“Kalau Lisa gede nanti, Lisa kepengen kayak papa!”
Dulu sekali, ia pernah bermimpi. Di atas panggung yang dikelilingi ribuan penonton, ia berdiri sambil menggendong gitar kesayangan. Petikan gitar yang ia mainkan mampu membius para penggemar. Namanya dielu-elukan sebagai musisi hebat. Akan tetapi, sekarang ia menganggap semua itu hanyalah khayalan di siang bolong. Omong kosong. Apalagi setelah orang itu pergi dan tak pernah kembali. Baginya, kepergiannya bukan hanya menciptakan luka tapi sekaligus menghancurkan semua mimpi yang ia punya.
“Lisa! Aduh, kalau kerja jangan bengong, dong.”
Lisa terperanjat ketika namanya dipanggil. Ia pun menyengir lebar sambil mengangguk sopan. “Maaf, Mas Andri. Sebenarnya saya lagi bersih-bersih, kok. Tuh, tuh, lihat, banyak tumpahan puding di sini," katanya, sambil pura-pura merapikan meja prasmanan.
“Oke, lah. Kalau sudah selesai, langsung turun ke bawah. Masih banyak gelas-gelas kosong yang harus diisi.”
“Sip.” Lisa mengacungkan jempol dan mengembuskan napas lega. Sorry, Mas, dia bohong. Tidak ada yang namanya tumpahan puding. Dia memang betulan bengong tadi.
Atensi Lisa kembali terfokus ke bawah, di mana sepasang ayah-anak tengah memainkan lagu Bruno Mars versi akustik. Sang ayah, dengan kepala setengah botak beruban tampak gagah memangku gitar akustik di atas pahanya. Sementara si anak adalah salah satu bintang pada pesta kali ini. Dengan gaun pengantin putihnya yang panjang, alih-alih kerepotan, ia malah terlihat sangat luwes menarikan jemarinya yang lentik di atas fingerboard.
Dada Lisa bergemuruh. Aliran darah mengalir deras di tiap urat-urat nadinya ketika tempo permainan mereka makin cepat.
“Kalau Lisa gede nanti, Lisa kepengen kayak papa!”
Kata-kata yang dulu pernah ia ucapkan sewaktu kecil mendadak terngiang.
Tidak. Tidak. Itu semua cuma kenangan buruk yang harus dibuang jauh-jauh. Apa-apaan, kenapa dia jadi sentimentil begini? Seharusnya, sekarang ia kerja yang betul supaya tidak kena marah si bos.
Lisa langsung segera menjauhi meja prasmanan, tapi langkahnya harus terhenti karena seorang bocah laki-laki berpipi gembul tiba-tiba saja menabraknya.
Rasanya ingin sekali ia memarahi anak itu, tapi ia tak bisa melakukannya. Bisa gawat kalau orang tuanya mendengar lalu mengadu pada si pemilik acara. Bisa-bisa Mas Andri bakal menyerocos dan memarahinya panjang lebar sampai kupingnya panas.
“Adik, jangan lari-lari, ya. Nanti terpeleset terus jatuh dari tangga, lho,” katanya, mencoba memberitahu bocah gempal itu dengan senyum lebar.
"MAMA!"
Lisa kelabakan ketika si bocah malah menangis keras. “Eh, iya, iya, sudah, jangan nangis, dong. Kakak punya permen, lho. Nih, nih, lucu, kan?” bujuknya sambil menunjukkan tiga bungkus permen warna-warni yang ia ambil dari meja prasmanan.
“Nggak mau permen!”
“Tapi, Adik—” ucapan Lisa seketika terputus ketika seorang lelaki berbadan subur tiba-tiba datang lalu menggendongnya si bocah gempal. Oh, sepertinya dia bapak dari anak ini.
“Sudah papa bilang, jangan lari-lari. Kamu ini bandel banget, sih. Sudah jangan nangis. Laki-laki nggak boleh cengeng," ujarnya sambil mencubit gemas hidung si bocah. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Lisa. “Maaf, ya, Mbak. Tadi anak saya lagi main kejar-kejaran sama kakaknya.”
Lisa membalas dengan senyum. “Nggak apa-apa kok, Pak. Tapi lain kali hati-hati, ya. Takutnya dia kepeleset di tangga, kan, bahaya.”
Lelaki itu pun mengangguk. “Ya, sudah. Saya permisi dulu, Mbak.”
“Silakan, Pak.”
Lisa menatap kepergian ayah-anak itu dengan hati tak karuan. Melihat si lelaki mencoba menenangkan anaknya yang tengah sesenggukan, membuat Lisa teringat lagi dengan seseorang yang setengah mati ia coba untuk lupakan.
Ugh, megingat orang itu asam lambungnya mendadak naik. Keringat dingin perlahan mengalir di pelipis dan telapak tangan. Coba saja ia tidak ditunggu Mas Andri di bawah, dia bisa sejenak istirahat dulu di sini.
Pelan-pelan Lisa melangkah menuruni tangga. Sambil berpegangan, ia berusaha untuk berpikir jernih. Kata orang, penyebab asam lambung itu adalah sugesti, maka dari itu ia berusaha berpikir positif dan sekuat tenaga mengenyahkan sosok orang itu dari kepalanya.
“Lisa, tenang. Fokus. Besok gajian,” gumamnya menyemangati diri sendiri.
Sewaktu dirinya berada di tangga ketiga dari atas, sorak-sorai tepuk tangan tamu yang hadir membahana. Lisa refleks menolehkan kepalanya ke bawah. Dua orang yang sedari tadi menjadi sumber kegelisahannya ternyata telah menyelesaikan penampilan. Keduanya kemudian berpelukan sambil berbagi tangis kebahagiaan. Sungguh suatu pemandangan yang membuat kewarasan Lisa nyaris hilang.
Naas, ketika kaki kanannya menginjak anak tangga keempat, ia tak melihat adanya genangan air bekas tumpahan sirup di sana. Begitu ia ingin melangkah, sol sepatunya yang sudah aus tak mampu menopang berat tubuhnya. Di tengah kepanikan, tangannya berusaha menggapai besi pegangan tangga. Sayangnya, telapak tangannya licin dan mengakibatkan dirinya langsung terjun bebas.
“HUWAAAAA!”
Teriakan Lisa dan bunyi debuman keras berhasil membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu terlonjak kaget.
Lisa meringis ketika kepalanya menghantam lantai. Samar-samar telinganya dapat mendengar jeritan panik dari orang-orang. Satu hal yang dapat dilihat Lisa sebelum semuanya berubah gelap. Yaitu, sosok ayahnya yang tengah mengulurkan tangan kepadanya.
“Pa ... papa?”