pemasoknya harus terus diamati dengan kaca pembesar untuk memastikan
mereka tidak memberikan barang bermutu rendah atau memberi harga yang tidak
masuk akal. Distributor sama juga. Berurusan dengan mereka itu sama seperti
berurusan dengan anjing-anjing herder yang mesti dipegang erat-erat talinya
karena jika tidak, ada kemungkinan anjing itu kabur atau malah menggigit kita.
Amos harus mempekerjakan pengacara ketika berurusan dengan salah satu
distributor yang berhenti dan tidak mau membayar hutang. Dan urusan operasional
pabrik juga tidak kalah membuat pusing karena menyangkut proses rumit dan barang-barang
dengan tanggal kedaluarsa. Belum lagi sebagian kepala divisi di sini lebih
memikirkan bagaimana cara tampil hebat di depan papa daripada mengusahakan
kemajuan perusahaan. Dan semua ini membuatku berpikir dua kali tentang apakah
aku memang cocok mengambil jurusan bisnis. Mungkin dengan berjalannya waktu,
aku akan biasa dengan semuanya ini. Dan lagi, selama aku dan Amos tumbuh besar,
mengambil jurusan lain tidak pernah merupakan pilihan seolah tidak ada jurusan
lain selain jurusan bisnis.
Amos berbeda. Sangat terlihat dia menyukai semuanya
tentang perusahaan ini. Langkahnya penuh semangat, ia menyapa dan tersenyum
pada seluruh karyawan. Ia bahkan hafal nama semua petugas sekuriti. Ia begitu
nyaman di pabrik seolah itu adalah taman bermain masa kecilnya. Ia pandai
mengambil hati pemasok dan distributor karena ia memang selalu membina hubungan
di dalam maupun di luar jam kantor sehingga semua orang-orang itu merasa
diperhatikan. Bagi Amos, perusahaan ini sekaligus adalah pekerjaan dan juga
hobi yang menakjubkan. Aku beruntung sekali ada dia yang lahir enam tahun lebih
dulu. Karena dia, beban memimpin perusahaan tidak pernah tertumpu di pundakku
dan aku dapat dengan mudah berteduh pada bayangannya. Aku senang sekali menjadi
adik perempuannya.
“Aku akan bertemu dengan konsultan pajak. Kau mau
ikut?” tanya Amos saat kami berdua berjalan memasuki gedung kantor bertingkat
sepuluh milik papa ini.
“Hm.... aku ngumpet di kantormu saja ah. Aku perlu
memeriksa email. Kemarin malam koneksi internet di rumah mati lagi,” kataku.
Amos memutar bola matanya. Tapi ia tersenyum sambil mengangguk dan membiarkanku
memonopoli ruang kerjanya.
Aku menyalakan laptopku. Saat aku melihat ada sebuah
email dari Prof Lee, hatiku melompat.
Dari: Dayton.lee@foothill.edu
Kepada: Anna.k.2000@gmail.com
Anna,
Apa kabar?
Aku hanya ingin minta maaf atas perilakuku di akhir semester kemarin. Aku
sama sekali tidak ramah dan jika kau merasa aku seperti tidak peduli, tolong
maafkan. Ada hal-hal yang mengganggu pikiranku jadi aku bukan diriku sendiri.
Semoga kau sedang menikmati liburan musim
panas ini. Apakah kau sempat bertemu untuk minum kopi? Mungkin kau bisa
menunjukkan padaku semua yang kau kirimkan untuk kompetisi UC kemarin, atau
kita bisa melihat-lihat beberapa kesempatan beasiswa yang dapat kau coba.
Kutunggu kabarmu.
Dayton
NB: Aku baru sadar aku tidak punya nomor ponselmu. Nomorku: 669 291 9861
Aku membaca email itu berulang kali seolah tidak
percaya email itu nyata sampai aku sudah menghafalnya. Tak bisa dipungkiri,
kedatangan email itu mengagetkanku. Dan itu bukan karena aku tidak sedang
memikirkannya tapi justru karena sebenarnya, aku tengah memikirkan dirinya.
Apakah alam semesta sedang mengamatiku? Jika kau terus memikirkan seseorang,
apakah alam semesta lalu akan mengirimkan pesan kepadanya? Aku membaca email
itu sekali lagi. Apakah Prof. Lee mengajakku berkencan? Tentu saja tidak, ia
hanya ingin membantu, bukan? Tapi tetap saja ini adalah ajakan untuk bertemu!
Dan bahkan jika saat itu Amos menerjang masuk untuk memberitahu bahwa separuh
distributor kami telah kabur tanpa membayar, dan jika manager supply chain
menemukan bahwa ada 25,000 batang sabun yang akan kedaluarsa bulan depan, dan
bahkan bila petugas keamaan meneriakkan api, aku tahu aku akan tetap diam di
tempat ini. Karena ada email yang harus kubalas.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page