“Lisa ... jangan ngambek lagi, dong. Dari tadi gue sudah minta maaf, lho. Masa lo nggak kasih gue maaf juga?” bujuk Rika sembari menggoyang-goyangkan lengan temannya itu. “Lo mau marah sampai kapan? Sudah jam pulang, nih.”
“Habisnya, lo ngejek gue bego segala. Kalau ngejek, ya, ngejek aja! Nggak usah pakai bahasa yang gue nggak paham.”
Rika terkikik. “FYI, itu masih bahasa Indonesia, kok. Makanya sering-sering baca kayak gue.”
“Hei, gue tahu, ya. Bacaan lo itu nggak ada yang benar semua!” Lisa melengos sambil mengambil tasnya yang sengaja ia letakkan di meja belakang. Kebetulan di kelas mereka kekurangan siswa jadi ada beberapa meja yang masih belum terisi.
Tahu kalau bujukannya tak bakal mempan, akhirnya Rika mencari cara supaya teman semejanya itu mau menyudahi aksi ngambeknya. “Lisa,” panggilnya sambil tersenyum licik.
“Apa?” sahut Lisa jutek.
“Ke rumah gue, yuk. Nanti lo gue traktir martabak. Habis itu lo gue anterin pulang. Gimana, mau nggak?”
Mendengar makanan kesukaannya disebut, Lisa dengan cepat menoleh. “Oke, deal.” Ia langsung menyalami Rika. “Tapi janji, lo beneran antar gue.”
Rika tertawa. Dasar. Mudah sekali membujuk temannya itu. “Iya, nanti gue antar. Tapi sampai halte bus aja.”
Lisa seketika menggebrak meja. “Hei, tadi janjinya nggak begitu, ya!”
“Janji yang mana? Gue kan cuma bilang mau antar lo aja. Nggak pakai diperjelas sampe mana, kan?”
Lisa seketika merasa terkhianati, sedangkan Rika terbahak puas sekali.
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk sampai ke rumah Rika karena jaraknya hanya dengan sepuluh menit berjalan kaki. Lisa sering merasa iri karena hal ini. Sebab, rumahnya itu tergolong jauh dari sekolah dan ia harus mengeluarkan sekian ribu hanya untuk pulang-pergi. Menurutnya itu pemborosan.
Kalau boleh jujur, sebenarnya ia pun awalnya tak mau sekolah di sini. Namun, karena mantan majikan ibunya—yang notabene adalah ketua yayasan sekolah ini—memberikan keringanan biaya SPP untuknya, ditambah sekolah ini juga terkenal memiliki reputasi yang cukup bagus, dengan pertimbangan-pertimbangan itu akhirnya Lisa menyetujui usul ibunya untuk bersekolah di sana.
Sesampainya di tempat yang dituju, keduanya langsung disambut oleh sebuah motor yang diparkir menghalangi pagar. Melihat itu, Rika tiba-tiba saja berteriak murka, “Papa! Sudah Rika bilang berapa kali kalau taruh motor jangan di tengah jalan!”
Terdengar bunyi kelontang dari dalam rumah sebelum pintu terbuka. “Eh, anak cantik sudah pulang?” tanya seorang om-om tinggi besar dengan brewok menghiasi sebagaian wajah. “Oh, ada temennya Rika juga. Halo,” sapanya dengan logat Jawa yang kental sambil tersenyum lebar.
Lisa mendadak kaku setelah disapa lelaki asing itu. “Rika, itu siapa?” bisiknya dengan mata memicing curiga. Ini pertama kalinya ia mendapati lelaki itu di rumah Rika. Pasalnya, selama beberapa kali main ke sini, Lisa hanya bertemu dengan ibu dan kakak lelaki Rika saja.
“Dia bokap gue. Baru pulang berlayar.” Rika mendengkus jengkel, lalu dengan cepat ia mengalihkan atensi pada papanya. “Pa, ini Lisa, teman sekelas Rika.”
“Oh, halo Lisa, saya papanya Rika.” Lelaki itu kembali tersenyum, lalu mengajak Lisa untuk berjabat tangan.
Lisa yang masih dipenuhi rasa kaget akhirnya menyambut jabatan tangan itu dengan gemetar. “Lisa, Om,” ucapnya sembari tersenyum canggung.
“Ayo, ayo kalian berdua masuk. Nanti om siapin camilan. Om juga bawa banyak oleh-oleh, lho," ucap papanya Rika. Ketika lelaki itu hendak melangkah masuk, Rika sekonyong-konyong menghentikannya.
“Papa beresin dulu motornya baru boleh masuk,” perintah Rika jengkel. “Dasar. Masa hal begitu aja nggak pernah ingat? Kalau mama tahu, mama juga pasti bakal marah-marah. Ayo, Lisa, kita masuk duluan,” ajaknya sambil menggerutu panjang lebar.
Lisa yang melihat interaksi heboh
ayah-anak itu cuma bisa meringis. Sedari tadi ia berusaha sekuat tenaga
menghilangkan perasaan aneh di dada dan panas di perutnyanya. Apa ini? Kenapa malah jadi mual?
“Kalian mau minum apa, nih? Es teh, sirup, atau cola?” tanya papanya Rika sembari merapikan tumpukan majalah musik yang tadi tercecer di atas meja tamu.
“Nggak usah, Pap. Kita nggak lama, kok.” Rika kemudian berjalan menuju tangga. “Lo tunggu di sini. gue mau ganti baju dulu baru kita pergi,” perintahnya pada Lisa sebelum naik ke lantai dua. Sayangnya, baru beberapa detik ia pergi, teriakannya tiba-tiba bergema. “Papa! Kardus apa ini di depan pintu? Kebiasaan!”
“Oh, sorry, tadi papa lupa bawa masuk kardusnya ke kamar kamu. Itu oleh-oleh buat kamu, Rika!” balas sang papa sambil menyengir.
“Om baru pulang banget, ya?” Lisa bertanya spontan setelah mendengar perkataan lelaki itu.
Ayahnya Rika tertawa. “Iya, nih. Sebenarnya sudah dari tadi pagi. Tapi, waktu om pulang, di rumah ndak ada siapa-siapa," lanjutnya setengah merajuk.
Setelah merapikan meja tamu papanya Rika memutuskan untuk bersantai saja di ruang keluarga. Lelaki itu lantas mendudukan dirinya di sebuah kursi tunggal tepat di hadapan Lisa. Dengan tangannya yang panjang lelaki itu mengambil sebuah gitar akustik yang tadi sempat ia letakkan di belakang kursi, lalu memosisikan benda itu di pangkuan. Tak lama, alunan melodi acak tercipta seiring dengan tarian jemarinya di atas fret gitar.
Lisa terhenyak. Selama sepersekian detik, ia bersumpah melihat imaji ayahnya menggantikan papanya Rika yang duduk di kursi itu. Saluran pernapasannya tiba-tiba menyempit. Rasanya panas, sesak, dan menyakitkan. Ya, Tuhan, kenapa bayangan orang itu datang lagi?!
“Papa kenapa mainin gitarnya abang?” Rika yang datang tiba-tiba mengangetkan mereka berdua. Lisa bersyukur karena kedatangan Rika, bayangan orang itu akhirnya lenyap.
“Hehe ... ini lagi latihan buat hadiah ke mama kamu.”
Rika terdiam sebentar, tapi tak lama ia berteriak ketika teringat sesuatu. “Oh iya! Cieee ... Rika lupa, lusa itu anniversary-nya mama papa, kan, ya?”
Sang ayah mengangguk sambil menyengir lebar. Akan tetapi, eskpresinya dengan cepat berubah serius. “Tapi, kayaknya ada yang salah,” lanjutnya sambil memutar-mutar tuner gitar.
“Apanya yang salah?” Rika yang penasaran pun mendekati sang ayah.
“Kedengeran ndak sih kalau suaranya elek gitu?” celetuk papanya sambil memainkan sebuah potongan nada sebuah lagu lawas.
Rika sejujurnya tak mengerti, tapi ia yakin tak ada yang salah dengan lagu yang didengarnya barusan. “Biasa aja, ah. Ya, nggak, Lis?" tanyanya pada Lisa yang duduk di seberang.
Yang ditanya cuma membalas dengan anggukan kecil, meski dalam hati ia sudah menyadari apa yang salah dengan permainan ayahnya Rika tadi.
“Ndak, ndak, menurut papa ini pasti ada yang salah. Soalnya suaranya agak fals,” kata sang ayah yang masih kukuh pada pendiriannya.
Dahi Rika mengerut. Karena capek berdiri ia memutuskan untuk duduk di samping Lisa. “Ya, kalau papa rasa ada yang salah, coba cari di mana salahnya, dong.”
Papanya menatap Rika sebentar sebelum menghela napas dalam-dalam. Tanpa banyak komentar ia lantas mengotak-atik tuner sambil mendengarkan nada yang keluar dari hasil petikan di tiap senar. Lama ia melakukan itu, mungkin ada sekitar sepuluh menit. Melihat papanya yang kebingungan, Rika tampak santai. Sepertinya ia memang tidak tahu-menahu soal gitar.
“Suaranya masih elek, yo,” cetus papanya Rika yang mulai menyerah karena sedari tadi suara yang dikeluarkan gitar itu tetap sumbang.
Karena kasihan, Lisa yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Senar ketiganya terlalu kencang, Om. Terus senar kelimanya kendor,” katanya sambil menunjuk gitar yang berada di pangkuan papanya Rika.
Mendengar ucapan Lisa, Rika menoleh cepat. “Sok tahu lo.”
“Mosok?” papanya Rika memandang takjub. “Kamu bisa betulkan?”
Lisa tak langsung menjawab pertanyaan itu karena ia tiba-tiba teringat pada janjinya untuk tidak lagi menyentuh alat musik. Terdengar kekanakan memang, tetapi ini adalah salah satu upaya agar ingatan tentang orang itu tak kembali.
Karena Lisa diam saja, Rika terpaksa menyikutnya. “Lisa, Kenapa lo, ditanya malah bengong.”
“E-eh, iya, bisa, Om. Tapi aku nggak jago-jago amat nyetem gitar,” ungkapnya tergagap.
“Ya, ndak apa-apa. Kamu coba dulu aja.” Papanya Rika kemudian mengoper gitar itu kepada Lisa.
Setelah menerima gitar itu, Lisa refleks menghela napas panjang. Tangannya berkeringat dan gemetar. Rika yang duduk di sampingnya pun mengerutkan dahi saat mendapati temannya itu yang bertingkah aneh.
“Sist, lo nggak apa-apa?” tanya Rika, yang dibalas gelengan kepala oleh Lisa.
Lisa kemudian mengelap tangannya yang basah. Tuner-tuner yang hanya sebesar ibu jari itu terlihat seperti bola-bola duri tajam, dan yang pasti, akan membuat jarinya berdarah-darah jika menyentuhnya.
“Lisa, lo sebenernya bisa nggak, sih?” Rika makin geregetan melihat tingkah Lisa.
“Bisa.” Lisa pura-pura cengengesan.
Seketika, memori yang tekah ia kubur kembali menyeruak. Dulu, ia sangat menyukai kegiatan ayahnya yang tengah menyetem gitar. Saat itu ia akan duduk di pangkuan sang ayah dan akan berceloteh tentang apa saja. Ia juga akan mendengarkan baik-baik tiap nada yang keluar dari petikan senar, lalu berkomentar apakah suara yang keluar sudah sesuai dengan keinginannya atau tidak. Meski hanya bermodalkan intuisi, anehnya, nada yang ia arahkan selalu pas. Tidak sumbang. Karena hal ini ayahnya selalu memangilnya dengan sebutan guitar fairy.
Sebelum memulai, Lisa sempat menghela napas dalam-dalam. Ia lalu memejamkan mata untuk memfokuskan pikiran. Ketika dirinya memetik senar pertama, tiba-tiba saja suara sang ayah bergaung di telinganya.
“My Guitar Fairy.”
Menadadak emosi yang ditahannya naik ke kepala. Saat ia mencoba pada senar kedua, suara orang itu terngiang lagi.
“Lisa pintar, ya. Papa bangga sama Lisa.”
Pegangannya pada fret gitar menguat. Asam lambungnya naik bersamaan dengan kelebat dendam memenuhi rongga dada. Nada acak ia perdengarkan tadi pun berubah menjadi alunan melodi utuh. Tanpa sadar ia memainkan sebuah lagu rock lawas.
“It’s early morning, the sun comes out.” Lisa mulai menyanyi.
Rika dan papanya menganga ketika permainan Lisa memanas. Gerakan tangannya terlihat sangat lihai. Rika sontak menahan napas karena lagu yang dimainkan Lisa terdengar sangat hidup; sampai-sampai kini ia merasa tengah berada di sebuah konser besar yang dihadiri ribuan penonton, walau dia sendiri tidak pernah mendengar lagu yang dimainkan sebelumnya.
Sewaktu lagu yang dimainkannya sampai pada bagian bridge, Lisa yang seakan-akan sudah hapal tiap seluk-beluk lagu kemudian melakukan sedikit improvisasi.
“Here I am, rock you like a hurricane.” Tempo petikan gitar Lisa makin cepat.
“Here I am!” Lisa mengakhiri nyanyiannya, diiringi tepuk tangan Rika dan papanya. Tak puas di situ, Rika bahkan sampai berteriak heboh.
“Lisa! Lo gila banget sumpah. Lo ternyata jago main gitar, ya?!” seru Rika sembari menggoyang-goyangkan tubuh Lisa. “Lagu yang lo mainkan tadi, apa judulnya?”
Lisa yang masih belum kembali dari alam imajinasi hanya bisa menggumamkan jawaban dari pertanyaan Rika tadi. “Rock you like a hurricane.”
Tak lama, Lisa menggeleng-geleng
pelan. Dirinya sungguh tak menyangka bahwa ia bisa kehilangan kontrol diri.
Entah mengapa timbul dorongan ganjil dari dalam diri yang memerintahkannya
untuk memainkan sebuah lagu tadi. Ia pun spontan meremas kemeja bagian dada.
Emosi asing yang kini memenuhi hati membuatnya sedikit tak nyaman. Perasaan apa
ini? Kenapa dia begitu puas, seolah-olah ia akhirnya menemukan sebungkus roti
setelah berhari-hari kelaparan? Dan ... dan ... mualnya mendadak hilang!
“Lisa, kamu suka lagu jadul?” Papanya Rika terkekeh. Cukup jarang menemukan remaja perempuan yang hapal dengan lagu-lagu rock lawas seperti Lisa.
“Iya, Om,” Lisa menjawab sambil meringis salah tingkah.
“Lisa! Gue lo harus tampil, sih, di pensi sekolah nanti!” seru Rika berapi-api.
“Eh, Nggak, lah.” Lisa menyanggah dengan cepat. “Jangan. Malu-maluin nanti.”
“Bagian mananya yang malu-maluin? Lo kelihatan jago banget tadi. Gue yakin skill-nya Bang Ayi pasti lewat.”
Lisa menggeleng. Gila, mana mungkin ia bisa disamakan dengan gitaris band betulan? Ya, meski band kakaknya Rika cuma band indie, tapi tetap saja baginya itu sudah tergolong profesional.
“Lisa, benar kata Rika tadi. Kalau kamu tampil saat pensi, kalau Om ada jatah libur, Om pasti dateng. Atau, minimal Om bakal video call Rika,” timpal papanya yang menyetujui semua ucapan Rika.
“Tuh, bokap gue aja dukung, kok,” kata Rika bangga karena sudah didukung sang ayah. “Bodo amat, nggak ada kata protes. Pokoknya nanti gue bakal bilang ke ketua kelas.”
Kalau sudah begini, Lisa cuma bisa menghela napas pasrah. Mungkin, kalau benar dirinya yang ditunjuk untuk mewakili kelasnya saat pensi nanti, ia akan memutuskan untuk kabur. Masa bodoh kalau dirinya sampai dihukum. Pasalnya, bolos pada waktu pensi sama nilainya seperti bolos di hari sekolah biasa.