Loading...
Logo TinLit
Read Story - Janji-Janji Masa Depan
MENU
About Us  

[Zahwa POV]

Beberapa bulan lagi sakura akan tumbuh dan aku harus melihatnya!

Aku sungguh berharap semoga ia paham jika pergiku bukan untuk meninggalkannya, dan rantauku bukan untuk menemukan hati yang baru.

Meskipun aku sedikit tahu ada yang tidak wajar diantara kami, tapi bagaimana aku harus memperlakukan perasaan ini?

Bukan aku yang meminta untuk diberi perasaan suka padanya, bukan aku pula yang merangkai jalan cerita dalam mimpi sehingga ia bisa hadir setiap malamnya.

Aku sungguh tidak meminta.

Mulai September yang lalu, di Jepang sudah berteman dengan musim gugur.

Suhu kota lumayan panas untukku yang sebelumnya terbiasa tinggal di pegunungan, namun aku tetap tak pernah melewatkan syal yang biasa kulingkarkan di leher dan menutupi seluruh permukaannya.

Beruntung pendingin ruangan dalam kereta bekerja dengan baik.

Dari Tokyo, aku akan pergi ke Fukui, 2 jam lagi kemungkinan aku sampai di sana.

Sudah dua bab buku karya Seno Gumira Ajidarma selesai kubaca, membuat mataku terus sibuk berjalan dan menyapu kata-kata dalam setiap barisnya.

Lucu sekali, buku ini mengisahkan tentang seorang lelaki yang berusaha keras mengirim sepotong senja untuk Alina, pacar dari lelaki tadi.

Ia rela menjadi buronan insan di seluruh kota karena telah mencuri senja.

Aku belum membaca sampai akhir, aku tak tahu apakah senja ini akan sampai pada Alina dengan keadaan utuh atau malah mungkin tidak sampai, aku belum tahu.

Sebulan lebih di tempat baru ini aku belum banyak menemukan teman. Selain karena tertutup, aku belum banyak bertemu orang.

Belum genap seminggu, aku langsung sibuk dengan kuliah dan orang yang kutemui setiap hari hanya mereka-mereka saja.

Aku masih belajar bahasa pribumi di sini.

Satu hal yang sangat berbeda dengan sekolahku dahulu adalah.. di sini tidak semua orang di dalam satu kelas bisa saling mengenal.

Bahkan yang kukira mereka sudah akrab pun masih saling meminta izin ketika ingin meng-follow media sosial satu sama lain.

Jujur, itu cukup mengagetkan untukku, di SMA-ku dahulu, media sosial adalah arena publik di mana orang ke orang bisa bebas terhubung tanpa embel-embel permisi ingin follow.

Dari Fukui Station aku masih harus naik taksi untuk sampai ke rumah seorang teman.

Letaknya agak jauh dari pusat kota, tak sanggup kakiku berjalan sendirian di tempat yang bisa dibilang asing bagiku.

Ia adalah teman baruku yang pertama bahkan saat aku belum genap sehari di Jepang.

Namanya adalah Hiroshi, si manusia silver. Ia bekerja setiap hari di perempatan jalan tempat aku bersekolah.

Perkenalan kami sangat sederhana, aku menjatuhkan dompetku dan ia menemukannya, bahkan mengantarnya sampai ke dorm tempatku tinggal.

Di hari pertama kuliah, bahasa Jepangku masih buruk dan tidak semua orang bisa berbahasa inggris. Hiroshi bisa keduanya.

Ia bilang bahwa dompet coklat milikku sudah lama tertinggal di bangku dekat tempatnya bekerja menjadi manusia silver.

Tak ada yang berminat mengambilnya. Alhasil ia amankan dan ia cari pemiliknya.

Keesokan harinya aku bertemu Hiroshi, ia selalu ada di situ. Apabila ada waktu luang, aku selalu menyempatkan untuk datang atau sekadar lewat menyapanya.

Kebetulan perempatan itu adalah akses terdekat dari dorm ke kampus.

"Ini adalah adalah hari ke sebelas di mana kau terlihat murung." Hiroshi menjemputku di stasiun lokal, katanya rumahnya masih jauh, dan aku harus menunggu angkutan lagi untuk benar-benar sampai ke rumahnya.

"Tidak, aku hanya sedang rindu rumah."

"Kuharap rindu bukan alasan mengapa perasaan jadi menderita." Hiroshi melambaikan tangan pada taksi yang berseliweran, cukup sepi untuk ukuran Jakarta, tapi sangat ramai untuk kota yang mayoritas orangnya adalah pejalan kaki. "Tunggu, bukankah kemarin sudah telepon ibu dan ayahmu?"

"Iya sudah, rinduku sedikit terobati karena mengetahui mereka dalam keadaan baik-baik saja." Taksi membelah jalanan kota dengan kecepatan medium, tak ada kendaraan lain.

"Lalu rindu mana yang kau risaukan?"

Aku diam, bukan mau menjawab, melainkan karena tak paham dengan perasaan sendiri.

"Kau sudah pergi jauh meninggalkan orang-orang yang telah berada di belakang, kau tak akan maju jika sesuatu yang kau tinggal itu terus kau ikat namun tak kaubawa ke mana-mana. Itu hanya menjadi beban bagimu. Lepaskan saja agar langkahmu ringan."

Aku masih diam, tak mengalihkan pandanganku dari jajaran pohon yang ranum dan kecoklatan di pinggiran jalan yang tabah menghadapi teriknya matahari.

"Kau pasti setuju jika lima puluh persen dari hubungan adalah percaya, separuh yang lain adalah macam-macam perasaan, istilah, dan logika yang memang harus ada. Jika harga sebuah percaya tak lebih besar dari rasa curiga, maka ada sesuatu yang salah di antara hubungan itu."

"Ya, mungkin. Aku rasa aku menyukai orang yang hanya dan selalu menganggapku sebagai adiknya," ucapku lirih, sangat lirih.

"Aku hampir tak percaya, dari caramu menceritakannya, kurasa ia sebenarnya menganggapmu lebih."

"Jangan mengucapkan hal yang belum pasti hanya untuk menenangkan atau menyenangkan perasaanku, Hiroshi. Aku tidak mau bersenang-senang dan merasa aman di atas kebohongan."

"Kau terlalu defensif pada dirimu sendiri, padahal perasaan yang seperti itu tadi, selama tidak berlebihan, menurutku, tidak apa-apa. Lagi pula, kita tak pernah tahu mana yang benar jujur atau mana yang benar bohong. Bisa jadi, apa yang kita kira kebohongan ternyata adalah kebenaran, begitu juga sebaliknya, sesuatu yang kita percaya sebagai kejujuran ternyata adalah kebohongan besar. Manusia selalu dipenuhi dengan ketidaktahuan. Jangan sia-siakan perasaanmu untuk merasa tidak bahagia."

Kami telah sampai di sebuah desa dengan tangga berundak yang dibangun di sana sini.

Ini pegunungan! Untuk apa pun alasannya aku lebih suka matahari terbit di punggung bukit, daripada matahari terbit di garis batas cakrawala antara angkasa dan samudra.

Aku lebih suka udara dingin daripada sepoi dan ributnya angin pesisir.

Aku selalu suka udara pegunungan, lengkap dengan kabut, sepi, jauh dari kota dan tersembunyi.

Detak jantungku merasa lebih baik ketika terbangun di sana.

Hiroshi menuntunku masuk ke sebuah halaman yang pelatarannya dipenuhi tanaman tomat, udaranya sejuk, angin bertiup damai dan beberapa makhluk terbang terlihat sejahtera di dataran ini.

Aku menghela napas berkali-kali, apa ini yang aku butuhkan?

Sejak masih di halaman, terdengar ramai suara anak-anak yang tanpa bertanya pun aku sudah tahu suara itu berasal dari mana.

Dan ketika masuk, seketika aku sadar, ini rumah bukan sepenuhnya rumah, tempat ini adalah panti asuhan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • mesainin

    I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'

    Comment on chapter Epilog
  • cimol

    ayoo !!!

    Comment on chapter Prolog
  • wfaaa_

    next chapter!

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Palette
6259      2262     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
Kisah di Langit Bandung
366      132     0     
Romance
Tentang perjalanan seorang lelaki bernama Bayu, yang lagi-lagi dipertemukan dengan masa lalunya, disaat ia sudah bertaut dengan kisah yang akan menjadi masa depannya. Tanpa disangka, pertemuan mereka yang tak disengaja kala itu, membuka lagi cerita baru. Entah kesalahan atau bukan, langit Bandung menjadi saksinya.
Merayakan Apa Adanya
485      349     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Arloji Antik
405      265     2     
Short Story
"Kalau langit bisa dikalahkan pasti aku akan ditugaskan untuk mengalahkannya" Tubuh ini hanya raga yang haus akan pengertian tentang perasaan kehidupan. Apa itu bahagia, sedih, lucu. yang aku ingat hanya dentingan jam dan malam yang gelap.
My Sunset
7444      1612     3     
Romance
You are my sunset.
Babak-Babak Drama
476      331     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
Singlelillah
1327      638     2     
Romance
Kisah perjalanan cinta seorang gadis untuk dapat menemukan pasangan halalnya. Mulai dari jatuh cinta, patah hati, di tinggal tanpa kabar, sampai kehilangan selamanya semua itu menjadi salah satu proses perjalanan Naflah untuk menemukan pasangan halalnya dan bahagia selamanya.
Langkah yang Tak Diizinkan
195      163     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Aku Bahagia, Sungguh..!
468      337     2     
Short Story
Aku yakin pilihanku adalah bahagiaku mungkin aku hanya perlu bersabar tapi mengapa ingatanku tidak bisa lepas darinya --Dara--
Pulang Selalu Punya Cerita
1203      767     1     
Inspirational
Pulang Selalu Punya Cerita adalah kumpulan kisah tentang manusia-manusia yang mencoba kembalibukan hanya ke tempat, tapi ke rasa. Buku ini membawa pembaca menyusuri lorong-lorong memori, menghadirkan kembali aroma rumah yang pernah hilang, tawa yang sempat pecah lalu mengendap menjadi sepi, serta luka-luka kecil yang masih berdetak diam-diam di dada. Setiap bab dalam buku ini menyajikan fragme...