“Silakan kemasi barang-barangmu, Lana. Kamu harus segera keluar dari sini!” tekan Bu Hani, Kepala Sekolah dari Glare High School.
Lana yang mulanya tak begitu memperhatikan ucapan Bu Hani, buru-buru melangah nanap bercampur tak percaya kala namanya disebut terang-terangan. Kedua netra itu langsung berkaca-kaca, kehabisan kata.
“Ada apa ini, Bu?! Lana nggak bisa dikeluarkan tanpa alasan kayak gini!” seru Candra tak terima. Laki-laki itu sampai berdiri dari duduknya.
Serupa dengan mayoritas murid di sana, Irena mengerising lega dari tempatnya.
“Maaf, Nak Cogan. Ibu harus,” desis Hani, menatap Candra lurus-lurus.
Di tengah kerusuhan dari para siswa yang ingin tahu, seketika ketukan pada pintu kelas membuyarkan suasana. Tersembul sosok tampan nan berpijak di hadapan pintu—menghalangi siapapun untuk masuk, terhitung Dienka yang ikut mendengar kabar angin pagi tadi.
Nyata segenap kelas ricuh akan kemunculan Varen—pujaan semesta.
“Bu ... bisa bicara sebentar?” tanya Varen santun.
🌻
“Serius, Bu. Lana nggak mungkin melakukan itu. Ini saya membela bukan karena Lana pacar saya, Bu. Tapi memang itulah kenyataannya,” papar Varen sungguh-sungguh.
“Betul, Bu! Gue saksinya,” jerit Dienka heboh.
“Saya juga, Bu. Saya tahu ssegalanya—dan bukannya seperti orang bilang, 'Yang banyak belum tentu benar'?” Ini Septhian yang menimpali.
“Emang ada orang yang ngomong gitu?” kisik Dienka skeptis.
“Mungkin ....” bisik Septhian balik.
Lantaran kelabilannya tak ada yang menandingi, Hani jadi berdiam diri. Jemarinya terlena mengelus dagu. Tak kunjung memberi kepastian pada Varen, Dienka, juga Septhian yang terus memandangnya dengan mata berbinar.
“Baiklah. Ibu memutuskan untuk percaya karena ada suara dari Nak Cogan, Orang Tertampan Se-galaxy, Ketua Kelas Terteladan, dan Perempuan Tertomboi di sekolah ini,” putus Bu Hani seyakin-yakinnya. Semoga saja beliau tidak mengubah keputusannya kedua kali. “Ya sudah, biarkan Lana tetap di sini dan menyelesaikan urusannya secepat mungkin!”
“Akh! Terima kasih banyak, Bu!” pekik ketiganya serempak, sedang dengan angkuhnya Hani hanya manggut-manggut.
“Ah ... iya, Bu. Ada satu hal lagi!” imbuh Varen. Menciptakan gelombang di kening Dienka juga Septhian yang menentangnya intens.
🌻
Sebab Hani tak lekas kembali, kericuhan pun tak juga berhenti. Puluhan pertanyaan terlontar dari mulut mereka, lebih lagi akan alasan mengapa Varen ikut serta. Kekacauan ini bagai lengkara untuk mereda.
“Nggak usah khawatir. Walau Varen gila, gue tahu dia nggak bakal biarin lo pindah gitu aja,” lirih Candra hati-hati. Lengan kekarnya sibuk membelai punggung Lana yang menekuk lesu. Dara itu kentara terpukul.
Dengan dua netra yang terpejam dalam, Lana terus merapal doa tanpa suara. Dua telempap berserta kesepuluh jemarinya bergala lekat. Berharap akan adanya mirakel. Berharap Tuhan kembali memberi kasihnya. Berharap ujian yang dilaluinya tak turut menjalar pada keluarga tercinta.
Kendati tak semelarat itu, tetapi bagaimana perasaan kedua Orang tua-nya nanti bila serta-merta ia dikeluarkan? Pasti hancur, bukan?
“Lan? Lo denger gue, ‘kan?” lirih Candra ragu.
Lana menyahut dengan anggukan samar. Lidahnya kelu, tak mampu untuk berujar sepatah kata pun.
Kemudian, sesudah sarat kecemasan melandanya puluhan menit, pintu kelas kembali melangah. Disusul oleh kehadiran Ibu Hani beserta dua anak yang mengekorinya. Menciptakan kerutan pada glabela semua siswa, tak terkecuali Lana.
“Anak baru di kelas kalian,” tunjuk Bu Hani pada Varen nan menyengir lebar, bersama Septhian yang berasak menggaruk pucuk kepala. Pemuda tampan yang bergelar Ketua Kelas Terteladan itu gelisah dengan suasana, ditambah lagi kala sekonyong-konyong Varen mendesaknya untuk masuk.
“WHATTT?!” raung kebanyakan murid termasuk Oyu dan Septhian yang jelas terkejut.
Seruan-seruan nan diselingi dengan nama hewan berkaki empat mulai terdengar. Menggaduhkan kelas, tetapi juga mengembangkan seringai dari bibir Varen—ia terlampau bahagia. Irena yang 24/7 selalu murung saja sampai sudi menyunggingkan senyum lantaran fakta sederhana barusan.
“Tapi karena kekurangan bangku ....” Bu Hani mengedarkan pandangan. Tak butuh waktu lama karena ia kembali membuka mulutnya, “Irena pindah ke kelas Varen, ya? Kemasi barangmu karna Varen akan duduk di bangku itu,” imbuh Bu Hani. Menciptakan umpatan tanpa suara dari bibir cantik tersebut.
‘Sialan. Kenapa harus gue?!’
“Varen dan Septhian boleh duduk di tempat yang telah tersedia,” titahnya lagi, masih dengan kepala yang terangkat tinggi. Mencoba menggunakan bahasa formal yang sesungguhnya terdengar konyol.
“T-terus saya gimana, Bu?” Lana memberanikan diri untuk bertanya.
Hani menjeling pada anak muridnya, memasang senyuman tipis. “Tetap di sana, Lana. Ibu memutuskan untuk percaya.”
Jelas bukan gurauan belaka, netra Lana membelalang dramatis. Menahan pekikkan. Ia bahagia, tetapi juga lenggana. Maksudnya, bukankah ini kabar buruk bila Candra, ia, dan Varen kini sebaris bersaf?! Apa kelak kenyataan itu akan membuatnya jauh lebih celaka dan sengsara?
“Bu, sebelum kelas di mulai, boleh saya bicara sebentar dengan Irena?”
“Kalau kurang dari lima menit, boleh.”
Irena yang tengah mengemasi barang, ataupun Lana yang masih terkejut itu membeku. Terbungkam juga terjebak pada dimensi yang melantarkan keduanya terperanjat.
‘Buat apa dia ngomong sama Irena?!’
‘Buat apa dia ngomong sama gue?!’
Batin keduanya serempak.
Meski masih skeptis, Irena lekas menghentikan benah-benahnya. Bangkit dan sama-sama mengegah keluar dengan Varen, menyisakan kericuhan kelas pun dengkusan dari Lana yang berupaya tak mengindahkan.
“Gimana?”
“Gi-gimana apa?” cicit Irena terbata-bata.
“Gimana rasanya gagal untuk merusak masa depan Lana? Sedih, ya?” Irena hanya gelagapan. Bagai bergelegak, keningnya kini basah kuyup. “Maaf, ya, gue udah merusak niat mulia lo itu.”
“B-bukan, Ren! Bukan gue yang buat Lana—“
“Apa? Mau bohongin gue lagi?” sela Varen pada Irena yang masih terbata-bata. “Satu-satunya orang yang paling kaya di sekolah ini cuma lo. Cuma lo yang bisa sewenang-wenang pakai duit. Cuma lo yang suka menghalalkan segala cara. Bahkan Iris pun nggak ada niatan untuk itu.”
Irena terbungkam. Gentar untuk membela diri. Biar bibir yang memucat itu masih bergerak cepat, tetapi suara selirih apa pun tak terdengar dari sana.
“Tunggu Tuhan yang bales semuanya, Ren. Gue nggak mau repot untuk itu.” Penaka prevalensi, Varen kembali angkat kaki.