Mr. Arief sudah tiga tahun menjadi komisaris di pengiriman barang bernama Merpati Nusantara.
Ia dahulu adalah seorang analis data sains di sebuah Lembaga Ilmu Pengetahuan Negara.
Entah apa yang membuatnya banting setir menjadi seorang komisaris jasa ekspedisi.
Beberapa minggu yang lalu aku pernah menemukan Sigaret State Express Blend 555 Gold di meja kerja Pak Bah, ternyata rokok itu adalah milik Mr. Arief.
Kali ini sebungkus British American Tobacco tengah diisapnya, kepulan asap yang meliuk-liuk terdorong keluar jendela ruangannya.
Sepertinya tengah banyak sekali yang ia pikirkan.
Jam makan siang tinggal 5 menit lagi, padahal aku baru saja selesai mem-packing barang yang harus aku antar siang ini.
"Makan saja di ruanganku. Aku tidak keberatan menerima tamu. Kau adalah karyawan baru di sini."
Aku meneguk ludahku sendiri. Astaga, apa kesalahan yang telah aku perbuat hingga harus menghadap atasan lagi.
Belum genap dua minggu aku bekerja, tapi sudah ada perkara lagi. Aku hanya mengangguk pada Mr. Arief.
Belum banyak karyawan yang dekat denganku, atau bahkan tidak ada.
Kerjaku selalu pergi-pergi, tak banyak waktuku untuk beramah-tamah dengan karyawan lain.
Tatapan orang di sekitarku juga tidak menyenangkan ketika Mr. Arief memanggilku ke ruangannya.
Aku benahi diriku sendiri, bukan kali ini saja aku dipanggil untuk menghadap atasan.
Dahulu, semasa masih di Berdikari, aku pernah dipecat bahkan ketika aku telah jadi orang kepercayaan di toko itu, aku tentu sakit hati, tidak terima, dan sangat ingin marah.
Tapi lihat aku kini, aku masih tetap hidup, bisa melewatinya dan masih baik-baik saja.
Dan aku rasa, aku tidak melakukan kesalahan apa-apa di minggu pertamaku bekerja menjadi kurir pengantar barang.
"Apa pekerjaanmu di perusahaan Pak Bah?"
Aku bingung harus menjawab apa, aku tak pernah bekerja secara resmi dengan Pak Bah, aku lebih sering membantunya secara sukarela.
Dan tentu saja itu bukan sebuah perusahaan, hanya bantu-bantu reparasi di rumahnya yang cukup besar untuk disebut sebagai hunian, namun terlalu kecil untuk dijuluki perusahaan.
"Di mana kamu tinggal anak muda?" Belum aku jawab pertanyaan yang sebelumnya, ia sudah bertanya lagi. "Silakan habiskan makan siangmu, semoga Mbak Nap masak enak hari ini."
Aku dipersilakan mengambil makanan di prasmanan dan membawanya kembali ke ruangan Mr. Arief.
Entah apa maksudnya, tapi aku belum mengatakan apa pun sejak masuk, keluar dan masuk kembali ke ruangannya.
Mr. Arief masih memandang keluar jendela, memperhatikan kepulan asap dari rokoknya yang mengambang keluar terbawa angin.
"Aku rasa, aku tak asing dengan sosokmu, tapi di mana kita pernah bertemu sebelumnya? Aku merasa kita adalah orang yang akrab."
"Belum, Pak. Sepertinya sebelum saya bekerja di sini. Saya belum pernah secara sengaja bertemu Bapak. Saya tidak pernah pergi jauh-jauh."
"Kau anak buah Pak Bachrudin namun kau tidak pernah pergi jauh? Aneh sekali. Apa yang membuatmu ingin tetap tinggal? Apa kau tidak tersihir dengan perkataan-perkataan Pak Bah padamu? Aku sungguh tidak mengerti."
Orang di depanku sungguh orang yang benar-benar cepat dalam berpikir dan menarik berbagai dugaan.
Aku tebak, pikirannya mungkin penuh dengan cabang-cabang neuron yang tidak teratur.
"Aku belum punya kesempatan, Pak. Mungkin kelak-"
Belum selesai aku berbicara, Mr. Arief sudah memotongnya dengan pertanyaan lain. "Kelak? Apa kelak?" tanyanya dengan nada yang tinggi, dilanjutkan dengan tawa terbahak sambil bertepuk tangan.
Menurut bisik-bisik yang aku dengar dari karyawan lain, Mr. Arief jika tertawa memang suka dibarengi dengan tangan yang bertepuk atau kaki yang dihentak-hentakkan ke tanah.
Aneh memang, tapi seperti itulah yang kulihat.
Sejenak diam, masih menunggu reaksi, kemudian aku mengangguk.
"Aku suka caramu menyebut kata kelak. Karena kelak berarti masa depan. Aku suka kesempatan dan masa depan. Dan kamu!" ucapnya dengan nada yang tak kalah tinggi dari sebelumnya, “kamu menyebutkannya dalam waktu yang hampir bersamaan. Kau benar-benar seperti orang yang pernah aku kenal, meski aku lupa siapa orang itu."
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog