Read More >>"> Denganmu Berbeda (#40) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Denganmu Berbeda
MENU
About Us  

“Lan?”

“Hm?” balas Lana tanpa menolehkan kepala. Netranya enggan berpaling dari buku Bahasa Indonesia.

“Gimana sekarang? Lo udah bisa buka hati ke gue?” Lana menghentikan kegiatannya. Menjauhkan buku itu dari hadapannya. Iras gadis itu memucat; teramat bingung harus mengucapkan apa, karena sejujurnya, ia masih belum bisa untuk berpaling begitu saja. “Oh, oke. Gue paham, kok.”

Laki-laki itu tersenyum lebar, meski tampak jelas artifisial.

“Are you okay?” cicit Lana.

“Yeah, gue kan udah janji untuk bertahan.”

Secara impulsif, sang gadis tersenyum tipis. Ekspresi Varen membentuk sekelumit rasa bersalah yang nyata; yang entah kenapa cukup menyiksanya.

“Gimana hubungan lo sama Candra? Gue nggak pernah liat kalian bareng lagi.”

“Baru seminggu, juga!” lirih Lana. Berlagu menitikberatkan buku catatannya daripada sang pemuda.

“Masih belum bisa lupain dia?” Lana membisu, memilih untuk tak meresponsnya.
 “Mau gue bantu buat lupain dia?”
 
Segera saja Lana melirik lelaki di sanding mejanya, memandanginya dalam-dalam. “Caranya?”

“Ya lo harus suka sama gue.”

“L—”

“Bercanda!”

Gadis itu mendengkus, langsung membuang muka. Varen memang tak akan berubah secepat itu—tentu saja. Selamanya hanya lelaki menyebalkan yang kerap melemparkan kelakar murahan. 

“Bolos, yuk?”

“Lo apaan banget, sih? Katanya good boy? Asal nge-claim lo, ya?!”

Varen berdecak sebentar, menghela napas panjang. “Gue good boy, bukan nerd boy! Sesekali nakal nggak bakal bikin nilai gue jelek!”

Lana mengulum bibirnya, berpikir.

“Kebanyakan mikir bikin lo diremehin! Orang cerdas tuh selalu berani berbuat, berani memutuskan; bukannya berani berpikir!”

Lekas diraihnya tangan Lana, yang kemudian segera Varen tarik untuk bangkit dari posisinya; akan tetapi sang wanodya bersikukuh pada tempatnya.

“Mau ngapain lo?!”

“Kebetulan di deket sini ada Mall, dan gue pengen photo booth sama lo.”

“Gue yang nggak mau!”

“Ck, gue bawa uang, kok!”

Varen semakin menyeret raga Lana, berhasil membuat gadis itu beranjak dari bangkunya.

“Gue nggak—Varenn!” 

Terkekeh, Varen segera menyeret tubuh si wanodya. Keluar dari kelas, keduanya melalui Candra yang bahkan tak mereka sadari kehadirannya.

Sepasang insan tersebut terus melesat pergi. Menuruni undakan, berbelok pada koridor, lantas menyusuri lintasan. Tak tanggung-tanggung, Varen nekat melalui gerbang utama yang kerap dijagai Pak Mul—satpam gembul itu. Untunglah beliau tengah sibuk streaming Blackpink sehingga keduanya bisa pergi tanpa ada hambatan.

“Lo gila!” rutuk Lana, bersamaan dengan tangannya yang menghempaskan lengan Varen. Sekujur tubuhnya sukses basah akan peluh. “Gue nggak mau disidang Guru Bledek lagi! Gue nggak mau kena kasus lagi! Gue nggak mau kena rumor lagi! G-gue ... nggak mau tersesat di Mall lagi!"

“Maksud lo?”

Varen menautkan kedua alisnya, memandang Lana penuh tanda tanya. Wajah Lana begitu pucat dan bola matanya mulai bergetar tak tenang. 

“Lo pikir phobia gue muncul gitu aja?!” hardik Lana, berupaya mengatur napasnya yang semakin tak karuan lepas menjerit dengan lantang. Netra kecokelatan itu berkaca-kaca, terlampau gamang.

“Lo nggak perlu khawatir, gue bakal temenin lo!”

“Edo juga bilang hal yang sama waktu itu!” seru Lana. Mengusap kasar air matanya. “Tapi buktinya? Dia lebih pilih main di mandi bola!”

Lana sesenggukan. Menutupi mulut serta hidungnya dengan punggung tangannya.

“Kenapa lo nggak coba untuk percaya sama gue?”
Varen menggapai tangan Lana, menggenggamnya. Kalakian ia menautkan kelima jarinya pada jemari Lana yang mendingin.

“Kadang, seseorang harus berani menghadapi ketakutan terbesarnya—daripada kelak menyesal akan pilihannya.”

Lana mengusap air matanya ke sekian kali, menelisik wajah Varen dengan lena. Mencari keseriusan di sana. 
“Ayo hadepin phobia lo.”

Lana menggeleng cepat. 

“Ada gue! Apa lagi yang lo khawatirin?” Lana masih menggelengkan kepala. Malar-malar menarik tubuh Varen menjauh dari jalan raya. “Lo beneran nggak mau sembuh?”

“Kalau ... kalau yang ini mau,” jawabnya tersedu-sedu.

“Emang mana yang nggak mau?”

“Myso.”

Menghela napas, Varen kembali melontarkan pertanyaan lainnya. “Lo nggak tersiksa sama itu?”

Ia penasaran, tetapi juga ingin meyakinkan sang dara bila tak ada satu pun penyakit yang menyenangkan.

“Phobia itu yang buat gue jadi gue!”

“Lo ... beneran bahagia dengan itu?”

Lana manggut-manggut, isak pun masih keluar dari mulutnya. “Kalau nanti hilang, gue nggak akan jadi Callia Lana Galatea yang unik!"

Lelaki itu tersenyum tulus. Mencubit hidung mungil itu kuat-kuat.
 “Selamanya lo tetep unik dan terbaik, Lan. Di mata gue.”
 
Gadis itu mendengkus, bersamaan dengan punggung tangannya yang menyeka air mata.

“Berani, ‘kan?”

“Nggak ... tahu.”

Varen terkekeh pelan. Ia selalu suka sisi Lana yang menggemaskan.
 “Kalau lo mau untuk coba, gue janji bakal traktir lo dua minggu penuh. Sebagai bonus, lo boleh triple size waktu ujian!”
 
Varen menaik-naikkan sepasang alisnya, berupaya membuat kesepakatan.

“Boleh.” Tersungging senyuman simpul pada bibir Lana. “Tapi kalau gue pingsan ... lo bisa tanggung jawab?”

“GUE JANJI!”

Lepas tergelak lirih, gadis itu mengangguk mantap. 
Hingga kemudian—dengan penuh kebanggaan—Varen mempererat genggamannya pada Lana. Berhamburan bersama guna memasuki Mall pusat kota. Gelak tawa pun menghiasi iras mereka.

“EH!” Lana menggeret lengan Varen, memaksanya untuk menjeda langkah mereka. “tapi, kan, kita pake seragam, Ren!” imbuhnya.

“Ck, tenangg ... satpamnya kenalan gue.”

“Emang satpam di sana cuma dia?”

“Semuanya kenalan gue.”

Masih keheranan, Lana kembali melempar pertanyaan. “Beneran?”

“Iyaaa, Sayangg!”

Jelas saja netra Lana membelalang; tetapi pada akhirnya ia memutuskan untuk abai. “Bagus, deh,” timpalnya lirih.

Selanjutnya, gadis tersebut melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Menganjuri Varen; membiarkan lengannya ada pada genggaman sang pemuda. Lebih lagi, tak segan-segan Lana memasang satu senyuman.

“Lan ... lo lagi on good mood, ya?”

“Berisik!” ketus Lana; kembali seperti sedia kala.

🌻

“Ka ... beneran lo nggak lihat Lana?”

Dienka yang mulanya mencomot roti isi, segera berdiam diri. Tak lagi menampakkan ekspresi, ataupun mengunyah makan siangnya lagi. “Gue lihat dia sama Varen pergi tadi pagi, tapi blom balik juga. Kira-kira mereka ke mana, ya?”

Mengendikan bahu, Dienka tersenyum simpul.

“Lo ... masih mengharapkan Lana?”

Mendengar pertanyaan sensitif itu, jelas saja Candra membuyarkan pikirannya. Menoleh pada Dienka yang juga menatapnya. Namun Candra tak melakukan apa-apa, hanya menyerana—nan mengundang gelak tawa hampa dari Dienka.

“Nggak perlu khawatir, gue nggak akan larang lo untuk itu.”

Kekehan kembali tercipta, dan Dienka pun melanjutkan acara mengunyahnya. Lain halnya pada Candra yang tak lagi melakukan apa-apa.

“Apa? Lo harusnya makan es krim itu. Bentar lagi bel masuk,” ingat Dienka. Melantaskan acara makannya, lebih mempercepatnya.

“Lo nggak wajib untuk feel guilty, Can. It's okay. Ini termasuk satu dari banyaknya konsekuensi gue untuk dapetin lo.”

“Lo bener bakal terus berjuang?”

Dienka mengangguk, memaksakan satu senyuman lain di bibir cantiknya. “Tapi jangan serang relung hati gue, ya? Dia lagi sensitif.”

Pemuda itu turut membentangkan senyuman—kendati singkat; arkian menaati ucapan Dienka untuk menandaskan makanannya.

🌻

“G-gue nggak bisa!”

Lana meremas tangan yang ada pada cekalan, membuat si empunya meringis kesakitan. Gadis jelita itu memaksa keduanya untuk tetap berdiri di tempat—yang artinya jauh dari kerumunan.

“Coba!”

“Nggak.”

“Traktir dua minggu, lohh?” Lepas menghela napas, Lana melirik Varen yang menyengguk mantap. Lelaki itu tak kunjung lelah untuk meyakinkannya. “Triple size waktu ujian!” embus Varen kedua kalinya. Menciptakan desah lelah dari seorang Lana.

“Y-yaudah.”

Lana memasrahkan diri, membiarkan Varen menyeretnya dalam keramaian yang terasa menyesakkan. Rasa pengap tadi makin menguat, tepat ketika sang lelaki sengaja menempatkan diri pada titik di mana orang nyalar berlalu-lalang.

Gadis itu kian meremas telempap Varen tatkala seseorang melewatinya begitu saja. Responsnya serupa saat orang lain yang melaluinya, menyentuh bahunya, menyenggol pinggangnya, me—

“Gue nggak bisa, Ren!”

Lana menunduk dalam, menolak untuk memandang kerumunan. Ia lebih dulu merasa takut untuk gagal.

“Lo bisaa! Lo cuma ragu aja!”

“Iya, bisa! Bisa mati!” desisnya; masih skeptis untuk melawan rasa gentar yang ada.

“Laan ... kalau lo sayang sama diri lo sendiri, lo harus lawan rasa takut itu!”

“Tapi gue—”

“Ya?”

Lana menghela napas sepanjang-panjangnya, kalakian mengembuskannya. Dengan setitik harapan, gadis itu menarik Varen guna memasuki kerubungan. Tepatnya pada satu toko yang mengadakan diskon besar-besaran.

“Makasih untuk sudi mencoba, ya?”

Varen menoleh pada Lana, yang tengah mengepal lengannya. Tak sedikit pun tersirat niatan dari sang wanodya untuk melepaskannya, barang sedetik saja. Pun tak ada sahutan dari bibir Lana, padahal celetukannya jelas teruntuk dia.

“Lan?”

Tepat pada detik dua puluh mereka berdiri di titik yang sama, mendadak tubuh Lana terhuyung ke belakang dan jatuh. Menimpa tubuh atletik Varen. Segenap orang yang ada—dan tentu saja sang pemuda—panik bukan main. Berduyun-duyun mereka semua mengerubungi Varen juga Lana, penasaran serta bertanya-tanya.

Ditepuknya pipi sang dara dengan tergesa-gesa—upaya untuk membuat Lana terjaga. Tubuh laki-laki itu sampai menekuk ke belakang guna menahan raga Lana.
Senjang dengan asa, gadis itu tak kunjung membuka matanya.

“Lan?!” seru Varen gelisah. “Lan, bangun, Lan!” 

Hasilnya tetap sama; malahan lengan beserta telempap Lana makin mendingin dan tanpa daya.

“Itu kenapa, dek?!” tanya sesosok Ibu yang simpati.

“Eh? Ini phobia, Tante,” balasnya.

“Itu dibaringkan di sana aja, dek! Nanti saya panggil ambulans secepatnya, ya?”

Setelah menyengguk dan mengucap terima kasih, Varen lekas-lekas menepi. Mendudukkan tubuh Lana pada suatu kursi—yang memang sepi sunyi.

“Semoga lo tahu, Lan ... gue gini karna gue sayang.”

Berdiri di hadapan Lana, Varen mengembuskan napasnya. Membenarkan posisi kacamata berlensa hitam yang bertengger di hidung sang wanodya. Masih menggenggam lengan Lana yang seolah menolak untuk melepaskannya. Menanti sesuatu dari Lana yang merespons ucapannya.

“LO EMANG ANJING!”

Bugh!

Varen terdorong kasar ke belakang, berakhir mencekal rahangnya yang Candra hantam merawak rambang.

“Lo apaan—"

“Lo pikir lo siapa berani bawa Lana?! Bawa dia ke kerumunan?! Lo tahu apa soal Lana, hah?!”

Candra melangkah maju, mengangkat tinggi kepalan tangannya. Mengarahkan bogem mentah itu ke sisi rahang Varen yang berlawanan.

“CAN, SETOP!” hardik Dienka, mendorong Candra untuk menjauh. 

Tak acuh, Candra masih berusaha melayangkan pukulan lain pada durja Varen yang sempurna. Lain halnya, tak ada usaha dari Varen untuk balik menerpa. Ia hanya menangkis pukulan Candra yang terarah padanya.

“CANN!”

Dienka terus mendesak mereka; berupaya melerai keduanya. Lalu, tanpa bisa dikontrol lagi, Candra melebarkan kedua lengannya—bermaksud menghalang Dienka untuk mencegahnya. Namun yang ada, sikut Candra justru menghantam wajah Dienka. Mencampakkan sang wanodya pada keramik dingin yang meninggalkan luka. 
Perlahan, cairan plasma menetes membasahi mulutnya. Epistaksis mendera.

Lain tempat, seorang gadis tengah mengedip-kedipkan netranya. Mengerutkan glabela lantaran suara keributan mengusik juga menggugahnya. Ketika ia menoleh dan sadar apa yang tengah terjadi—spontan saja ia terbangun tiba-tiba.

“D-dienka?!”

Lana berhamburan ke arah Dienka, mengangkat kepala gadis itu yang sama terkejutnya. Nahas, kala seruan Lana terdengar; mereka—Candra pun Varen—baru sadar apa yang tengah menimpa Dienka.

“Dienka lo—”

“Lo nggak apa-apa, ‘kan, Lan?”

“Kenapa lo malah tanya gue?!” sungut Lana, masih sama paniknya. Bersamaan dengan itu, Candra berlari mendekat—mendapati Dienka.

“Lo habis aja pingsan!” seru Dienka. Lalu dengan santainya—seolah mimisan adalah hal yang biasa—Dienka mengusap darah yang mengucur melalui punggung tangannya.

“Ck, itu jangan—”

“Ka, gue minta maaf! Gue bener-bener nggak maksud buat—”

Menoleh sebal, Lana memandang manik mata Candra sedingin mungkin; berhasil menghentikan permintaan maaf yang tergesa. Kehadiran Candra menghancurkan semuanya.

“Lo kenapa ada di sini, sih?!”

“Karna—“

“Itu kemauan gue untuk ke sini! Lo nggak ada hak untuk larang gue ... ataupun tonjok Varen gitu aja.”

Dengan satu decak panjang, Lana membopong tubuh Dienka untuk bertolak dari sana.

“Lan, gue—gue nggak maksud ....”

Lana mencuaikan ucapan serta eksistensi sang pemuda. Ia hanya membawa Dienka pergi, diikuti Varen yang tak kalah risaunya. 
Sesekali di sela langkahnya, Dienka menoleh ke belakang; memastikan apa yang tengah Candra lakukan. Gadis dengan tinggi 157cm itu malah mengkhawatirkan Candra yang tak mendapat luka kasat mata.

Terpaku tak bergerak, mata Candra sekadar membayangi langkah ketiganya. Membekam suatu luka yang terpendam. Amarahnya hilang bersama dengan angan.
 Segelintir manusia yang awalnya spektator, menjadi komentator. Beberapa di antara mereka menganggapnya pertengkaran remaja biasa; tetapi sisanya mencela aksi mereka.
 
🌻

“Lo ... nggak benci Candra, ‘kan?”

“Nggak.”

“Uhm ... lo beneran nggak apa-apa?”

“Iya—”

“Tapi tadi lo pingsan!” potong Dienka ketika Lana sibuk menyumpalkan daun sirih ke kedua lubang hidungnya.

“Gue nggak apa-apa! Itu tadi cuma panic attack.”

“Cuma panic attack, gimana?! Lo aja nggak bangun-bangun!” cibir Varen. Lantas lelaki itu kembali terlena untuk mengompres kedua pipinya seorang diri. Lana menolak untuk mengobati—trauma akan kejadian beberapa minggu lalulah yang jadi argumentasi.

“Lo kira orang pingsan, pett ... trus langsung bangun, gitu?!” desis Lana seraya merapikan kotak P3Knya.

Varen hanya menggaruk surainya; berbeda dengan Dienka yang menggeliat pada tempatnya.

“Lan, emang daun sirih bisa buat mimisan? Lo tahu dari mana?” pekik Dienka. Gadis berdarah Indonesia itu antipati pada bau yang dihasilkan daun sirih yang memalam lubang indra penciumannya.

“Sirih tuh mengandung zat. Tanin. Zat itu perannya sebagai agen pembekuan darah, caranya dengan mengecilkan pembuluh darah.” Lana menghela napas. “Masalah gue tahu dari mana, itu karna gue sering mimisan kalau kecapekan. Tapi itu dulu,” bebernya. 

Kini Lana memasukkan kotak P3K tadi pada lemari kayu yang ada. Mengunci pintu kaca itu setelahnya.

“Bukannya lo mysophobia?! Lo nggak ... jijik sama darah gue?”

“Makannya gue suruh cuci, ‘kan, tadi?” desis Lana, berupaya sabar.

“Ooh ... iya, sih, hehe.”

Lana memutar tubuhnya, menghadap Varen yang terlihat kewalahan—berdiri di hadapan cermin. Lelaki berparas tampan itu tak akan tahu di mana letak lukanya tanpa benda pipih yang membantu.

“Susah banget!” gerutunya. Bersusah payah memasang plester terakhir pada lipatan lehernya.

“Ish, sini!” Lana melangkah mendekat, menyambar plester yang Varen bawa pada tangan kanannya. “Luka lo tuh di sini!” desisnya. Menekan luka yang ada; membuat sang pemuda merintih lirih.

“Lo bahkan mengeluh sama hal sepele kayak gini. Jadi nggak salah, ‘kan, kalau gue ragu?” ujar Lana. Jemarinya meraba plester luka yang kini telah merekat sempurna.

“Hei—” Lana melirik iras Varen yang tengah memandangnya. “denger, ya: lo yang gue mau di dunia ini—jadi gue janji nggak akan ada kata ‘menyerah’ nanti,” kisiknya.

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dream of Being a Villainess
866      485     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Aditya
1161      473     5     
Romance
Matahari yang tak ternilai. Begitulah Aditya Anarghya mengartikan namanya dan mengenalkannya pada Ayunda Wulandari, Rembulan yang Cantik. Saking tak ternilainya sampai Ayunda ingin sekali menghempaskan Aditya si kerdus itu. Tapi berbagai alasan menguatkan niat Aditya untuk berada di samping Ayunda. "Bulan memantulkan cahaya dari matahari, jadi kalau matahari ngga ada bulan ngga akan bersi...
Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS]
12211      1916     4     
Romance
Cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan. Di saat aku hampir menyerah, laki-laki itu datang ke dalam kehidupanku. Laki-laki itu memberikan warna di hari-hariku yang monokromatik. Warna merah, kuning, hijau, dan bahkan hitam. Ya, hitam. Karena ternyata laki-laki itu menyimpan rahasia yang kelam. Sebegitu kelamnya hingga merubah nasib banyak orang.
Ghea
418      268     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
The Secret
335      217     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
KataKu Dalam Hati Season 1
3536      1070     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
A Day With Sergio
1080      523     2     
Romance
Nightmare
391      264     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
Kesempatan
16788      2702     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Lazy Boy
4192      1114     0     
Romance
Kinan merutuki nasibnya akibat dieliminasi oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa pulang medali emas, dia bisa meraih impiannya kuliah gratis di luar negeri melalui program Russelia GTC (Goes to Campus). Namun di saat keputusasaa...