Read More >>"> Denganmu Berbeda (#41) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Denganmu Berbeda
MENU
About Us  

Dienka terus memandangi dua es krim kerucut dalam genggaman. Gadis itu terduduk di kantin sekolah yang begitu ramai. Membayangkan persepsi sang lelaki membuatnya tersenyum tanpa hambatan. Beragam bayangan menghampiri angan-angan, yang menjadi pasal terbentuknya senyuman. Hingga kemudian, setelah menunggu bersama lamunan; ia mendapati kehadiran seseorang yang telah dinanti-nanti juga dambakan.

“Candra!”

Dienka tersenyum simpul, mengangkat tinggi tangan kanannya. Sungguh, dalam kali pertama dalam hidupnya ia berani untuk memberi sesuatu dalam tanda petik ‘berdasarkan cinta'. Jadi salahkanlah cinta yang membuat pipinya merah merona.

Selang beberapa detik, akhirnya Candra melirik pada titik di mana Dienka berdiri; di mana Dienka melambaikan lengan sebagai salam sapa. Namun nahas, gerombolan siswi-siswi telah menghulukannya; memaksanya untuk membatu kaku.

Para siswa—yang kurang lebih berjumlah dua puluh—itu menyodorkan barang yang ingin mereka beri pujaan mereka, Candra Arkatama. Namun sang idola kewalahan, terdiam pada titik yang sama. Tak melakukan apa-apa.

Lain tempat, lain rasa; Dienka merunduk. Menyembunyikan raut wajahnya yang mungkin kentara merana. Sial! Dia lupa bahwa bukan hanya dia yang mencintai Candra. Bukan hanya dia yang ingin mendapatkannya. Bukan hanya dia yang berharap untuk menggapainya.

Pada akhirnya Dienka hanya terkekeh lirih; menertawakan diri sendiri yang terlalu tinggi hati. Ia merasa geli karena berpikir punya kesempatan untuk mendapatkan sang lelaki. Ia terlalu banyak bermimpi.

Apa mending gue pergi, ya?

“Ka?”

Deg

Dienka menaikkan pandangan, mengamati seorang lelaki yang melempar satu senyuman. Manusia tampan itu menatap kedua netra Dienka dalam-dalam; menghentikan sang sangkala dalam semesta Dienka.

Kemudian, sosok yang sama melangkah mendekat. Mendatangi Dienka yang gelagapan. Ia mengulurkan lengannya, menciptakan kerutan di glabela sang wanodya yang menitikkan keringat dingin.

“Es krim itu buat gue, ‘kan?”

“Eh? Ehm ....” Dienka mengangguk patah-patah. Mengarihkan es krim perisa stroberi ke hadapan Candra. Kalakian, setelah meraih makanan kesukaannya, Candra tersenyum manis pada Dienka yang menyeringai bahagia.

“Kemarin lo nggak apa-apa, ‘kan?”

“I-iya, kok. Mimisan aja,” balas Dienka terbata-bata.

“Syukurlah, gue lega. Gue minta maaf, ya? Lagi-lagi gue hilang kendali.”

“Lagi-lagi?” Dienka nanap. Memandangi netra Candra yang sarat akan rasa bersalah, tetapi juga lega yang kentara. “Sebelumnya sama siapa?”

“Elard.”

“HAH?!”

Dienka membungkam mulutnya sendiri, seakan menahan diri untuk tak mengatakan sesuatu lagi.

“Kenapa?”

“Uh? Uhm, nggak apa-apa.” Dienka meringis samar, menyembunyikan keterkejutannya. “Ayo pergi!”

Gadis itu menyeret Candra untuk angkat kaki. Meninggalkan keramaian dengan berbagai emosi dalam hati.

🌻

“Ren? Lo mau ke mana, heh?!” sentak Septhian ketika memergoki Varen melangkah keluar dari lapangan, menuju bangku panjang di mana tas-tas diletakkan.

 

Menyengir, Varen menyampirkan tas biru itu pada pundaknya. “Bolos,” jawabnya frontal.

“Hari ini ada tes, Ren!”

Septhian jelas tak suka. Akhir-akhir ini Varen semakin gila dan semena-mena. Dan lagi, apa pun tingkahnya, alasannya pasti selalu Lana.

“Cita-cita gue bukan jadi pemain basket!” desisnya enggan.

“Tapi lo bisa dapet penilaian C!”

“Nggak mungkin. Gue OP.”

“Lo nggak—OY REN!”

Jadilah Septhian mengumpat lirih, menyayangkan kebodohan lelaki tampan yang telah menghilang dari pandangan. Varen lebih memilih untuk alpa dan menemui Lana yang tengah dirindukannya.

“Yaah ... hari ini, kan, gue naik taksi!” desah Varen, mengacak rambutnya sesaat ketika menyadari ia tak membawa kendaraan sama sekali. “Bodo amat, deh. Gue udah kangen Lana!”

Tanpa pikir panjang, Varen segera mengerahkan kedua tungkai untuk berlari. Berbelok ke kanan pun kiri. Kendati peluh telah membasahi kening, punggung, juga sekujur tubuhnya; Varen tak peduli. Ia hanya ingin menemui buah hati.

Itung-itung olahraga!

Varen berseru lirih kala dirinya mulai penat. Lariannya pun melambat. Namun berhubung keinginannya kuat, langkahnya tak lagi tersendat-sendat.

 

Kemudian, ketika Varen melewati kediaman cokelat terang; seekor anjing harder menggonggong padanya. Makhluk bergigi runcing itu menggeram, lantas dalam sekali kedipan mata mengejar Varen begitu saja.  

 

Kini Varen memforsir diri untuk berlari. Menghindari hewan berbulu hitam pekat yang terus membayangi langkahnya. Tatkala anjing itu menyalak, Varen pun berteriak. Ia terlampau cemas kalau-kalau anjing itu akan menggigit dan mengulitinya kelak.

Lagian, sejak kapan ada anjing di sekitar sana?!

“MAMAAA!”

Kendati napasnya tersengal-sengal, Varen nekat meneruskan lariannya. Melesat dan melompat. Menghindari makhluk itu semampunya dengan tujuan tetap pada kediaman Lana.

SEKALI BELOKAN LAGII!

Varen berseru kuat-kuat saat netranya mendapati rumah Lana di depan mata. Bagai kesetanan, Varen menanjaki jalanan miring yang menghubungkannya langsung pada teras rumah Lana. Lelaki itu menggedor-gedor pintu utama sekuat tenaga. Sampai akhirnya, ia hanya bisa mengucap syukur ketika Lana menyembul dari balik pintu yang terbuka.

Menemukan Varen di mata, Lana menyalangkan netra seketika. Merutuki ketidaksopanan Varen yang menggemparkan seluruh anggota keluarganya lantaran gedoran bahananya.

“Lan, tolong gue!”

“Tolong apa? Lo bisa lebih sopan, ‘kan? Di rumah ini nggak cuma gu—”

“Gue, anjing!” jerit Varen terbata-bata.

“Hah?!”

GUUKKK GUKKKK

Dua sejoli itu mendelik sempurna selagi anjing itu menyalak dan menghampiri mereka.

 

Refleks, Varen mendorong Lana melalui pintu yang sama. Tak lupa, ia membanting dan mengunci pintunya. Mengamankan diri dari anjing yang terus menyalak lantang—yang seolah-olah ingin mengoyak dan menghancurkan tubuh atletiknya.

“Ck, lo kasar banget, sih?” Lana menaruh kain pel yang digenggamnya ke atas meja. Memutuskan untuk menunda pekerjaannya.

“S-sorry, Lan! Gue masih mau hiduup!”

Lana membuang napas, memandangi Varen yang tak juga beranjak dari tempatnya. Lelaki itu mengintip melalui jendela, memastikan keadaan tanpa menyadari betapa basahnya ia.

“Gue masuk dulu.”

“Terus gue?!” Varen menganjurkan bibirnya, meminta belas kasihan.

“Lo duduk aja! Anjingnya nggak bakal masuk selama lo kunci pintunya.”

Varen menyengguk patuh. Lelaki yang kadang bisa sangat menggemaskan itu beringsut duduk di atas sofa yang ada. Meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Napasnya yang tersengal-sengal, perlahan menormal. Hingga kemudian, kala mengedarkan pandangan pada kamar tamu Lana yang diatur ulang, Varen menemukan sebotol minuman di meja yang tak jauh darinya.

Tanpa menaruh kecurigaan, Varen meraih botol itu. Mengecek keadaan dan berseru, “LANN! GUE MINTA MINUM YANG ADA DI MEJA, YA?!”

Lana yang tengah mengaduk-aduk secangkir teh di hadapannya hanya mengerutkan glabela. Kurang menangkap jelas ucapan sang pemuda. Namun, berhubung Varen gila dan suka meracau seenaknya, gadis itu sebatas menaikkan kedua bahunya. Memilih untuk melanjutkan aktivitasnya.

Di sana, di ruang tamu, Varen yang tengah menanti jawaban beralih tersenyum senang. Karena menurut pengalamannya, diam seorang Lana adalah kata lain untuk ‘iya’.

Sekali lagi, tanpa pikir panjang Varen membuka botol yang dicekalnya. Menenggaknya cepat-cepat kemudian menaruhnya kembali ke atas meja, menghabiskan setengah dari isinya. Botol berisi cairan pel yang dicampur oleh air keran.

Mengerutkan kening, Varen merasakan sensasi aneh dari minuman tadi pada tubuhnya. Rasanya pun pahit, dan pekat. Malar-malar kerongkongannya terasa terbakar.

“Rasa ap—eh? Kok gue pusing?!”

Varen menekan pelipis dengan kedua jari telunjuknya. Mengurut dan memijatnya kasar. Kepalanya terasa berat dan gayang, matanya bahkan berkunang-kunang.

Dengan tangan bergetar, Varen meraih botol yang sama dan menenggaknya kedua kali. 

Biarlah rasanya aneh, yang penting gue terhidrasi.

“Lo minum ini dulu, Ren, badan lo—ASTAGA, RENN!”

Lana melepas pegangan pada secangkir teh yang baru saja dibuatnya; yang jelas jadi pecah berserakan seketika. Tergemap kala memergoki Varen menandaskan sebotol cairan penuh zat kimia yang jelas berbahaya. Lekas saja ia berhamburan; mendatangi sang pemuda yang lemas tak berdaya. 

Varen tengah berada di ambang kesadarannya.

“REN! VAREENNN!”

🌻

“Lo ... beneran mau ke rumah gue?” cicit Dienka. Gadis itu didera cemas yang berlebihan, dengan atensi pada Candra. Namun, sang lelaki masih sibuk mengusap peluh yang tercipta pada keningnya. Kegiatan basket beberapa saat lalu sukses menguras energinya.

“Kenapa? Gue pengen ketemu sama Papa.”

“Papa?!”

Pipi Dienka bersemu merah. Irasnya memanas. Mungkin kini, ia tak jauh berbeda dari perempuan pada umumnya—yang kerap salah tingkah di hadapan Candra. Gadis itu akan menjadi seorang ‘perempuan’ kapan pun itu ketika disanding Candra. 

“Papa lo nggak bolehin pacaran?”

“Ah?! Euhm ... kayaknya ....” Dienka memainkan kuku-kuku pada jemarinya, merasa aneh dan masih salah tingkah. “Tapi kata Papa ... tergantung orangnya, sih. M-ma-maksudnya kalau orangnya itu lo, Papa pasti nggak akan keberatan.”

 

Candra manggut-manggut mengerti, melantarkan Dienka kian berseri-seri.

“A—hahaha, lagian kita juga nggak pacaran.”

“Siapa yang tahu takdir? ‘Nggak’ bukan berarti ‘nggak akan’,” ujarnya. Membuat gadis itu punya hasrat untuk melompat-lompat dari tempatnya.

Tersenyum samar, Dienka segera menyengir lebar.

“Ya udah ....”

“Ya udah gimana?”

“Ayo-ayo aja. Kebetulan Papa gue selalu pulang sore.”

“Oke bagus.”

Dienka menggigiti pangkal bibirnya. Bersilih menggutik lengan Candra sampai akhirnya menolehkan kepala.

 

“Tapi Can ... lo jangan freak out waktu liat Papa gue, ya?”

“Kenapa harus?”

“A—nggak apa-apa.”

Candra mengernyitkan keningnya sedalam mungkin. Penasaran bukan main.

“E—udah! Ayo, daripada lo penasaran.”

Candra membiarkan Dienka menggandengnya dan membawanya pergi. Meninggalkan lapangan basket yang selalu menjadi saksi.

🌻

Lana merunduk gelisah, netranya sarat akan rasa cemas pun resah. “Maafin Lana, Tante! Lana bener-bener nggak maksud buat Varen jadi—”

“Udah, nggak apa-apa, Sayang. Kamu nggak usah khawatir. Lebih baik kamu pulang, ya? Jadi biar Tante sama Om yang jaga dia,” balas Vena hangat. Menepuk-nepuk pundak Lana dan berusaha meyakinkannya.

Namun bukannya mengiyakan, Lana menggeleng kepala. Berkeras hati untuk tetap berada di sana. Sekilas, Lana melayangkan pandangan ke satu ruangan bernuansa putih yang tertutup gorden hijau; di mana Varen terbaring—karena kecerobohannya.

“Sudah, Lana ... kamu pulang aja. Kamu pasti capek, ‘kan? Besok lusa udah ujian, loh.”

“Tapi Tant—”

“Lo paham nggak, sih, kalau disuruh pergi?” sentak seseorang yang berjalan tak santai ke arah mereka. Menusuk mata Lana yang mulai berkaca-kaca dengan cara memandangnya. Irena.

“Gue akan tetep di sini!” desis Lana penuh penekanan.

“Lo tuh pembawa sial, ya? Lo selaluu aja bawa bencana!” desis Irena.

“Irena!” Sentakan Vena mengejutkan keduanya. “Jangan bicara seperti itu! Ini sepenuhnya kesalahan Varen! Varen yang berinisiatif untuk minum cairan pel itu!”

Irena merotasikan bola netra; melipat dua lengan di depan dada. “Tetep aja, Tante! Dia egois karena nggak perhatiin Varen!” seru Irena tak terima.

“Udah, ya, Irena? Varen nggak apa-apa, kok! Dia cuma butuh istirahat.”

Vena tersenyum simpul, memastikan kedua gadis yang disayanginya dalam keadaan kepala dingin serta baik-baik saja. “Tante duluan, ya? Tante harus telepon Om Demian dulu.”

Ketika Vena berlalu, Irena hanya bisa mengembuskan napasnya. Lantas mengerlingkan netra pada Lana yang kentara nestapa. Wanodya itu sampai meremas-remas jemarinya dengan sorotan mata yang hampa. Melihat itu, Irena menyeringai lebar. Membisikkan beberapa kata yang berhasil menyadarkan Lana dari lamunannya. 

 

“Berterima kasihlah, Lan; gue akan buat lo nggak akan ketemu Varen lagi.”

“Lo nggak akan bisa,” sahut Lana cepat. 

 

Gadis itu begitu berani menatap mata Irena dengan tatapan mengintimidasi. Meski keduanya tak punya hubungan berarti kini, akan tetapi masih terdapat suatu rasa abadi pada relung hati. Padanya—pada Lana. Sahabat terbaiknya.

“Maaf, Ren ... tapi gue udah memilih. Pilihan gue adalah untuk Varen perjuangkan,” desis Lana. 

Kemudian, dengan segera sang dara melalui Irena yang membatu pada titik nan sama. Menyisakan luka lain yang lumayan menyiksa.

🌻

“Lo tunggu di sini dulu, ya? Biasanya Papa gue ada di belakang.”

Candra menyengguk, meyakinkan Dienka untuk cepat-cepat bertolak. Gadis bergaya rambut layered bob tersebut berlari, menyisihkannya seorang diri dalam kamar tamu bergaya kuno yang artistik pun estetik.

Ia tersenyum saat memandangi foto yang diduganya seorang Dienka pada usia belia. Di sana, Dienka sungguh terlihat seperti perempuan, jauh berbeda dengan Dienka kini yang bodo amat soal penampilan.

“Gue pulang!” desis seseorang seraya menggebrak pintu utama. Menyebabkan Candra tersentak sampai spontan menolehkan kepala.

Jelas saja netranya membulat sempurna kala tahu siapa orang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang tak karuan bentuknya.

‘Gue pulang'?! Apa maksudnya?!

“LO?!” pekik orang itu. Menuding iras Candra, tetapi tak selang lama segera terkekeh tanpa tenaga.

Candra nanap, tetapi tetap memilih untuk menyengap. Benar, itu dia. Elard Arkana.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dream of Being a Villainess
865      484     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Aditya
1161      473     5     
Romance
Matahari yang tak ternilai. Begitulah Aditya Anarghya mengartikan namanya dan mengenalkannya pada Ayunda Wulandari, Rembulan yang Cantik. Saking tak ternilainya sampai Ayunda ingin sekali menghempaskan Aditya si kerdus itu. Tapi berbagai alasan menguatkan niat Aditya untuk berada di samping Ayunda. "Bulan memantulkan cahaya dari matahari, jadi kalau matahari ngga ada bulan ngga akan bersi...
Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS]
12197      1916     4     
Romance
Cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan. Di saat aku hampir menyerah, laki-laki itu datang ke dalam kehidupanku. Laki-laki itu memberikan warna di hari-hariku yang monokromatik. Warna merah, kuning, hijau, dan bahkan hitam. Ya, hitam. Karena ternyata laki-laki itu menyimpan rahasia yang kelam. Sebegitu kelamnya hingga merubah nasib banyak orang.
Ghea
418      268     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
The Secret
335      217     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
KataKu Dalam Hati Season 1
3534      1068     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
A Day With Sergio
1080      523     2     
Romance
Nightmare
391      264     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
Kesempatan
16769      2684     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Lazy Boy
4191      1114     0     
Romance
Kinan merutuki nasibnya akibat dieliminasi oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa pulang medali emas, dia bisa meraih impiannya kuliah gratis di luar negeri melalui program Russelia GTC (Goes to Campus). Namun di saat keputusasaa...