Irena mendengkus kuat, penat sekelumit. Fakta akan tubuhnya yang terus terdorong ke sana-kemari membuatnya gusar, padahal maunya hanya membaca isi mading itu. Mengetahui kenyataan apa yang membuat huru-hara seisi sekolah.
Kepalanya segera terangkat tinggi tatkala mendengar beberapa kasak-kusuk yang menyebut namanya di tengah kerumunan. Netranya mendelik. Namun, lantaran tujuannya bukan untuk mendengar ocehan mereka, Irena terus melanjutkan langkahnya. Menulikan rungunya.
Maka pada akhirnya, setelah menghabiskan banyak waktu untuk menyesak masuk—ia berhasil berdiri tepat di depan lembaran kertas yang membuat puluhan siswa sukarela bergerombol. Netranya meneliti salah satu update news dari konten Seksi Jurnalistik yang menarik perhatiannya.
Baru membaca judul dari mading tersebut, matanya berhasil berkaca-kaca. Hancur sudah pertahanannya. Tubuhnya hanya terpaku di sana dengan kedua lengan yang terkepal kuat. Buku-buku jarinya sukses memutih. Bahkan, telapak tangannya sampai terluka akibat tekanan dari kuku-kuku lentiknya.
Tanpa mengucapkan apa pun, lengannya menggapai lembaran kertas itu. Merobeknya membabi buta menjadi empat bagian.
“Can, Irena kok belum balik?” seru Lana. Tangannya menggenggam lengan Candra agar laki-laki itu memperhatikannya. Sedari tadi Candra hanya melamun dalam kebisuan, membuatnya tak kalah risau.
Candra menggeleng lemas, menambah kekhawatiran Lana pada Irena yang memang sedang tidak baik-baik saja. Keduanya pun serentak menoleh ke kerumunan tadi yang semakin berdesak-desakan, menanti.
Baru akan menggeret Candra untuk menjemput sahabat mereka, dari gerombolan itu seorang wanodya berjalan keluar dengan lemas. Menuju Lana ataupun Candra yang beralih tersenyum lebar bersamaan. Lega karena Irena telah kembali.
“Gimana, Ren? Ada berita apa?” tanya Lana segera.
Irena hanya menjawab dengan helaan napas yang berat. Ia menundukkan tendas.
“Lo sakit? Mau ke UKS, gak?” Gadis beriris mata hitam kecokelatan yang terlindungi oleh lensa cekung itu tampak sangat mengkhawatirkan Irena.
Irena masih membisu. Ain-nya menatap Lana dalam-dalam, menentangnya cukup lama. Ada rasa kecewa sekaligus cinta di tatapannya saat ini. Pedih, tetapi juga sedih. Sayang, sekaligus berang.
“Gue ke kelas dulu, ya?”
Tanpa menunggu respons keduanya, Irena gegas melenggang pergi.
“Eh, katanya mau ke perpus ...?”
Lana mendesah samar. Membiarkan gadis itu pergi menjauh meski benaknya terus bertanya-tanya padanya akan—apa yang membuat Irena sebegitu lemasnya?
“Gue temenin kalau lo mau ke perpus. Lima menit lagi bel,” ingat Candra.
Tanpa perlu menimbang apa pun, mereka berdua mengegah cepat menuju perpustakaan sekolah. Barangkali Irena memang sedang ingin sendiri.
🌻
Baru membaca judul dari mading tersebut, matanya berhasil berkaca-kaca. Hancur sudah pertahanannya. Tubuhnya hanya terpaku di sana dengan kedua lengan yang terkepal kuat. Buku-buku jarinya sukses memutih. Bahkan, telapak tangannya sampai terluka akibat tekanan dari kuku-kuku lentiknya.
‘BREAKBREAK NEWS:
Lana'XI MIPA 02 tidak tahu diri! Sudah pacaran dengan Candra'XI MIPA 02 alias Si Cogan, dia justru nggebet Varen'XI MIPA 03—Good boy most wanted on this galaxy!!! Kenapa Lana demikian?
Salah satu staf saya melihat Lana'XI MIPA 02 dan Candra'XI MIPA 02 berjalan ke arah rooftop dengan gerak-gerik yang amat mencurigakan. Usut punya kancut, rupanya Lana ingin memutuskan Candra di rooftop dan menjelaskan hubungannya ke Candra bahwa dia sudah punya pacar, Varen'XI IPA 03. Varen tampaknya dipelet atau diguna guna dengan gadis itu sehingga menurut nurut saja.
Lebih waownya, Candra tidak mau diputusin dan tetap berada disisi Lana seperti orang bodoh. Selain itu, Varen tampak sangat tergila gila dengan Lana sehingga mau dengan gadis culun payah itu. Bahkan Varen ngebet minta nomer ponsel Lana. Dan Lana sok jual mahal, gaiz!
Lebih lebih waownya lagi, kalian tau gak sih?
Irena'XI MIPA 02 suka sama Varen, loh! Dan ditikung sahabatnya sendiri!! Ckckck. Big news emang. Haduuhh... Saya sendiri yang tau ngakak banget, gaiz sama kelakuan Lana. Dasar cewek culun! Si Irena juga, kok mau sih jadi sahabat Lana tukang tikung?
Bagaimana pendapat kalian, guys? Mau tahu kabar mereka lebih lanjut?
-Seksi Jurnalistik'
Irena membeliakkan netranya. Berusaha meyakinkan diri untuk tidak percaya. Namun sialnya, melihat foto bukti yang nyata —di mana Lana dan Candra sedang berhadapan dengan Varen yang tampak tersenyum manis—, juga watermark tanggal dijepretnya; membuat benteng pertahanan dirinya melemah. Perlahan tetes demi tetes air mata kembali turun ke pipi mulusnya, membasahinya dalam sekejap.
Berkali-kali ia coba untuk kembali menulikan kedua rungu, tetapi sayangnya gagal. Ia hanya terdiam di tempat tanpa bergerak barang sejengkal. Benci, kesal, kecewa, malu menjadi satu emosi. Mendengar kasak-kusuk dari orang di belakangnya, makin membuat dirinya berangsang.
“Iuh, gak tahu malu banget, ya, dekkel itu.”
“Astagaaa ... kakak kelas ngajarin gak bener.”
“Ini hoaks gak sih?”
“Hoax, bego. Tahu dah. Seksi Jurnalistik masak ngarang berita ...?”
“EH, cilok di kantin naik harga, gak? Gue bokek.”
“Brisik lu.”
“Cireng basreng khas Indonesia-nya, kakaks!” seru yang lain, memanfaatkan riuhnya suasana untuk berniaga.
“Apa, sih? hoax, ah. Mana mungkin Lana kayak gitu. Jangan mau percaya sama Iris, dkk! Musyrik!”
“Dih, dasar cabe keriting! Dari lahir gak pernah ngaca, kali. Aduh jadi pengen donasi kaca sepabrik-pabriknya ke Lana-lana gak jelas itu.”
“Paan sih, lo?! Kaya, enggak; belagu, iya.”
“Cantik, sih, cantik ... tapi gatel. Iya, 'kan.”
“Iyain.”
Irena mengatur napasnya yang memburu lantaran saking kesalnya mendengar komentar pedas dari mulut siswa-siswi di sekitarnya yang ditujukan ke Lana—sahabat perempuan satu-satunya. Ia membalikkan tubuhnya. Memberanikan diri untuk menatap netra seluruh anak di sini yang membuatnya sangat muak.
“Bisa diem, nggak? Kalian pikir Tuhan ciptain mulut buat mencela? Buat merendahkan sesama manusia?”
Seluruh desas-desus tadi berhenti sejenak. Semua mata turut berpusat pada Irena yang tanpa sadar berada di tengah-tengah kerumunan.
“Sekali lagi gue denger ocehan sampah kalian, gue bakal laporin ke guru BK!” serunya lagi.
“Hahaha, apaan coba? Bukannya dia korban?” timpal perempuan dengan riasan mencolok yang mengatakan akan mendonasikan kaca untuk Lana. Perempuan yang terkenal akan komentar pedasnya. Jauh-jauh melampaui Irena.
“Ngapain bela Lana sih, mbak? Dia gak pantes.”
“Jangan mau berinteraksi sama dia lagi, mbak. Biar dia tahu rasa!”
“Sabar, ya, mbak. Mending juga sama Candra. Ya, ‘kan?”
“Sok baik banget bela Lana! Jijik,” kisik yang lain.
Irena menghembuskan napas dengan kasar. Beranjak pergi meninggalkan rombongan dengan wajah-wajah yang sudah ia hafalkan. Namun, sebelumnya, dia memastikan tak ada setetes pun air mata yang melekat pada wajahnya. Dia harus percaya pada hati, bukan? Jangan dengar kata orang, bukan?
Iya ... Biarlah. Kendati kalbunya terasa amat getir kini.
Irena menghempaskan pantatnya ke bangku kayu di belakang meja. Netranya lekas menerawang ke segala arah. Tak menghiraukan tatapan siswa-siswi di kelasnya yang mengamatinya dengan berbagai ekspresi.
Mereka pasti telah membaca 'Breakbreak News’, salah satu konten Seksi Jurnalistik yang tiap kali update pada papan-papan mading seluruh sudut sekolah.
Irena kini sedang sangat bimbang, resah. Tembok kepercayaannya pada Lana pun sukses hancur, meski sekuat tenaga ia mencoba mengelakkan fakta dari Breakbreak News tersebut. Terlebih pagi tadi, ketika ia melihat dengan mata kepalanya—bahwa Varen berangkat bersama Lana. Namun ketika mencoba menanyainya, Lana membalas seolah tidak ada kejadian apa pun sebelumnya. Seolah tengah menyembunyikan sesuatu. Belum lagi perkataan ambigu Varen mengenai 'cewek' yang bisa jadi kekasih Varen kini.
Kelemahan Irena yang ke sekian, yakni: ia gampang merasa sakit hati dan jauh dari kata bijaksana.
🌻
Mendadak saja pintu kelas terbuka lebar, menciptakan suara bantingan rampus. Kenyataan itu sungguh melantarkan Irena terlonjak hingga sudi mengangkat tendasnya. Rupanya Varen-lah yang ada di ambang pintu, menghadap padanya. Sayangnya, lelaki konyol itu sama sekali tidak tahu-menahu mengenai isi Brekbreak News yang sebagian besar diubah dari kebenarannya.
Varen gegas mendekati gadis itu yang sengap—kaku memandanginya. Irena yakin bila Varen mengetahui isi mading, dan keyakinan itu memicu malunya ia sampai keutuhan irasnya memerah.
“Semua udah pada pulang ... lo kenapa masih di sini?” celetuk Varen seakan semua sedang baik-baik saja. Padahal tadi pagi, baru saja pagi tadi, ia berhasil membuat seorang Irena merasa resah sepanjang pelajaran.
Jam sekolah telah lama usai. Lana dan Candra telah pergi terlebih dahulu akibat tahu-tahu saja Ibu Candra menelepon—hal yang tentunya mendesak. Sedang Irena memilih untuk tinggal dalam kelas, padahal sopir pribadinya telah menunggu hampir dua jam.
Irena sungguh enggan untuk berjalan sekalipun. Terlebih setelah adanya berita baru dari Breakbreak News. Ia malu untuk keluar dari kelas dan sengaja menanti hingga sebagian besar murid sudah pulang. Kalau perlu, ia rela menunggu sampai seantero murid pergi dan menyisakannya sendiri.
“Gue masih di sini aja," lirih Irena tanpa gairah.
Pemuda tadi manggut-manggut, tetapi tak lama hingga tiba-tiba menentang Irena tajam-tajam. “Sakit lo?”
“Enggak. Gue fine."
Mendengar jawaban singkat dari Irena, lelaki itu gegas menggeleng. Merasa yakin dengan senandikanya. “Irena Jasinda yang gue kenal itu ceriwis dan heboh. Lo bukan Irena, ‘kan?” seru Varen setengah bercanda.
Namun gadis itu hanya membuang napas kasar-kasar, “Capek.”
Mendapati Varen yang hanya menganggut polos, barulah ia sadar jika lelaki itu sama sekali tak tahu akan masalah mading. Entah ia harus senang atau bagaimana akan kedatangannya. Semoga Varen dapat menghiburnya meski melalui hal yang sederhana.
“Irena?"
“Ya?” Irena tersenyum tipis, sedikit merasa lebih baik.
Varen menyengir manis lantas berujar, “Lihat Lana, nggak? Sejak istirahat kedua gue gak lihat dia. Gue jadi kangen.”
Irena menegakkan punggungnya yang melemas. Tubuhnya bergetar samar. Ternyata, rasanya akan jauh lebih sesak saat mendengarnya langsung dari mulut Varen.
Pemuda itu membangun suasana penaka ia kekasih dari Lana, juga sebaliknya. Hal itu sungguh berbanding balik dengan kenyataannya. Lana belum jatuh cinta padanya. Bahkan belum untuk sekedar tertarik. Varen hanya membuat segalanya kian memburuk.
“Gue udah coba buat telepon, tapi gak diangkat-angkat.”
Irena makin terbungkam. Bibirnya bergetar, dilanda kalang kabut. Ia cemas bila saja saat mencoba mengatakan sesuatu, bahana isakan lirihnya yang keluar—bukannya jawaban atas pertanyaan lelaki itu. Jadi, akibat perkiraan senandikanya, Irena hanya merunduk dengan bibir yang dia buat terkatup rapat.
“Rena?”
Raga berkulit putih meta itu semakin bergetar. Panggilan unik dari Varen sejak awal mereka bertemu membuatnya berani untuk menentang langsung netra kecokelatan itu.
“Varen, gue sayang sama lo.” Harusnya wacana itu yang Irena lontarkan, tetapi yang keluar berbeda dengan apa yang ada dalam kalbu. Pemicunya tentu lantaran takut akan penolakan, terlebih hatinya sedang sangat tidak baik kini.
“... Gue gak tahu. Dia sama Candra.”
“Ke mana?” seru Varen cepat.
Irena mendengkus samar. Terusik oleh kepedulian lelaki itu terhadap Lana. Varen tak pernah benar-benar peduli padanya, meski jelas kenyataannya bila orang yang mencintai pemuda itu sejak pandangan pertama merupakan dirinya.
“Gue gak tahu."
Varen berdecak kecewa, gegas menyambar jas yang sempat diletakkan atas meja bangku lantas melesat keluar. “Eh, Bye Ren. See you,” jerit Varen dari ambang kelas. Tak butuh waktu lama sosoknya menghilang, menyisakan kelengangan.
Gadis itu kembali menghela napas, menyayangkan tumpulnya daya perasa lelaki yang dicintainya tersebut. Bukannya yang normal bila mendapati temannya seorang diri dan dalam keadaan pucat, ia akan menawarkan tumpangan? Untuk sekedar berbasa-basi saja tidak?
Fakta itu menokok rasa getir dan resan yang ada di relung hati dara dengan surai yang biasa dikucir tinggi itu.
“Gue benci Lana,” cicitnya.