Suasana hati Lana memburuk, kausa dari muramnya ia. Pemicunya tentu sebab tanpa sengaja wanodya itu telah merusak novel kesayangannya—yang adalah faktor dari penyebab ia menangis histeris semalaman. Malar-malar ia bangun lebih siang dengan mata sembab yang kentara. Ditambah lagi, ia tak bisa berhenti memikirkan masalah apa kelak yang disebabkan Breakbreak News.
Berpuluh-puluh kali Lana berniat menghubungi Irena untuk meluruskan semuanya. Namun, setelah dipikir-pikir ratusan kali pula, bisa-bisa dia dituduh tidak dewasa karena lebih memilih bicara melalui via online. Hingga akhirnya, ia berinisiatif menemui Irena secara tatap muka.
Melalui banyaknya kesialan-kesialan yang dia alami, Lana yakin dengan sangat bahwa hari ini bukan hari yang baik!
“Lana berangkat!” seru Lana lemas.
Tanpa menunggu sahutan dari kedua orang tua, Lana lebih dulu melangkah gontai menuju teras rumah; ingin lekas tiba ke sekolah. Dia kembali dibuat menghela napas berat saat mendapati Varen—dengan motor mewah lainnya—menantinya di bawah sana.
Kala sadar Lana lah yang berdiri di jalan tanjakan itu, Varen buru-buru menoleh dan mengerising.
“Yuk.”
'YUK?! Bisa-bisanya itu jadi kata pertama buat nyapa gue setelah semua yang terjadi!?!,' jerit Lana dalam hati, masih syok.
Gadis itu beralih mengembuskan napasnya selembut mungkin kalakian kembali menuruni jalan tanjakan penuh lumut dengan hati-hati.
“Nih, helmnya,” sambut Varen hangat.
Bukannya menggapai helm dari cekalan Varen, Lana justru tetap melanjutkan langkahnya. Melewati Varen begitu saja yang segera mengubah mimik.
“Maaf, tapi ojek online lebih meyakinkan daripada lo.” Di detik yang sama Lana menghentikan ucapannya, mobil hitam yang dipesannya itu berhenti di hadapannya, menjemputnya.
Jelas Varen melongo tidak percaya—nanap lantaran mendapat penolakan dari orang yang dicapnya menarik. Mobil itu berlalu, sama cepatnya dengan Lana yang tahu-tahu saja menghilang dari pandangannya. “Lana tega!” desisnya. Terlebih mengingat mobil tadi—entah sengaja atau bagaimana—mencipratkan air dari lubang berbencah ke ban motornya yang mengkilap.
Varen mendengkus samar lantas berseru kuat sebagai pengganti umpatan, “G-gue bangun jam lima buat cuci motor inii!” pekiknya tersedan-sedan. Hatinya hancur ketika mendapati ban depannya sukses berlumuran lumpur tanah.
“Eh?! Gak. Lo gak boleh menyerah. Ini masih tahap awal waktu PDKT. Termasuk kemajuan besar karna lo sempat berangkat bareng!” gumam Varen setelah menampar pipi kirinya kuat-kuat; hal yang berhasil membuat semangatnya menggelora.
Lelaki itu gegas menyalakan motornya, mengikuti mobil itu tepat semeter di belakang. Ya ... kendati tidak mengantar secara langsung, memastikan Lana aman tidak apa, bukan?
🌻
Varen memarkirkan motornya asal-asalan. Lekas berlari menyusul Lana setelah gadis itu menyelesaikan urusannya dengan sang sopir. Mendengar langkah tungkai Varen yang terang-terangan, Lana tentu mendengkus sebal. Segera saja gadis itu berjalan menghindar, memilih jalan memutar dengan langkah yang terus dipercepat.
“Lan! Lana!"
Karena Lana tak kunjung berhenti atau juga berbalik, Varen terpaksa mencekam lengan kuning langsat tersebut supaya gadis itu berhenti meski terpaksa.
Varen tersenyum miring; senyum yang jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya, memesona. Setelah memaksa Lana untuk mematung di hadapannya, Varen menunduk. Menyejajarkan kedua netra mereka yang sukses saling menyapa dengan intens. Lelaki itu tak kunjung berkedip guna menantang dara tersebut untuk terus memandang sepasang bola mata jelita miliknya.
Seperti kebanyakan opini atau justru fakta yang tak sengaja di dengarnya, orang tak akan bisa menatap langsung mata orang yang dicintainya lebih dari tiga detik. Karena bila tidak bergetar, menunduk cepat—malu, jantung berdetak keras, menggerakkan ain mereka dengan tidak tenang; pasti pipinya akan bersemu merah.
“Kebetulan gue belum potong kuku dan pengen colok mata lo!” sungut Lana dingin.
Varen kontan menegakkan tubuhnya, melirik Lana yang masih melotot tajam. Gadis itu tampak tak terguncang barang sedikit akan tatapan 'maut' Varen yang kadang bisa sangat memukau—terutama pada kaum hawa.
Lana mendesah samar, merasa Varen hanya membuang-buang waktu. Arkian tanpa lama lagi ia melanjutkan langkahnya.
“Lan, ke mana?"
“Kelas.”
“Ikut! Ayo bareng.”
“Gak.”
“Kenapa? Kelas kita 'kan sebelahan!” Varen berlari, menyusul Lana yang masih tak acuh padanya. “Lo gak mau, ya?” cicitnya masygul.
“Lo pastinya tahu berita yang ada di Breakbreak News. Ya, ‘kan?” ujar Lana, “Satu-satunya cara biar semua kabar gak bener yang udah merebak ini berhenti adalah: lo juga gue gak boleh sampe kepergok berduaan. Kita berdua lagi disorot sesekolah! Itu bukan fakta yang menyenangkan! Lo harusnya paham karna lo itu bukan binatang.”
“Maksudnya gak punya otak?"
Lana mengangguk patah-patah. Sedikit tidak enak karena tadi itu cukup kasar dan pastinya menyakitkan.
“Selamat, Lan!” Lana mengerutkan keningnya dalam, bertanya-tanya. “Rasa penasaran gue hilang, dan lo resmi jadi gebetan gue.”
Lana membeo, kentara terkejut. Dengan iras yang penuh dengan kerutan, Lana membalas Varen yang tersenyum tulus, “Sakit lo!”
🌻
Lana mematung sesaat tatkala berdiri di belakang pintu masuk, merasa ragu-ragu.
'Tapi, heii! Mereka pasti gak percaya sama berita murahan itu!,' batin Lana berusaha menenangkan diri sendiri. 'Ya, 'kan?,' imbuhnya.
Lana menelan ludah, mengatur napasnya. Lengan yang sedikit bergetar itu meraih gagang pintu, memutarnya pelan sampai terbuka seluruhnya.
Ini aneh! Jelas aneh. Pada keadaan normal, dia rela berlari atau mungkin mendobrak pintu kelasnya di awal hari. Namun kini? Kenapa dia seakan takut dan nyalinya menciut? Apakah ini sebatas gelagat dari tengaranya saja? Atau bagaimana?
Akankah dia baik-baik saja?
“Bengong mulu! Masuk aja!” bisik Varen yang kebetulan berpijak di ambang kelasnya; berjarak setengah meter dari tempat Lana berdiri.
Lana menoleh sinis, mencibir dalam hati. Itu tak akan menjadi masalah besar jika ia Varen. Semuanya, semua orang pasti akan memaafkannya dengan lapang dada dan senang hati. Atau justru membelanya jika ia bersalah sekalipun.
“Lo gak denger peringatan gue?” kisik Lana geram.
“Oh ... iya, iya hehe.”
Lana segera melangkahkan kaki ke dalam kelas. Ia lebih memilih ditindas banyak orang banding berlama-lama dengan Varen yang mengambil andil besar dalam kesalahpahaman menyebalkan ini.
Suara kasak-kusuk dari bangku para teman sekelasnya berdengung. Pemicu wanodya itu terpaku cukup lama di muka kelas saat mendengar beberapa kata yang menusuk. Namun, tampaknya teman-temannya ini jauh lebih marah banding kemarin. Apa ada yang mengompori masalah ini?
“Since when she being shameless?”
“Itu berita ... bener gak, sih?”
“Gue sayang aja sama sikap dia, beda banget sama wajah kalemnya. Kebusukannya baru terkuak sekarang.”
“Dia masih berani masuk?! Sumpah?”
“Nempel trusss sama Varen!” sindir yang lain.
“Gue nyesel sempet milih dia jadi sekretaris OSIS!” rutuk yang lain lagi.
Lana menggeleng. Tak berusaha meyakinkan diri untuk berpikir positif. Dirinya bahkan tak cukup nyali untuk bertanya-tanya meski hanya dalam benaknya. Karena bagaimanapun, semua seruan dengan emosi itu teruntuk dirinya. Semua netra yang memandang tajam juga mengintimidasi itu terarah padanya.
Ini berbeda; seruan juga desusan itu tak lagi untuk memujinya, tatapan juga pandangan itu tak lagi tercipta berdasarkan rasa terpukau—ini jelas berbeda. Dan ia belum bisa menghadapinya begitu saja.
Ketika belum juga beranjak dari sana, pintu kelas kembali melangah. Membuat seisi kelas spontan menoleh dan mendapati Irena yang terlihat kusut dan suram. Gadis borjuis itu melangkah masuk dengan iras datarnya.
Tersimpul senyuman di bibir Lana, ia kembali jauh lebih tenang. Tanpa memikirkan apa pun itu, ia lekas melekati sahabatnya—hendak menyapanya. Ia tahu betul ketika semua orang mencemoohnya, Irena akan bertahan untuknya.
Berbeda dengan hari-hari indah yang sebelumnya mereka lalui, Irena mundur beberapa langkah. Menghindari Lana. Tatkala Lana memanggilnya pun, bukannya menoleh Irena justru memalingkan wajah.
Tak tahukah dia, bahwa hal sederhana itu sangat menyakitkan?
“Ren?” panggil Lana lagi, kali ini dengan suara yang bergetar.
“Jangan berani deketin gue,” desis Irena lalu mengegah ke bangkunya. Sungguh tak mengindahkan perasaan Lana.
Masih di tempat, Lana tersenyum maklum. Ia pasrah saja. Karena selama dia tahu pasti dia benar, dia tak perlu repot-repot membuang tenaga untuk meyakinkan mereka. Yang dipikirkannya saat ini hanya satu; cara agar Irena ingin mendengar lalu mungkin memaafkannya.
Lana mengembuskan napasnya. Napas lembut itu seperti mendesis di antara kedua celah giginya. Tak membuat keadaan membaik memang, tetapi setidaknya ia bisa sedikit tenang. Dengan selira yang kaku, Lana beringsut terduduk di bangkunya.
Pendiam adalah sifat Lana, bukan? Maka yang bisa ia lakukan sementara ini adalah diam. Bukan serta-merta karena dia takut atau juga lemah—dia akan bicara jika memang itu saatnya.
Beberapa suara masih berdengung, kausa dari ramainya kelas. Masih tak berkutik, Lana tetap membisu seribu bahasa. Terus mengandalkan keahlian menutup rungu rapat-rapat.
Meskipun cacian itu terdengar jelas di telinganya, dapat Lana pastikan kata menyakitkan apa pun itu tidak merasuk ke hatinya. Tetap menganggap berbagai makian itu sebagai 'kentut' saja. Iya—kentut. Memang bau dan busuk sesaat. Namun pada dasarnya, jika kita terdiam dan menutup hidung—bau itu tidak akan menyiksa kita. Justru perlahan akan menghilang dengan sendirinya. Seperti angin lalu.
Yang ada di benaknya saat ini hanya Irena, sahabat tercintanya. Ia harus cepat memikirkan cara terbaik untuk minta maaf meski ia tahu hal ini sama sekali bukan kesalahannya.
🌻
“Tumben banget sekolah rame sepagi ini?”
Septhian mengalihkan atensi dari ponselnya. Berdehem sebentar lantas membuka bibir merah mudanya, “Iris bikin announchment kalau ada berita paling panas se-galaxy yang bakal diumumin lisan ke anak-anak yang kumpul di rooftop jam enam pagi.”
“Weey? Ajaib banget mereka bisa beneran berangkat pagi demi gosip kibulan. Glare High School emang beda.” Varen menggeleng dramatis.
“Beda gimana?”
“GILA,” beber Varen yang kemudian tertawa kecil.
“Gilaan juga lo,” cibir Septhian dengan datar. Kembali menentang ponselnya.
“Yaaa ... tapi secara manusiawi, sekolah ini kayak sawi.”
Septhian meringis, merasa pusing dengan apa yang Varen ocehkan. Tak berniat sedikitpun untuk menanyai maksud dari sawi yang Varen ungkapkan.
“Emang berita apaan?” ucap Varen lagi.
Septhian mengendikan bahunya cuek. Tak acuh sesungguhnya. “Gak tahu gue. Paling ya seputar Lo-Lana-Candra.”
Varen membuka mulutnya kembali, hendak menanyakan hal lainnya. Namun itu sebelum seluruh anak di kelas mereka yang sekonyong-konyong beranjak bersamaan. Berbondong-bondong keluar kelas.
“Heh, heh!” Varen menepuk paha Septhian kuat-kuat akibat pemuda itu terus memperhatikan ponselnya. “Mereka mau kemana, heh? Ada pembagian sembako dadakan, apa?” sambungnya.
“Ck, kan udah jam enam!” terang Septhian dingin.
Varen ber-oh ria, mangut-mangut cepat karena merasa semuanya masuk akal sekarang.
“Lo mau tanya apa lagiii? Kalau gak, gue bakal match sekarang,” tukasnya ketus.
“Iya maaf, bang. Galak bener!”
“Lagi mood swing gue. Shush, udah ya?” Septhian membalikkan tubuhnya dari hadapan Varen yang bersilih tersenyum kecut.
“Gue kira gue doang yang gak waras. Rupanya sesekolah sama aja,” gumamnya sembari menggeleng prihatin.