Sore itu aku bergegas pulang, setelah berpamitan pada Pak Bah, Sena, dan anak-anak yang masih betah bermain di sana.
Kesan Pak Bah yang serius dan bijaksana kini berubah dari pandanganku.
Ia masih tetap bijaksana, namun tidak dengan roman seriusnya, tak terhitung berapa kali ia menjahili dan dijahili tetangga yang katanya telah ia anggap sebagai cucu dan ponakannya itu.
Tapi aku tidak setuju dengan sebutan Pak Bah pada Zahwa tentang si 'matahari terbit', meskipun kini ia tengah menempuh pendidikan sebagai psikolog di negeri itu.
Kurasa ia lebih cocok sebagai matahari tenggelam, tempat raga ingin beristirahat dan pulang.
Wajahnya yang manis senuansa dengan senja yang sendu. Kadang ia riang, tapi juga misterius dan menenangkan.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog