Di Negeri Sakura, waktu bergulir dua jam lebih dahulu daripada di tempatku berada.
Sekarang pukul empat sore, dapat dipastikan di sana matahari tengah tenggelam dengan lembayung memenuhi kaki langit serta warna keemasan yang secara magis dapat menenangkan jiwa.
“Kepada Matahari sore yang mengagungkan sepi.
Tiupkan angin lirih pada sela rambut dan jari kuatnya
Tolong bisikkan kabar paling sejuk pada telinga tegarnya
….
Kepada Bintang senja yang sinarnya tak ‘kan temaram,
Tolong bawa teduh ke mana pun jiwa dan raganya berada
Sampai ia yakin bahwa damai adalah milik siapa saja.”
Entah Zahwa akan tahu atau tidak jika aku suka sekali menulis sajak untuknya, seolah sepanjang hari adalah bait-bait penuh aksara, entah tertulis atau di batin saja.
Zahwa suka sekali kata-kata indah, bukan karena ia senang digombali atau hatinya yang mudah ditaklukkan, melainkan ia sendiri yang menciptakan kata-kata indah itu.
Entah berapa ratus lembar kertas yang telah ia habiskan sejak pertama kali ia mengenal tinta, kertas, dan sajak.
Dan aku diam-diam menirunya, aku diam-diam menuliskan segala kekagumanku padanya tanpa pernah sekalipun berani mengatakannya secara langsung.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog