Kupungut sisa-sisa harapan yang tidak bisa terwujudkan di senja hari.
Seolah tanggal berubah tanpa ada artinya sama sekali.
Beberapa hari kemudian aku mengetahui jika sedan merah yang waktu itu berpapasan denganku saat menuju ke rumah Pak Bah adalah mobil Sena.
Rupanya ia juga baru saja terlibat perdebatan yang hebat dengan ayahnya.
Entah tentang apa, tapi aku rasa itu bukan hal yang ringan setelah mengetahui rentetan kejadian dari cerita Pak Bah waktu itu.
Ponselku hilang juga pada beberapa hari yang lalu, aku teledor menaruhnya sembarangan di dashboard motor Lail, meninggalkannya di sana selama berjam-jam untuk mengantar pesanan jahitan orang-orang di tempat Bu Widi.
Dan ketika aku kembali ke rumah, ponselku telah raib, nomornya sudah tidak aktif dan keberadaannya sulit dideteksi.
Belasan tempat telah aku lewati selama seharian itu, hingga ke kota kecamatan sebelah.
Aku tidak mungkin merunut kembali langkah-langkah ban motor Lail, lalu menunduk sepanjang jalan.
Benar kata orang, setelah tiada baru terasa.
"Nak, kudengar ponselmu jatuh di jalan ya?" rupanya Bu Widi sedang berkunjung ke rumahku sejak asar tadi.
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. "Iya, salahku tidak menjaganya baik-baik."
Dari genggaman Bu Widi terdengar samar-samar bunyi speaker dari dalam ponsel miliknya. Aku seperti kenal suara itu.
"Bu, Bu... apakah itu Bang Nadif?" Suara itu kini terdengar jelas. Zahwa!
Aku berbincang cukup lama dengan gadis yang kuharap ia masih sesendu dulu.
Tidak ada yang berubah dari caranya berbicara, entah apa rahasianya ia bisa menjelma manja dan dewasa dalam waktu yang bersamaan.
Ia menceritakan tentang teman-temannya di Jepang, ia ikut kegiatan sosial dengan menjadi relawan bagi sebuah rumah tinggal bagi anak-anak yang kurang beruntung.
Ia juga sempat menertawakan penderitaannya di bulan-bulan awal untuk menyesuaikan penggunaan bahasa yang belum pernah ia pelajari sebelumnya.
"Kulitku banyak yang mengelupas, mungkin belum bisa beradaptasi dengan cuaca di sini, Bang. Jika saja kamu tahu rasanya, periiiiih." Kemudian tertawa. Masih begitu, ia tak pernah berubah.
Ada kekecewaan yang amat besar mengingat ponselku yang hilang, maka hilanglah koneksiku dengan Zahwa.
Jujur aku merasa bersalah karena dalam kurun waktu beberapa bulan kemarin aku sempat meninggalkannya, meskipun ia mungkin tidak tahu dan ketika tahu pun ia tidak akan terlalu peduli.
Tapi merasakan hal yang sedari dahulu pernah datang dan ada kembali, muncul rasa rindu yang tidak jelas mana hulu dan muaranya.
"Aku ingin sekali pulang, sudah kangen de .. an…ba.. n.. dan.. rang rumah juga."
Suaranya agak terputus-putus, maklum jaringan di Nara tidak sebagus ibu kota.
Presiden dan pendekarnya belum kepikiran memberi kesejahteraan dalam hal teknologi begitu.
Jangankan sinyal, listrik saja tetanggaku masih ada yang harus salur menyalur, yang kalau tetangga satu menyalakan pompa air, maka listrik satu komplek akan mati semua, tidak kuat.
Ingin aku tanya, apakah ia penasaran denganku yang kangen dia juga atau tidak? Karena tanpa ditanya pun harusnya ia sudah tahu. Puluhan purnama telah aku lalui tanpanya, mana mungkin aku akan baik-baik saja.
Sore ini aku melihat rona langit merah muda keemasan saat senja, walaupun ia tak pernah sama dengan warna senja yang sebelumnya, ia masih tetap sendu, menjelma menjadi petunjuk arah bagi perasaan yang pernah ingin menyerah.
Rasanya sudah lama sekali.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog