Malam itu aku tidur di rumah Jupri, sebenarnya aku tidak enak merepotkannya yang sudah lama tidak bertemu, sekalinya datang malah aku menumpang.
Tapi mau bagaimana lagi, aku gengsi untuk pulang ke rumah.
Setelahnya, aku sadari betul, jika pergi saat berhadapan dengan masalah itu bukan penyelesaian yang benar.
Juga tentang mengambil keputusan saat sedang dalam keadaan marah adalah tindakan yang bodoh.
Dan kedua hal itu aku lakukan semua.
Aku hanya tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana, aku lelah dan butuh istirahat. Aku ingin menghilang sebentar.
Lail berkali-kali meneleponku, tentu saja tidak aku angkat. Berat hati untuk melakukannya.
Aku rasa Ibu juga tidak khawatir padaku.
Aku sudah besar, bujang, dan tadi Ibu juga berkata tidak sudi punya anak pemabuk kepadaku, meskipun aku bukan pemabuk tapi itu Ibu katakan padaku, jadi apa bedanya?
Rumah Jupri ada di kecamatan sebelah, 20 sampai 30 menit dari Nara. Sepanjang jalan aku tak banyak bicara, Jupri juga tidak menanyaiku apa-apa.
Ia empat tahun lebih tua dariku, mungkin lebih dewasa dan paham dengan keadaanku saat ini.
Aku sempat diam-diam menangis beberapa kali tapi tidak aku tunjukkan di hadapan siapa pun. Mau seperti apa pun keadaannya, sedih adalah rasa milik semua orang.
Tidak hanya perempuan yang bisa menangis, air mata laki-laki memang jarang ditemui tapi ada banyak ucapan dan perasaan yang tidak bisa diterjemahkan dengan kata-kata di baliknya.
Keesokan harinya kantor tutup untuk pemeriksaan lebih lanjut dari kepolisian.
Aku sempat khawatir jika saja ada salah satu dari mereka yang kembali datang ke rumahku.
Tapi Lail tidak mengatakan apa-apa di pesannya, dia hanya menyuruhku pulang dan marah-marah minta dijelaskan apa yang sebenarnya terjadi, sepertinya hati Ibu belum leluasa untuk membicarakan kejadian semalam kepadanya.
Aku memutuskan untuk beralih ke rumah Pak Bah. Aku tak enak menumpang seharian di tempat Jupri bersama keluarganya.
Jupri mengantarku sampai ke halte bus, ia sempat membujukku untuk pulang saja, tapi aku menolak, belum ada keinginan hatiku untuk melakukannya.
Mungkin jarak sedang aku butuhkan untuk saat ini.
"Tidak usah mengkhawatirkan aku, Jup. Aku sudah bujang dan mulai memperhitungkan betul dengan apa yang aku lakukan."
"Tapi dengan melihatmu semalam, aku jadi ragu kau sudah benar-benar bujang."
"Sudah, Jup. Antarkan saja aku ke halte bus terdekat, aku tidak hafal daerah sini. Aku mau mengunjungi seseorang."
"Mau ke mana kamu, Dip?"
Aku menyebutkan sebuah alamat yang selalu aku sambangi setiap hari minggu, yaitu rumah Pak Bah.
"Ah itu jauh dari sini, dua jam dari sini."
"Tidak apa-apa. Antar saja aku ke halte bus, aku tidak menyuruhmu mengantarku ke alamat tujuan."
Kupandangi hutan dan gunung yang berjajar mengisi seluruh hamparan bumi dari yang terlihat dari pojok kanan sampai pojok kiri mataku.
Dengan pikiran kacau dan harap-harap cemas, aku tak tahu harus berbuat apa ketika benar polisi mencariku.
Meskipun aku yakin aku tidak menggunakan barang haram itu dalam keadaan sadar, tapi pikiranku menciptakan asumsi-asumsi tersendiri.
Bagaimana jika makanan yang pada malam itu kami makan sudah dicampur? bagaimana kalau ternyata kami dijebak?
Aku benci pikiranku yang suka menerka-nerka.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog