“Udah ke sepuluh kalinya Mama pergok kamu ngalamun kayak gini, Lana.” Lana terperanjat, melongok pada Olena yang berdiri di belakangnya sedari tadi tanpa ia sadari.
“Ngalamun? Mama ngaco, deh,” desis Lana, kembali menyibukkan diri.
“Kenapa tiap kali kalau nggak kotor seragam kamu selalu basah kuyup? Kamu dikerjain temen-temen kamu?” Olena terus melemparkan pertanyaan untuk anak bungsunya.
“Enggak, Mah. Gak mungkin, lah,” balasnya berlagak tak acuh. Bahkan tergelak sebagai siasat guna Olena mempercayainya.
Namun, bukan ‘Mama’ sebutannya bila tak punya insting kuat pada anaknya. Jadi Olena bersikeras meminta jawaban dari sang buah hati. Melangkah pasti untuk terduduk di atas ranjang, kembali berujar, “Cerita ke Mama, Lan!"
“Cerita apa Mama Olenaa? Gak ada apa-apa, kok!” sangkal Lana dengan iras yang dipalingkan pada si Ibunda.
Tak menjawab, wanita itu hanya menentang netra Lana yang bergetar tidak tenang dengan dalam; sedalam-dalamnya. Kontan hal itu memicu semua emosi yang Lana tahan tumpah. Mendorongnya untuk bangkit dan lekas menangis di pelukan hangat yang menenangkan.
“Mama ... Lana nggak salah, ‘kan?” cicit Lana di sela isaknya.
Mendengar semua curahan hati dari darah dagingnya, Olena tersenyum bijak—hal yang jelas jarang ditemui Lana. “Sabar. Suatu saat nanti pasti akan terungkap semua kesalahpahaman ini. Mama percaya Lana bukan cewek kayak gitu. Semua anak Mama itu hebat, kok,” bisik Olena. Mengusap-usap rambut Lana dengan lembut.
“Tapi kamu kuat, ‘kan? Sekali-kali nggak ada salahnya lawan mereka. Atau waktu kamu dijahili, coba untuk berani tatap mereka. Balas apa yang mereka sampaikan dengan nggak kalah pedas! Mama tahu kamu bisa.”
Lana menggeleng cepat, “Lana takut.” Air mata lain menetes melalui ain-nya, meleleh. “Lana takut semuanya jadi lebih runyam!”
“Kok takut? Ih, jangan nangis, ih! Jelek!” Olena menyeka air mata yang berhamburan pada pipi tirus itu, menyunggingkan senyuman tulus. “Inget, jangan pernah mewek kayak gini di depan mereka. Karena bukannya kasihan, justru mereka makin senang untuk usik kamu. Paham?”
Lana mengangguk kuat-kuat. “Makasih banyak, Mah.”
“Iya. Sekarang kamu tidur, ya? Lanjut belajarnya besok pagi."
Lana hanya menyengguk sebagai reaksi pertama, menaati titah sang Ibunda.
🌻
Jam digital merah menyala itu menunjukkan pukul setengah enam; di mana bertepatan dengan Lana mulai melaju dengan ojek pesanannya seperti seharusnya. Menuju ke sekolah dengan suasana yang sedikit lebih membaik daripada semalam. Hanya, memikirkan tingkah Varen menciptakan umpatan lirih dari bibirnya. Lebih lagi lantaran lelaki itu, niatnya untuk makan bersama ke kedai favorit sekaligus minta maaf dengan Candra; urung begitu saja. Dienka pasti tak akan senang akan fakta itu.
“Nih, Pak. Makasih, ya?”
Pria itu tersenyum manis, mengangguk. “Jangan jahat-jahat sama mas Varen, ya, Mbak? Mas Varen orang baik, kok.”
Lana mendelik, tetapi tak lagi sampai tergemap. “I-iya, Pak. Terima kasih.”
Lana menelan ludahnya, membuka pintu mobil lalu berlalu setelah mengembangkan senyuman sekilas. Baru saja keluar dari oto bercorak merah itu, Lana dikejutkan oleh kehadiran Candra yang berdiri tepat di ambang gerbang—melayangkan pandangan padanya bersama senyuman. Sepertinya Candra telah menantinya sedari tadi.
Lana bergeming, meremas tali tasnya dan berlagak abai akan Candra. Lelaki itu masih memandanginya penuh kasih.
Ketika Lana bermaksud melangkah melalui si pemuda, tangan Candra lekas menggapai lengannya. Membuatnya kontan membatu kaku. Lebih-lebih tatkala Candra mendekatkan durjanya di muka Lana.
“Lo masih marah sama gue?”
Lana menatap lelaki itu dalam-dalam. Tersenyum, berasak menyengir, “Enggak.”
“Terus?”
Gadis itu berdecak samar, sedikit salah tingkah. “Tatapan lo tadi kayak om-om pedo,” ledek Lana lalu tergelak tulus.
Melihat betapa aslinya senyuman itu, Candra menghela napas lega. Melepas genggamannya pada lengan Lana. “Sorry, semalem gue kasar banget.”
Lana mengangguk maklum, masih memasang kerising. “Udah gue maafin. Sorry juga, kemarin gue masukin ke hati.”
“Masuk bareng?” ajak Candra, mengulurkan lengannya.
Tak langsung mengiyakan, Lana menelisik lengan kekar itu. Bergumam kecil. “Lo udah cuci tangan empat puluh detik?”
Candra mengangguk mantap.
“Oke!” Lana meraih lengan sang pemuda. Menariknya lembut memasuki Glare High School yang menjadi saksi utama kisah pelik dalam hidupnya.
🌻
“Ck, parah,” decak Septhian.
“Apaan?”
“Alasan di balik semua murid yang mendadak masuk pagi bikin gue pengen kayang.”
Varen mengerutkan keningnya, berusaha menerka. “Emang segreget apa?”
“Jadwal rilis Breakbreak News yang baru ternyata jam enam pagi dan dua belas siang—tepat istirahat ke dua.”
“HAH? TERUS LANA GIMANA?”
“Gue kurang tahu. Lah, bukannya lo janji buat jagain dia?!” seru Septhian kesal. Tangannya gatal ingin menjitak tendas Varen, tetapi dia urung sebab takut otak Varen semakin korsleting.
“Gue kan nggak selamanya ada di sisi dia, dodol!” seru Varen balik.
“Huh ... terserah lo. Pesan gue jangan sampai Lana gila karena semua perundungan yang dia terima.”
🌻
Lana tertegun. Merasa ganjil lantaran di depan koridor kelasnya terdapat puluhan siswa-siswi di sana. Berkerumun, berdesak-desakan. Gadis menelan salivanya. Mengerahkan telempapnya untuk meraba saku jas secepat kilat. Namun sial, ia tak menemukan botol sertraline di sana.
Astaga, iya! Laci!
Lana menggigiti pangkal bibirnya dengan resah. Dadanya terasa sesak seketika. Namun, berhubung terpaksa, ia harus menerobos rombongan itu. Ia harus melawan rasa takutnya. Ia harus sembuh dari enoclophobia.
Baru dua langkah menyesak masuk dalam kerubungan, kepalanya sontak berasa pening. Gayang. Bibirnya bergetar, napasnya sesak, dan ia tak lagi bisa menggerakkan keseluruhan anggota tubuhnya.
“Ekhh!”
Tubuh Lana terhuyung ke belakang. Jatuh terbanting di atas keramik putih itu dengan bibir membiru.
🌻
Wanodya itu membuka kedua netranya perlahan. Mengerjapkannya dengan bibir yang terbuka kecil. Kepalanya masih pening, tubuh bagian belakangnya juga terasa amat perih. Namun syukurlah, semua rasa sesak atau mual telah sepenuhnya pergi.
“Lo kenapa harus terobos kerumunan, sih?” pekik Candra gusar. Lelaki itu benci akan beragam kecerobohan Lana belum lama ini. Untung saja Lana bisa diselamatkan dari pusat kerumunan dan dalam keadaan baik-baik saja.
“Gue pengen sembuh.”
“Gue tahu, tapi bukan gitu caranya! Itu ekstrem!”
“Gue minta maaf.” Candra menggeleng cepat, memalingkan iras. “Kenapa? Lo nggak mau maafin gue?” seru Lana nanap.
“Lo salah kalau minta maaf sama gue.”
Lana menghela napas, memandang Candra yang masih enggan untuk menatapnya. “Iyaa, gue minta maaf karna udah bikin lo khawatir.”
Candra malah mendengkus, menjeling pada Lana kembali yang tersenyum manis.
“Maafin gue, ya?”
Candra tak kunjung luluh, justru terlihat lebih murung dari sebelumnya. “Gue nggak akan maafin lo sampai lo udah bener-bener pulih.”
Candra bangkit dari bangku cokelat itu. Lekas berlalu, meninggalkan juga mengabaikan Lana yang kembali dibuat mengesah. Sifat dingin itu sangat tak biasa baginya, dan Lana menanyakan pemicunya dalam hatinya.
🌻
Kian hari, semuanya kian buruk saja. Lana si korban pun masih berusaha terbiasa dengan berbagai rentetan peristiwa setelahnya. Diolok-olok, dicaci sudah menjadi sarapan setiap harinya. Tatapan sinis dan jijik sudah jadi sambutannya ketika memasuki kelas. Perlahan para guru pun jadi membencinya akibat sekala Lana-lah yang menjadi inti keributan yang nyalar terjadi.
Semakin tabah ia, semakin gencar pula peristiwa perundungan. Ini seperti tak akan ada habisnya.
“Wah, gila ya, lo!” teriak satu siswa tatkala menyaksikan Lana berjalan menaiki undakan Lana.
Lana mengernyit, jelas bertanya-tanya akan maksudnya. Namun tahu-tahu saja, satu butir telur busuk terlempar ke arahnya. Pecah dan mengenai tepat di kepalanya, isinya berhamburan. Menguarkan bau busuk yang menyengat.
Mendadak semua murid telah mencekal sebutir telur busuk. Melambungkannya ke arah Lana yang masih sangat syok dan terguncang. Tubuhnya bergetar hebat dan melemas seketika seolah tanpa nyawa. Sialan, mungkin mereka tak akan tahu bahwa ia sangat membenci benda atau apa pun itu yang bisa dideskripsikan dengan kata ‘jorok’ dan ‘bau’. Hal itu bahkan sangat mungkin sanggup membunuhnya.
Sebelum raga Lana ambruk tak berdaya, Candra yang mendapati peristiwa itu buru-buru menaiki tangga; diiringi suara napas tersengal-sengalnya. Lengannya terjulur, menggeret tubuh Lana yang sudah sepenuhnya lemas ke dalam dekapan.
Tanpa berleha-leha lelaki itu berbalik. Menahan sekaligus melindungi raga Lana, membiarkan puluhan telur busuk mengotori tas juga hoodie kesayangannya.
“Eh, Cogan!?” Siswi yang paling mencolok akibat riasan wajahnya itu menyalangkan netra. “Eh berhenti semuanya! Yang kena Mas Cogan!” raungnya, berhasil menghentikan semua lontaran telur.
Candra menoleh ke belakang, memastikan. Dan ketika semua lemparan telah pasti berhenti, ia langsung memalingkan tendasnya pada Lana. Paniknya jelas kentara. “Lo nggak apa-apa?”
Lemas, Lana hanya menyengguk. Pasrah akan keadaan. Seluruh tubuh terutama hulu itu penuh akan cairan lengket—yang jelas jadi pemicu raganya yang kian melemah sampai tak sadarkan diri di saat yang sama.
Candra berdecak lirih, kecewa dengan dirinya sendiri. Kunjung dibopongnya selira Lana yang pingsan itu penuh kelembutan. “Maafin gue. Lagi-lagi gue gagal buat ngelindungin lo,” bisik Candra.
“Can ... baju lo ....” racau Lana lirih.
“Nggak apa-apa.” Candra masih berbisik. Lengan kekarnya menggenggam erat tubuh gadis itu, membawanya pergi dari sana.
Lana melenguh lirih, berangsur membaik kendati meloya.
“Nggak apa-apa gimana? Apa lo bawa seragam cadangan?” Ain yang setengah terbuka, setengah tertutup itu bertenggang untuk menatap iras Candra.
“Gue bisa pinjem sekolah.”
“HUUUU! Sok banget mentang-mentang dilindungi cogan!” raung lain siswa.
Desas-desus pedas kembali terdengar. Menusuk dan mengiris-iris hati Lana meski setengah sadarkan diri. Mereka ini tak kunjung berhenti.
Dienka yang sungguh-sungguh baru tiba acap berlari ke kerumunan. Berlari dan melompati tangga demi tangga menuju koridor lantai dua, di mana kerusuhan kecil berada. Dia tahu betul bila perundungan Lana yang jadi pemicu kerusuhan.
“Astagaaa!” gumam Dienka yang baru tiba itu. Melihat kondisi Lana yang mengenaskan menjadi pasal dadanya yang bergemuruh. Ia sangat berang ketika disuguhkan pemandangan abnormal ini; terlebih kedua orang tersayangnya dianiaya dengan mudahnya.
“HEH! Otak kalian pada di mana, sih?!” raung Dienka. Telempapnya gemas untuk menampar satu-persatu orang di sana.
“Dih, apa sih lo? Anak IPS nggak usah ikut-ikut, deh!” seru seorang murid—yang pastinya anak IPA— penuh penekanan.
“Kenapa anak IPS?! Gue anak IPS!” timpal yang lain tidak terima.
“Gue juga! Emang ada masalah sama anak IPS?!”
“Iya lo! Mentang-mentang anak IPA terus lo pikir lo bisa sombong!?” Gerumut siswa-siswi tadi justru bercekcok sendiri. Mempermasalahkan kelas mereka yang IPS dan IPA hanya karena satu kalimat yang diserukan perempuan bersurai gimbal itu.
Memanfaatkan kondisi; Dienka, Lana, juga Candra melarikan diri dari situ. Beranjak ke toilet untuk mandi, membersihkan diri. Karena bila tidak, akan sungguh menjijikkan baunya.
“Kalian nggak apa-apa, ‘kan? Nih, nih gue bawa parfum,” sodor Dienka pada body cologne berbotol kaca yang untungnya memiliki harum khas yang kuat. Yang sanggup menyamarkan bau busuk di selira mereka.
“Makasih, Ka,” cicit Lana lemas.
“Siap!”
Dienka menghela napas, berasak berkacak pinggang dan meregangkan tulang lehernya dengan rampus. Mengingat satu hal, lekas saja Dienka terlonjak, “Oh, ya Can? Gimana seragam lo?!”
“Cuma bawahan gue yang bersih,” lontar Candra dari dalam bilik. Bodo amatlah mereka bila tertangkap basah telah menyelundupkan Candra ke toilet perempuan.
“O-oh, ya udah lo pake jaket gue aja dulu. G-gue bawa cadangan buat Lana tadinya,” cicit Dienka. Entah kenapa dia jadi sedikit sangsi.
“Oke, lo taruh aja di atas pintu. Bakal gue pake.”
Tak sadar bila Lana terus mengamati tingkahnya, Dienka hanya mengangguk kaku. Ia segera mengegah ke bilik tempat Candra berada, menggantungkan jaket lainnya di atas sana.
Tak perlu heran, Dienka memang gemar mengoleksi jaket berbagai model. Dan jaket kali ini—yang akan dipinjamkannya pada Candra— adalah jaket yang sangat spesial baginya. Jaket yang dia sumpahi akan dia beri ke orang yang ia cintai.
🌻
Lepas memastikan tubuh mereka sepenuhnya bersih, mereka pergi ke ruang OSIS. Membantu Candra untuk mencari seragam yang pas dan cocok sebagai pengganti miliknya—yang mungkin lebih baik dibuang saja.
Ketika ketiganya sedang menyibak gantungan demi gantungan baju, Lana mematung. Bagian suram dalam kalbu terus mengusiknya. Menghantuinya dengan satu fakta. Hingga kemudian, ditatapnya Dienka juga Candra yang masih sibuk membongkar sampiran.
“Can, Ka ... maaf. Gara-gara gue kalian jadi sial,” sesalnya.
“Sial? Dari mananya?! Itu udah jadi kewajiban seorang sahabat untuk melindungi sahabatnya!” seru Dienka, menyempatkan waktu untuk memandang Lana.
“Iya, Lan. Pastiin lo aman adalah salah satu prinsip gue,” ujar Candra setengah berbisik.
Berbeda dengan Lana yang jelas bahagia, Dienka mencelikkan matanya. “Prinsip lo ada berapa, sih?!” cibir Dienka lirih. Kembali menyibak sampaian. Mengabaikan perasaan aneh pada kalbunya, lara.
“Ka. Makasih,” pungkas Candra mendadak. Laki-laki yang terkenal cuek itu sudi untuk tersenyum manis kepadanya.
Ikut tersenyum, Dienka menganggut berulang kali. Baginya itu bukan masalah.
"Sorry ya, gue berangkat telat! Hhh, sumpah mereka niat banget siapin telur busuk! Suatu hari, gue janji untuk patahin tulang kering salah satu anak resek di sana,” sungut Dienka bersungguh-sungguh.
“Bu Kantin jual. Satu lima ribu,” papar Candra. Maksudnya agar mereka lebih waspada.
“Astagaa ... lebih mahal dari telur yang asli, loh. Niat banget, ckck. Padahal dunia indah banget kalau semuanya damai,” cakap Dienka gemas.
Lana tersenyum tulus, melanjutkan pencariannya.
“Eh, Can, ukuran spesifik lo berapa sih?”
“Gue udah nemu kok.” Candra menunjuk setelan seragam di tangan kirinya. Bangat mengenakan atas tubuhnya yang entah kapan tengah bertelanjang dada.
Dienka mendelik panik. Menunduk seraya mengumpati Candra yang dengan lancangnya memperlihatkan keseluruhan dada atletiknya. Namun, ia tak berani mengucapkan apa-apa.
“Balik kelas, yuk,” ajak Candra setelah menautkan kancing terakhir.
Tak butuh waktu lama, ketiganya keluar dari ruang OSIS. Berpisah di tengah jalan. Dienka ke kelasnya, begitu juga Lana dan Candra.