HAPPY READING!
"Tidak, para legendaris harus tinggal di sini. Tidak boleh sembarangan keluar masuk." Mon menggeleng. Posisi mereka adalah tiduran di atas kasur sembari menatap langit-langit kamar.
"Lalu, bagaimana dengan ayahku?" tanya Lee yang menggeser posisi tidurnya menjadi menghadap ke arah Mon yang tidak berubah posisinya dari posisi awalnya.
Mon tampak berpikir kemudian memberikan ide yang cukup membuat Lee bisa mempertimbangkannya. "Ayahmu bisa berkunjung ke sini."
Lee terdiam, kemudian menggelengkan kepalanya tidak setuju. "Ayah sudah terlalu tua untuk ke sini. Bahkan tangga yang harus aku lalui dulu ada sekitar ribuan anak tangga, ayahku akan mati kalau begitu." Lee memprotes sementara Mon hanya diam.
"Coba diskusikan ke Mr. Fu. Dia yang bisa memberikan kamu izin untuk pergi." Mon akhirnya memberikan keputusan final, dirinya sudah tidak memiliki ide lagi.
"Oke." Lee menyibak selimutnya dan berdiri membuat Mon menatap Lee dengan tatapan bertanya-tanya.
"Ngapain?" tanya Mon sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Lee jadi bingung dengan pertanyaan Mon, "Meminta izin Mr. Fu," jawab Lee membuat legendaris monyet itu tidak jadi menguap karena jawaban dari anak baru tersebut.
"Besok pagi maksudnya, izinlah besok pagi. Sekarang kamu minta izin yang ada kamu akan dibunuh oleh Mr. Fu." Mon menggelengkan kepalanya tidak paham dengan isi pikiran Lee.
Sementara laki-laki itu tampak salah tingkah dan kembali masuk ke dalam selimut, tersenyum kikuk dan pamit untuk tidur ke salah satu idolanya tersebut.
"Selamat malam." Mon membalas pamit Lee kemudian dirinya ikut memejamkan mata. Besok pagi, sepertinya gilirannya untuk mengajari Lee karena Malik sedang ada latihan khusus.
***
Laki-laki dengan celana cokelat tersebut hanya menghela napas panjang ketika pintu ruang latihan terbuka. Ini artinya dia harus teraniaya kembali.
"Kita belum bisa latihan di sini, kamu harus belajar dasarnya dulu." Mon meminta laki-laki itu untuk mengikutinya ke sebuah tanah kosong yang ada di samping tempat tinggal mereka semua.
"Push-up." Mon sudah mulai mengarahkan sementara laki-laki berbadan sedikit gempal tersebut langsung menggelengkan kepala. Dia paling tidak bisa push-up.
"Dicoba." Mon duduk di salah satu kursi bersantai menunggu Lee untuk melakukan perintahnya.
Lee mulai melakukan posisi push-up yang membuat Mon menggarukkan kepalanya. Mon meletakkan minumannya ke meja yang ada di dekat sana dan mendekati Lee yang masih melakukan push-up abal-abalnya.
"Hei, kamu kayak ikan nyari air. Tau cara push-up?" Legendaris itu bertanya dan dijawab langsung dengan gelengan oleh Lee.
Mon hanya menepuk jidatnya, sudah pasrah dengan kebodohan ini. Walaupun akhirnya Mon melakukan gerakan push-up untuk Lee coba.
Setelah sekitar sepuluh kali dia melakukan push-up Mon berhenti dan meminta Lee melakukannya lagi. Lee mencobanya, membaringkan tubuhnya dan mulai melakukan gerak naik turun.
Mon melihatnya dan sesekali menendang lutut Lee yang malah menyentuh lantai. Hanya pelan, tidak menyebabkan memar ataupun bekas luka apapun.
"Ulangi sampai seratus kali, ya. Kalau gerakanmu, sudah benar." Mon mengomando sementara Lee melotot memprotes. Mon kembali menendang lutut Lee yang kembali menempel ke tanah.
"Belum benar," ujar legendaris tersebut kemudian duduk di kursinya, menatap Lee yang sudah bermandikan keringat. Dirinya bahkan tidak pernah melakukan olahraga fisik seperti ini, apalagi dengan porsi yang banyak.
"Satu, dua, tig-" Mon menghitung, kemudian menggelengkan kepalanya. "Hitungan satu lagi," ujar Mon kembali melihat Lee yang masih terus melakukannya.
"Kenapa?" Lee memperotes sementara Mon menunjuk lutut Lee yang sudah rekat sekali dengan lantai, lututnya sudah turun.
"Ah, baiklah." Laki-laki itu mengalah, kemudian melanjutkan push-up nya tidak memikirkan angka yang dihitung oleh Mon yang selalu saja kembali ke angka satu.
Lee sudah pasrah, dirinya sudah enggak kuat lagi akhirnya tubuhnya sudah meluncur ke tanah wajahnya sudah mencium tanah. Bodo amat, kaki dan tangan Lee sudah seperti jelly.
"Hei, kamu sudah di hitungan lima, loh." Mon berkata untuk menyadarkan Lee, namun apa katanya tadi? Lima?
Lee jadi benar-benae ingin pingsan saja. Setelah sekian lama dirinya push-up malah hanya keringat yang dia dapat dan nomor lima.
***
Master Fu tampak berbicara dengan seseorang di sebuah kapal. Wajahnya sudah pias, menunggu jawaban dari masternya tersebut.
"Apa kamu tidak percaya denganku, Fu?" tanya orang tersebut sembari mendayung perahunya, dirinya berdiri sembari menikmati angin yang berhembus pelan.
"Tidak, tidak. Aku sangat percaya padamu master," ujar Fu dengan panik, takut terkesan tidak sopan dengan masternya.
"Maka, percayalah. Legendaris ke-enam memang ada dan itu, dia. Legendaris panda." Owen, tersenyum kemudian mendayung kembali dengan tongkat miliknya.
Kemudian, Owen mengetuk perahu dengan tongkat yang dimilikinya. Bunga sakura mulai menutupi tubuh Owen hingga separuhnya menghilang.
"Kamu tau, dia yang akan menjadi penerusku. Mungkin sekarang kamu tidak percaya, namun kelak kamu akan tau potensi yang aku maksud," ujar Owen sebelum semuanya menghilang. Fu mendekati dengan panik dan tepat pada rontokan bunga sakura terakhir, Fu tidak bisa meraihnya.
***
"Kamu tau, kalau kamu setiap hari pingsan maka kamu tidak akan bisa sekolah besok," ujar Viv sembari mendesis, tingkah laku khasnya.
Lee yang sedang makan semangkuk nasi menjadi salah tingkah, dirinya memang sangat payah. Lee menunjukkan deretan giginya yang rapi sambil tersipu malu.
"Sudahlah, minggu depan kembali latihan. Aku harap kamu tidak pingsan di pelatihan besok." Mon merangkul pundak Lee, memberinya semangat sembari tersenyum puas.
Lee berjanji dalam hati, dirinya akan berusaha semaksimal mungkin. Dia sudah mendapatkan kesempatan satu langkah lebih maju untuk berjuang bersama legendaris. Lee tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Master Fu tidak akan menampung orang yang tidak berguna di sini. Hanya bisa menghabiskan nasi saja," ujar Kamalia dengan judes membuat atmosfer yang ada langsung menggelap, menjadi suram.
"Apa sih, Lia? Jangan gitu, siapa tau Lee memang belum terbiasa dengan rintangan yang ada di sini. Dulu saja aku seperti Lee, walaupun tidak sampai pingsan." Mon kembali merangkul Lee, memberikannya atmosfer yang lebih baik daripada ucapan Kamalia.
"Terserah." Kamalia berucap sembari meletakkan mangkuk dan sumpitnya di atas meja, dirinya sudah selesai makan dan tidak ingin berlama-lama bersama dengan orang-orang yang menjengkelkan.
"Aku selesai, pamit." Kamalia berucap dan membuka pintu ruang makan. Buru-buru memberikan hormat dan diikuti dengan yang lain, mereka langsung berdiri dan menundukkan kepalanya hormat.
"Lanjutkan saja makannya, Lee bisa kita bicara sebentar?" tanya Fu sembari menatap ke arah Lee yang masih mengunyah nasinya di dalam mulut.
Lee yang mendengar namanya dipanggil langsung menganggukan kepalanya dan menelan bulat-bulat nasi yang sekarang menyangkut di kerongkongannya.
***
Lanjut? Yes or No?