“Udah?”
“Udah!”
Dengan semangat, gadis itu beranjak dari bangkunya selepas menutup pulpen hijau kesayangannya. Matanya telah berbinar. Membayangkan semangkuk mie ayam Pak Yayan—yang tak kalah enaknya dari Kedai langganannya—yang kelak ia santap. Lambungnya terus menciptakan bunyi-bunyian, membuatnya sedikit frustrasi.
Ah, iya. Dia bersumpah akan menagih tiga mangkok mie ayam big size tripple pangsit yang telah dijanjikan Irena nanti.
Gadis itu melenggang mendahului Candra dengan langkah ceria. Antusias membelokkan badannya ke kiri, tetapi lengan Candra bangat menahannya.
“Lan ....” Candra menghentikan ucapannya. Seperti ragu untuk mengucapkan kata selanjutnya.
“Kenapa? Mau cari Irena?"
Candra menggeleng, mulai menyusun kalimat berikutnya, “Gue tahu di mana obat penenang lo.”
“Serius? Di mana?!” Mendadak, perutnya yang bergetar hebat itu berhenti merengek. Pun nafsu makan Lana menguap. Lantaran menyangkut obat yang merupakan kebutuhan utamanya, wanodya itu mengabaikan tujuan awalnya. Sertraline itu utama. Perutnya bisa ia urus setelahnya saja.
“Ayo. Rooftop.” Candra menganjurinya, tetapi kembali berhenti sesaat ketika Lana masih berdiam di tempatnya.
“Kok rooftop? Apa hubungannya? Hilangnya kan di rumah Varen, bukan sekolah.”
“Udah, ayo. Keburu bel. Habis ini gue janji kita bakal makan di Kedai deket sekolah.”
Lana mengangguk cepat, terlihat semangat. Bukan karena menyangkut mie ayam yang Candra bicarakan, tetapi gadis itu hanya ingin obat tersebut segera ada di genggamannya.
Lana pun menyusul Candra yang berbelok ke kanan.
Entah mengapa atau hanya perasaannya, Candra tak juga berhenti sejenak untuk menungguinya hingga keduanya bisa jalan beriringan. Semakin dekat dengan rooftop, Candra malah kian mempercepat gerakan tungkainya.
Lana kesal, tetapi tak mengungkapkannya. Ia hanya merengut juga menghela napas dan terus melanjutkan langkahnya.
“... Lo bohong, Can?” seru Lana heboh. Alisnya masih bertaut, memandang Varen yang menyengir ke arahnya di ruang yang sama. Atap. Laki-laki itu sudah tiba sebelum dia atau juga Candra.
“Enggak. Dia yang bawa obat lo,” tunjuk Candra pada Varen melalui bola ain-nya.
Netra gadis itu membelalang, memelototi Varen yang tersenyum manis.
“Lo udah nemu obat gue? Kok gak hubungi gu—“ Lana menghentikan ucapannya sendiri, melirihkan suaranya, “Oh, ya. Gak punya nomer gue. Mungkin baru ketemu Setraline gue ....”
“Terus, obat gue mana?” desak Lana kemudian.
Varen tersenyum miring, berjalan mendekati keduanya yang jelas memasang roman kalang kabut. Senyuman pelik lelaki itu membuat keduanya bergidik ngeri. Mereka memang tak lagi berbicara, tetapi mereka sepakat bahwa Varen gangguan jiwa.
“Can ... gue minta izin nggebet gebetan lo, ya?”
“Hah?” seru mereka serentak.
“Gue minta izin nikung lo. Boleh, 'kan?”
Lana meringis bersamaan dengan keningnya yang berkerut. Mendapati Varen yang terus menaik-turunkan alisnya membuatnya berpikir Varen memang murni gila.
“Dih, gak waras,” desis Lana sinis.
“Balikin, Ren! Sertraline!” sentak Candra.
“Iya, ih iya. Basa-basi bentaran elah, pelit pisan.” Varen mendengu, arkian tanpa berlama-lama mengambil obat dari saku jasnya. “Sebelum itu, gue minta nomor lo.”
“Big no!” desis Candra.
“Dih, gue ngomong sama Lana, bukan lo!” sungutnya, berasak memandangi Lana dengan mata berbinar.
Merasa terpanggil, Lana bergeming. Berlagak melipat dua lengannya di depan dada. Menatap Varen sekilas dan lekas memalingkannya. Sok membenarkan posisi kacamata dengan jari telunjuknya secepat kilat, “Buat apa?”
“Ck, gue heran, deh, dimintain nomornya kok malah bilang 'buat apa?'. Nanti kalau guenya frontal, lo ilfeel ....” desis Varen penuh penekanan, tetapi Candra hanya berdecak muak—sedang Lana masih menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.
“Ya buat chat-an lah! Teleponan,” urainya terang-terangan.
Lana mendengkus samar, masih melengos, “Gue gak minat. Gue suka kedamaian.”
“Ya udah, gue gak perlu balikin.”
Varen makin mengembangkan senyumnya tatkala sejoli insan itu terlihat gusar dan geram.
“Ren, lo kalau cari muka mending di tempat lain! Lo gak tahu begitu pentingnya obat itu, 'kan?” desis Candra yang sungguh muak menghadapi orang gila satu ini.
“Tahu.” Varen masih memasang senyumnya, berdiri tegap dengan harapan bisa mendapatkan nomor Lana segera. Rencananya pasti akan membuahkan hasil. Ia pasti akan menggapai dua hal yang diinginkannya.
“Ayo, Lan. Gue bakal beliin yang baru di apotek,” putus Candra seraya menarik tangan Lana berbalik arah.
“Bener?! Eh, tapi nanti gue ganti, ya? K-kalau ada,” ujar Lana cepat.
“Hm.”
Lana semakin mengembangkan senyumnya, menuruni undakan dengan riang. “Lo emang sahabat terbaik gue!”
Mereka berdua sungguh-sungguh turun dari atap, melantarkan Varen melangah sendiri. Angan-angannya kontan pecah, hancur jadi berkeping-keping. Lagi-lagi ia lupa kalau Lana bukanlah manusia biasa. Ia sungguh melupakan pernyataan penting itu.
“Hih, gue ngapain sih? Freak banget,” geramnya setengah mendesis. “Heh! Iya, iya! Gue balikin, nih!” jerit Varen kala melesat pergi membuntuti mereka. Meninggalkan seorang gadis di tepian rooftop—tanpa mereka sadari— yang hanya melongo menentang kepergian ketiganya.
"Gue salah milih rooftop buat nenangin diri. Gue justru makin stres!” sesalnya sembari mengenakan headset-nya kembali. “Perasaan sebelum-sebelumnya fine aja. Orang freak!” rutuknya lagi.
Baru mau membaringkan diri di atas beton sudut atap, tahu-tahu netranya mendapati sesosok laki-laki berlari turun dengan kamera digital pada tangannya. Gadis tadi bangkit kembali, menyalang tetapi tak kesampaian untuk menghentikan laki-laki itu. Sosoknya terlanjur menghilang.
“Shit, gue yakin, habis ini bakal ada bencana!” desisnya.
🌻
Lana dan Candra tetap mengegah menjauh, menuruni anak tangga dengan sedikit tergesa-gesa. Tak mengindahkan seruan Varen yang tertinggal jauh. 'Misi' mereka telah berubah. Sebisa mungkin mereka akan mencari Irena di sisa waktu istirahat pertama ini.
Namun, tak seperti yang mereka duga,
“Irena?!” Lana segera berhamburan mendapati Irena yang berjalan sempoyongan dengan wajah pucat lesi. Gadis yang terpanggil menaikkan kepala, memandang Lana dengan wajah datar. Ia tampak menyedihkan.
Tubuh Lana bergetar kecil, sedikit terkejut dengan air muka Irena yang ditemukannya pada muka pintu toilet belakang sekolah. Toilet yang kebetulan berada di depan tangga rooftop, sekaligus toilet tersepi di sekolah mereka.
“Lo—“
“Gue nggak apa-apa. Ayo ngantin. Gue ngutang mie ayam sama lo,” serobot Irena. Memaksakan satu senyuman di bibirnya. Seluruh roman dan bibirnya sukses bersih dari make up apapun itu. Membuat wajahnya terlihat lebih segar meski tetap pucat.
“Ayo, Lan,” desaknya, menarik lemah lengan Lana yang masih tercenung. “Lan?”
“... I-iya.” Lana menahan rasa penasarannya untuk bertanya apa yang sesungguhnya tengah terjadi.
🌻
Sekerumun murid; dari beragam kelas juga jurusan terlihat mengerubung pada satu titik. Mading, majalah dinding. Entah lah apa isi dari mading siang itu sehingga semuanya tampak seheboh itu. Candra, Lana, dan Irena yang baru keluar kantin di istirahat kedua itu jadi keheranan sendiri.
“Kok rame gitu?” bisik Lana. Jadi ragu untuk berjalan melewatinya. Mampukah ia melangkah dengan normal di tengah keramaian seperti itu?
“Gue cek bentaran, ya.” Irena lekas berlari masuk dalam kerumunan. Jaraknya hanya beberapa meter dari tempatnya berdiri, jadi tak membutuhkan banyak waktu.
Beberapa siswa berpaling ke belakang, memandang Lana beberapa saat lalu berbisik-bisik heboh. Mendadak, semua siswa-siswi di sana melongok padanya sebelum kemudian kembali berbisik. Pandangan yang mereka lemparkan tadi membuat seakan Lana itu seorang pendosa yang tercela.
“Mereka gibahin gue?” ucap Lana pelan, sedikit cemas.
Candra tak kunjung berkomentar. Menatap tajam sekelompok siswa-siswi yang tampaknya sedang mengecam Lana. Kebanyakan murid yang menyadari tatapan itu, segera mungkin menunduk. Menyebabkan Lana ataupun Candra makin penasaran akan apa isi mading tersebut.