“Gimana ceritanya lo bisa berangkat telat?” ujar Septhian sebagai sapaan pada Varen.
Mungkin bila terlambat dengan normal, Septhian tak perlu untuk heran. Pasalnya, sahabat barunya ini baru tiba dua jam setelah bel masuk berkumandang. Sangat tidak wajar.
Bukannya segera menjelaskan, Varen justru tertawa renyah. Menaikkan kedua alisnya berulang, memasang mimik yang halal untuk disleding. “Gue telat tidur, nanggung, ya udah sekalian telat bangun.”
“Stres,” maki Sephtian yang ditimpali Varen dengan gelak tawa. Namun tawa itu berlangsung sebentar lantaran luka di irasnya menciptakan rasa nyeri kala ia tertawa.
"Lo gak mau tanya kenapa wajah gue babak belur begini?"
"Gak, gue tahu alasannya." Varen mendengkus. Ia lupa Septhian ini tahu segalanya. “Lo nggak ngampirin Lana? Biasanya lo bolos trus nyamperin dia di waktu-waktu gini,” tutur Septhian meski pandangannya tetap pada ponsel—meneliti data-data anak kelas X.
Varen menarik senyum di sudut bibirnya, menggeleng tenang. “Kemarin gue keterlaluan.”
Septhian mengangkat sebelah alisnya, menjeling sebentar. “Tumben sadar,” gumamnya.
Setelah mengembuskan napas kasar-kasar, Varen kembali berujar, “Gue nggak mau bikin dia semakin marah,” tandasnya.
Septhian bersilih menautkan kedua alisnya. Menjauhkan netra dari gawai yang ia non-aktifkan. “Keterlaluan gimana?”
“Gitu lah. Privasi.”
Septhian mendengkus, meski sebenarnya ia tahu apa yang terjadi. Mana ada privasi jika Varen sudah menjadi sasaran empuk para Seksi Jurnalistik?
Septhian bergeming cukup lama ketika melihat pandangan Varen kosong dan kentara hampa. Lelaki itu jadi merasa iba dengan sahabatnya. Posisi Varen serba salah di mana-mana. “Lo udah cek mading?”
Tersadar, Varen kembali terdiam—berpikir akan kemungkinan isi mading pagi ini. “Tentang gue sama Lana?” terkanya kemudian.
“Seratus buat lo! IYA!” seru Septhian heboh.
Enggan tetapi penasaran, Varen berasak menaikkan satu alisnya tinggi-tinggi. “Yang mana?”
‘BREAKBREAK NEWS:
Fresh and Very Big Big Big News! Varen Cium Lana di UKS Setelah Ditonjok Habis habisan Sama Buki'12 IPS 5!!
Kemarin ada keributan kacau balau didepan kelas, saat Lana mengatai wajah Buki kayak tai. Buki jelas marah dan mau nonjok Lana; eh, tapi tiba tiba Good boy Most Wanted Se-galaxy belain cewek culun itu. Alhasil, wajah tampan Varen sedikit hancur. Lantas, tanpa berlama-lama Lana mengobati Varen di UKS. Memaksa cowok itu untuk cium dia sebagai rasa terimakasih udah diobatin!!!! Gils murahan banget gak sih?!
Si Varen gak cium cium juga, tuh. Sampai akhirnya setelah dipaksa, dia cium sekali tepat di pucuk kepala. Namun tak diduga-duga, Lana marah dan hancurin UKS, gaizz! Cuma karena dicium sekali doangg! Menggila sekaliii!!
Bukti foto:
/pict
Kesel sama cewek kampungan alias Dukun Abal-abal? Kuy, beli telur busuk pada Ibu Kantin tercinta buat lemparin kepalanya!
-Seksi Jurnalistik'
Varen buru-buru menyambar kertas manila tersebut, mencabiknya, arkian melontar benda itu ke tempat sampah. Pandangan taruna itu kosong.
“Beneran, Ren?!” Septhian mencoba memastikan.
“Yang gue cium, beneran. Tapi, dia gak minta dicium! Justru ... dia marah sama gue karna itu,” ungkap Varen menahan gusar.
“Kasihan Lana,” lirih Septhian. “Udah, lo laporin aja ke Kepsek masalah si Iris! Dia terus-menerus bikin hoax, Ren! Dia harus dibungkam!”
“Apa mereka mau percaya? Ada bukti foto, Yan, masalahnya. Iris bener-bener licik!” resah Varen.
“Percaya, lah! Lo ‘kan cowok tergans se-galaxy! Kita ada bukti rekaman pengakuan Iris juga, kan?!” Varen membisu, pandangannya terpaku entah ke mana. Ia sungguh mengkhawatirkan Lana sejak hari itu. Namun entah kenapa ia diliputi ragu. “Bener, deh. Coba dulu!”
“Gue nggak yakin.”
“Kalau nggak, ya ... sebagai gantinya lo selalu ada di sisi dia. Bener-bener ada buat dia. Lindungi dia. Apa pun risikonya. Jangan biarin dia tenggelam sama rasa bencinya ke lo!”
“Tapi kalau nanti dia ilfeel sama gue?!” cicit Varen takut-takut.
“Enggak. Lana nggak bakal ilfeel.” Septhian menyengguk memastikan. Lalu dua detik setelahnya, “Kayaknya.”
Meski telah menimbang banyak hal, memikirkan ratusan kemungkinan—Varen masih sangsi. Ia gentar salah mengambil langkah; ia gentar akan menyukarkan; ia gentar kemungkinannya untuk mendapatkan Lana akan menghilang.
Haruskah ia mengindahkan tengara?
“Ren ....” Mendengar panggilan lirih itu, Varen lekas berdecak lirih. Berlalu menjauhi bahana. Lelaki berparas tampan itu tak ingin membuang-buang waktu untuk mengeruhkan isi sanubari.
“Ren! Dengerin gue dulu! Gue bener-bener nggak sengaja!” pekik Irena kuat-kuat. Gadis bersurai lurus itu mulai berlari membuntuti Varen; namun pemuda itu sedang ingin berkutat oleh dilema meganya.
“Ren—“
“Kenapa?! Mau hina Lana kayak yang lain juga?” sergah Varen dingin. Membalikkan raganya dengan terlampau tiba-tiba; Irena sampai tersentak karenanya. “Kenapa? Jawab gue, Ren! Gak usah ragu untuk bilang ‘iya’!”
Irena menggeleng kilat, gelagapan. “L-lo salah paham! Gue nggak dorong d—“
“Terlepas dari bener atau nggaknya tuh berita ... tapi lo dorong Lana, ‘kan?”
Irena sengap. Sedikit merundukkan tendas untuk menolak kontak netra dengan telak.
“Semua bohong, Ren. Apa lo nggak mau berusaha percaya sama sahabat lo sendiri?” Varen berujar lagi.
“Gu-gue emang dorong Lana; tapi sumpah demi apa pun gue nggak sengaja!” desak Irena. Masih mencoba untuk menggapai lengan Varen dan memeluknya—bermaksud membuatnya mengerti.
Laki-laki itu memalingkan roman simetris miliknya; teramat-sangat muak terhadap Irena. Muak pada perubahan drastis yang terpicu oleh kenyataan sederhana itu. Ah, galat—boleh jadi sakit hati tidak sesederhana itu. Namun Varen hanya tidak bisa terima jika ia alasan rusaknya persahabatan keduanya.
“Tapi kenapa lo berlagak kayak lo nggak salah apa pun sama Lana? Kenapa lo minta maaf dan jelasin ketidaksalahan lo sama gue?!”
Irena kembali menggeleng, hanya saja kali ini kentara tegas.
“Gue nggak mau minta maaf sama dia!” Irena masih menggelengkan tendas. “Dia jahat sama gue! Dia manfaatin gue selama ini!” tekannya bersikeras.
“Kan! Lo bohongin diri sendiri. Lo keras kepala sama gagasan yang jelas bertentangan sama kata hati.” Varen tersenyum hambar, “Apa yang ada di otak lo, sih, sampe masih percaya kalau Lana itu sosok ancaman bagi lo?!” sentaknya tajam.
“Karena—“
“Apa?”
Irena menutup rapat kedua pangkal bibirnya.
“Kalaupun nggak ada Lana di hidup kita berdua ... keadaannya tetep sama, Ren. Lana nggak pernah rebut gue dari lo, karena gue nggak pernah cinta sama lo!” Kalimat yang Varen lontarkan menjelma jadi suatu belada; belada yang mengoyak habis kalbu repihnya, relai. Tercerai-berai.
Berlagu mencuaikan, lelaki itu menarik langkah. Menyisihkan Irena dengan sedu pilu nan sayu.
“R-ren! Tunggu!” Buru-buru, Septhian berhamburan mengekori sahabatnya; melalui Irena yang membeku di sana. Dibekamnya amarah dalam-dalam. Malahan tangis pun tak dibiarkannya merembah. Ia tenggelam dalam ratapan kalbu.
“What’s a special thing from that girl?! Is Lana that perfect?” raung Irena frustrasi selepas membanting pintu biliknya. Dara materialistis itu melanting tas yang disompohnya pada lemari hitam penuh boneka. Melantarkan objek-objek gemas itu jatuh berselerak.
“Apalagiii?” desah Alika nan menyembulkan hulu dari ambang pintu.
“Lana! Each day she makes me so angry, Al. She is even ignoring the school’s threats! I beg you, as soon as possible to throw—“
Alika menangkup kedua pipi Irena, mencekal dan membungkam si adik tercinta supaya amarahnya reda.
“Jangan, jangan irii. Jangan iri dengki,” ujar Alika, memasang senyuman yang dimanis-maniskan.
Bertepatan dengan lengannya yang menghempaskan tangan Alika; Irena menoleh sengit. Menjaga jarak dengan Alika. Dirinya selalu antipati ketika dara itu sok kelokalan, tetapi jatuhnya justru kurang update. Namun mau bagaimana lagi? Alika telah menghabiskan sepuluh tahun di Inggris tanpa sempat kembali.
“Nggak! Gue nggak akan diem aja. Harga diri gue udah hilang.”
“Harga diri apa, sih? Nggak usah alay, ya! Paling—“
“Gue ditolak sama Varen.”
Alika membeliak tajam, bahkan mungkin bola netranya akan melompat dari tempatnya eksesif terkejutnya. “What?! Adik gue yang cantiknya kayak bidadari surga, yang hartanya tak terhingga, yang seksinya tak terkira, tapi otaknya binasa di tolak seorang Varen Michiavelly?!” pekik Alika membabi buta. “Wah, sedeng tuh anak!” makinya tajam.
“Otaknya binasa?” Irena mendelik, sedang Alika yang tadinya berapi-api beralih terkekeh lirih.
“S-sorry, hehe. Itu realitas,” decit Alika.
Irena mendengkus, lebih lagi kala dua kata itu mengingatkannya pada Lana. Namun dengan egois, ia tak lagi hirau.
“Pokoknya, gue nggak mau tahu ... besok Callia Lana Galatea harus hengkang dari Glare High School! Sekali lagi, gue nggak mau tahu!” tekan Irena pada antero ucapannya, sebelum kemudian bertolak. Menyisakan ribuan umpatan dalam bibir Alika yang telah berbusa.