Dienka memekik, terus melesat mendatangi Lana yang membuatnya membayar dua porsi mie ayam setelah kabur begitu saja.
"Lan!"
Mendengar seruan itu, Lana kunjung melirik pada Dienka yang telah berdiri tak jauh darinya. Jantungnya tak bisa berdetak dengan tenang; bagai telah tertangkap basah mendua oleh Dienka.
Gadis yang tengah mengatur napas lekas menyengap saat mendongak dan mendapati Candra menarik Lana ke pelukannya. Pemuda itu mendekapnya erat seolah orang lain akan merebut Lana darinya. Lengannya bahkan terulur untuk mengusap surai Lana yang tergerai indah.
“Maaf kalau selama ini gue ada salah, ya?”
Lana membeliak, memukul dada Candra dengan keras.
“Can! Lepasin, nggak?!” Membenarkan posisi tesmak, Lana mendorong Candra menjauh. Gelagapan. “Ja-jangan asal peluk gitu! Gue nggak suka.”
Setelah membeku sebentar, Lana lekas melesat meninggalkan mereka—Dienka, Candra—nan berpijak di koridor kelas XI.
Candra tersenyum tipis, tak menyadari kegusaran Lana akan kelancangannya. Kala ain bulat itu tak sengaja bertubrukan dengan Dienka yang menatapnya sedari tadi, lelaki tersebut segera menanyakannya, “Kenapa, Ka?”
Dienka yang jelas tergemap itu menggaruk pipinya, pengalihan rasa canggung yang kembali ia dera.
“G-gue mau pamit, sih, tadi. Y-yaudah gue balik, ya?”
Dienka segera melengos pergi. Meninggalkan Candra yang hanya mengedikkan bahunya—tak acuh.
🌻
“Kalau gini, gue harus gimana coba? Nggak akan nyaman kalau gue menjauh dari Candra. Tapi kalau tetep pertahanin Candra, Dienka nggak bakal baik-baik aja! Dia jelas nggak akan bertahan selamanya. Bohong kalau dia bisa tetap baik-baik aja." Lana menggigiti kukunya. “Ini udah termasuk toxic relationship, dong?!”
Lana mengacak surainya sarat dengan kegusaran. Memekik tertahan. Hingga, selepas menghabiskan cukup waktu untuk menyendiri, ia beranjak dari bilik toiletnya. Beralih ke wastafel kegemarannya; mencuci iras dengan air biasa—kebiasaan ampuh yang mampu membuatnya tenang dan fresh.
Ternyata benar perkiraannya semasa belia: cinta itu kompleks, memusingkan, memuakkan. Boro-boro perihal pacaran, masalah persahabatan saja teramat membuatnya frustrasi. Lalu harus bagaimana ia di situasi pelik ini?
Brekkk
Lana dikejutkan oleh suara pintu bilik yang terbuka. Melantarkannya berpaling otomatis sampai lebih dikejutkan lagi akan siapa yang ada di sana. Irena.
Menyadari fakta itu, Lana dan Irena sama-sama mematung. Saling pandang, baku menyorotkan kerinduan dari kedua netranya. Lana sungguh merindukannya.
Harusnya Irena minta maaf padanya, bukan? Kalaupun tidak, harusnya Irena bersikap sewajarnya saja. Melupakan apa yang terjadi. Namun yang ada? Irena malah memalingkan durja. Berlalu seolah Lana tak pernah hadir dalam kehidupannya.
Setelah mengesah pelan, Lana mulai berujar, “Oke. Udah. Kita udahin aja persahabatan ini. Gue nggak mau capek-capek mikirin cara kita baikkan kalau lo terus begini. Silakan blok nomor HP gue, karna gue nggak akan kirim ribuan pesan lagi untuk lo,” serobot Lana sebelum Irena benar-benar meninggalkan kamar mandi perempuan itu.
Ucapan Lana sukses menghentikan langkah Irena. Ia tergemap. Nanap akan kenyataan Lana sungguh memutus tali persahabatan.
Bahana gemercik air terhenti. Sesudah mengeringkan telempap dengan rok bagian belakangnya, Lana berlalu—melewati Irena begitu saja.
🌻
Sejauh ini hari-hari Lana telah normal, rujuk seperti semestinya—membuatnya kian bahagia. Para murid mulai menerimanya kembali, menerima kehadirannya dengan senang hati. Hidup gadis itu sudah jauh dari kata ‘terpuruk’. Bahkan mungkin, saat-saat ini jauh lebih membahagiakan dari sebelum-sebelumnya.
Walau belum mengerti maksud Tuhan sesungguhnya akan ujian berat itu, tetapi Lana cukup menyukai fase yang di alaminya. Bentala terasa lebih bernuansa karena orang-orang mulai berusaha mencintainya. Jelas ini asa terbesarnya.
“Sore, Lan! Ojek online lagi?” sapa Buki. Pria yang terus menyeringai itu menghentikan vespa antiknya di hadapan Lana.
“Sore!” Lana mengalihkan netra dari gawai sececah, menyunggingkan senyuman. “Iyaa, belum dateng dari tadi,” keluhnya kemudian.
“Bareng gue?” tawar Buki seraya menunjuk jok belakangnya.
“No need to, Buk. Kasihan driver-nya kalau gue cancel.”
“Okey! Gue duluan, ya?”
“Sip. Salam buat keluarga lo!”
“Pastiii, salam balik yo!”
Gadis cantik itu menghela napas lega, menggenggam tali tas di tengah kedua ketiaknya erat-erat. Melambai sekilas sebelum Buki sepenuhnya hilang di balik truk bermuatan besar.
Benar, bukan? Hari-harinya jadi jauh lebih berwarna.
“Ngapain lo?”
Lana menoleh terperanjat. Memandang dua insan yang berdiri berpasangan. “Berdiri,” balas gadis itu sekenanya.
“Hiih, maksud Candra, tuh—lo ngapain senyum kek tadi?” timpal Dienka cepat.
Lana malah memalingkan irasnya, menatap jalanan yang mulai lengang. “Gue senyum karna seneng, sih.”
Dienka menepuk keningnya prihatin setelah membuntuti langkah Candra.
“Seterah lo, Lan!” pekiknya.
“Seterah bukannya kebalikannya 'sebelum'?” kelakar Candra yang membuat Lana dan Dienka menganga. Melirik Candra yang melempar senyuman manis.
“Euhm ... oke, Can. Gue hargai effort lo. Tapi dikit lagi lucu!” ungkap Dienka seraya menepuk pelan bahu Candra; berupaya menghargai lelaki dengan selera humor nan sederajat oleh bapak-bapak.
🌻
“Astagaaa ... udah berapa lama ya kita nggak ke sini?” Lana buka suara.
Perlahan-lahan wanodya itu duduk bersila, terkekeh bahagia sebab lapangan basket yang mereka tapaki selalu bersih—bahkan dari sampah daun ataupun debu. Padahal lapangan bermatra sedang itu nyenyai digunakan.
“Sebulan nggak, sih?” timpal Dienka; sibuk menyiapkan snack mereka.
“Salah. Dua minggu,” sahut Candra cepat.
“Eh?” Lana tergeming sebentar. “Iya, sih, haha. Lagian sebelum semuanya membaik, bagi gue sehari itu kayak setahun!” aku Lana seraya tersenyum tipis..
“Lagian siapa juga yang betah dirundung?” Kali ini Dienka yang menyeletuk.
Entah kausa terlampau bahagia atau bagaimana, Lana tergelak hebat. Mengembangkan senyuman pada dua bibir manusia itu. Kebahagiaan itu bukan buatan semata.
“Iya, demi! Dulu gue sempet mikir lo sama Candra kalau ngobrol tuh sering rencanain perencanaan penghijauan yang nyata ... atau mungkin kegiatan-kegiatan cinta lingkungan!” Dienka tergelak, memukul permukaan lantai di depan kedua tungkainya.
“Estimasi lo ketinggian!” kekeh Candra.
Lagi-lagi Lana pun Dienka tak jenuh untuk terbahak, mengabaikan sang baskara yang mulai tenggelam dari cakrawala.
“Lan.”
Hanya melalui satu panggilan itu, tawa Lana kontan terhenti. Sorotan matanya menyiratkan rasa antipati.
Hafal betul dengan pemilik suara, Lana menoleh dingin—serupa pada Candra. Bertentangan dengan Dienka yang memandangi Varen tanpa suara. Toh, ia tak memiliki kasam apa pun oleh manusia bertinggi badan 189 cm itu.
Lengan kiri Candra buru-buru mencekal erat pergelangan tangan Lana. Jelas cemburu, lagi-lagi Dienka hanya bisa memandang tanpa kata. Entah lah, baginya genggaman itu penaka sebuah peringatan keras. Memangnya Varen akan menerkam Lana di hadapan mereka?
“Sorry, gue ....”
Lana mendengkus, menggeleng.
“Ren ... hidup gue udah mau normal. Gue nggak mau lo rusak semuanya lagi.”
“Maksud lo?!” pekik Varen, minta penjelasan.
“Semua masalah bermula secara tidak langsung karena lo.” Lana membisu sejenak. “Yaaa ... walau lo juga yang akhirin sebagai rasa tanggung jawab lo; tapi semuanya belum pulih, Ren. Masih ada tatapan benci ke gue. Masih ada yang ragu untuk percaya sama gue. Bahkan gue yakin, masih ada yang umpatin gue meski dalam hati."
“Gue nggak mau ambil risiko—jadi gue minta untuk jangan deketin gue dulu. Atau mungkin lebih mudahnya ... gue bakal ngehindar dari lo.”
Varen menggeleng cepat, menggerakkan tungkai untuk melekati gadis yang membuka muka itu.
“Nggak bisa, Lan!” protesnya tak terima.
“Bisa,” balas Lana lirih. “Udah cukup acara lo ganggu gue. Lo ganti sasaran aja. Gue nggak akan cocok jadi pasangan lo,” saran Lana yang kini beringsut bangkit.
“Lo mau ke mana, Lan?” seru Dienka yang jelas tergemap.
Netranya terus mengikuti gerakan Lana yang mengegah ke bangku pojok lapangan. Mendapati tas punggung mungil tersebut.
“Pulang.”
Lana mengemasi barang-barangnya asal-asalan. Menggaet tas dan membalikkan raganya.
“Ayo, gue anter,” ujar Varen nan serta merta menggenggam lengannya.
Lana refleks menggeleng juga menepis rampus tangan itu. Menjaga jarak.
“Apa gue harus pake bahasa Inggris buat jelasin sekali lagi?” tanyanya setengah menjerit.
Suasana hatinya hancur berantakan. Berserakan.
Wanodya itu berdecak dingin, melintasi Varen yang menarik napas panjang. Menekur. Sedikit tak menyangka akan mendengar pernyataan menyakitkan yang tertuju lurus-lurus padanya. Penyesalan akibat terlalu lama bertindak memenuhi isi kalbunya. Membuatnya kecewa.
Namun, selekas mungkin ia menggeleng. Menolak untuk bertolak.
Animonya masih integral; hasratnya sekala tersedia, perkasa. Dia harus tetap memperjuangkannya—bertenggang untuk menggapai hatinya.
Lantas pertama, hal yang harus dilakukannya adalah membuat Lana kembali menerima kehadirannya; atau malah turut memaafkan semua kesalahannya. Apa itu semua terlalu mustahil?
“Gue nggak nyangka denger penolakan langsung buat orang besar kepala kayak lo.”
Ketika Varen melirik padanya, Candra makin mengeraskan tawa.
“Lihat aja, Can. Gue yang dapetin Lana nantinya, bukan lo!” geram Varen.
Hasrat untuk bersilat lidah mengirap. Sayang, padahal itu yang ia gemari dari seorang Candra; guna membuat pemuda dengan tinggi 191 cm tersebut meremas jantung. Sekarang keadaan telah berbalik—ia tak bisa mengelak kenyataan di mana ia sungguh di tolak mentah-mentah.
“Ayo pulang, Ka.”
Dienka yang tadinya melamun, cepat-cepat menyengguk. “Ayo.”
Dua sejoli itu mengabaikan sekaligus meninggalkan Varen yang hanya tersenyum kecut. Varen jelas berang; boleh mengumpat, tetapi tak melampiaskan amarahnya begitu saja. Membuang tenaga—pikirnya. Jadi, mungkin ia hanya akan hibernasi dua malam saja.
“Rumah lo masih sama?”
Dienka mendelik. “Iyalah! Emang gue siput?” serunya.
“Siput?”
“Rumahnya kan bisa pindah-pindah.”
Candra tergelak samar, sedikit dibuat-buat. Membalas perbuatan Dienka kala itu dengan terang-terangan.
Menyadari hal itu, jelas saja Dienka mendengkus. “Nggak ikhlas!”
“Apanyaa?”
“Ketawa-nya! Lo ngeledek atau bales dendam soal semalem, ‘kan?” selidik Dienka seraya menuding pada glabela Candra dan memicingkan kedua netranya.
“Enggak,” sangkal Candra seraya tersenyum, meluluhkan amarah Dienka dengan mudahnya.
Meski tak ada lagi rasa gusar, wanodya itu mengerucutkan bibirnya samar. Menyambar kasar helm yang terulur.
“Ini mau langsung ke rumah gue, ‘kan?”
“Euuhm ... oh! Iya, Ka. Gue harus cari kado.”
“Kado?”
“Iya. Tante Olena, Mama Lana besok ulang tahun. Gue bener-bener kelupaan gitu. Bantu gue cari, ya?”
Dienka membuka lebar kedua netranya, tak menyangka bila Candra sedekat ini dengan keluarga Lana yang bahkan sama sekali belum dikenalnya. Pun di sisi lain ia kecewa; cua pada Candra yang tampak tak tertarik untuk mengenal keluarganya. Atau sebenarnya Candra tak berniat untuk mengenalnya lebih dalam lagi.
“Ka?” panggil Candra, membuyarkan lamunan sesaat Dienka.
“E-e ... gue juga! Gue mau kasih kado Tante Olena. Gue pengen kenal keluarga Lana, Can!”
“Bagus, deh. Besok kita ke sana, ya? Sekarang lo harus pulang dulu.”
Dienka tersenyum tipis, bergegas untuk duduk di atas motor matik Candra. Lagi, dan lagi Dienka iri akan keberuntungan seorang Callia Lana Galatea.