“Besok sudah minggu lagi,” ujar Adelia diikuti dengan helaan napas kasar.
Kanaya masih sibuk dengan ponselnya, dia tersenyum bahkan terkekeh layaknya orang gila. Jari-jarinya mengetik dengan piawai, mukanya berseri, dan bibirnya terus terangkat. Adelia sampai menautkan alisnya beberapa kali melihat kelakuan Kanaya. Biasanya gadis itu paling anti melihat ponsel terlalu lama, itu karena dia muak sekaligus takut akan jumlah penagihan yang membludak.
“Hei, hei, kerja! Jangan ponsel terus.” Adelia berkata sambil menepuk-nepukkan tangannya.
“Iya, iya.” Kanaya menggerakkan bola matanya. Toko terlihat sepi, tak ada pelanggan. “Kan, lagi sepi, Del.”
Adelia hanya mengerucutkan bibir. Ya, dia tadi memang sengaja menggoda Kanaya saja. Saat Kanaya kembali sibuk dengan ponselnya, Adelia memanfaatkan waktu kosong itu untuk melamun. Tatapannya melihat jauh ke arah luar. Sesuatu sedang tidak baik-baik saja. Ada perasaan yang mendorong walau dia sudah berusaha menyimpannya dengan baik. Rasa bahagia itu seketika hampa saat perasaan tidak nyaman itu muncul. Adelia tak ingin menyimpulkan begitu cepat, tapi perasaan tak nyaman itu seakan mengarah pada perasaan rindu. Adakalanya perasaan itu membuat sesak, hingga air mata keluar dengan sendirinya. Namun, saat menyadari apa yang selama ini dia lalui, siapa yang di sampingnya dan bagaimana dia melewati segalanya, buru-buru dia menghapus air mata itu dan berusaha melupakan walau itu tidaklah mungkin.
“Adelia?”
Suara pelan Kanaya menyadarkan lamunannya yang begitu panjang. Dia menoleh, sepertinya Kanaya telah selesai dengan ponselnya. “Ya, Nay.”
“Kau sedang memikirkan apa?” tanya Kanaya sembari menyodorkan satu gelas es jeruk peras, yang entah kapan gadis itu membelinya.
Adelia menerimanya, tatapannya mengheran. “Kapan kau membeli ini?”
“Aku membelinya selagi kau melamun. Apa yang kau lamunkan? Ilay, ya?”
Seketika Adelia langsung memasang tampang jijik, “apa? Kenapa dia?”
Kanaya tertawa, dia sampai tak jadi menyedot es jeruk itu karena menertawakan Adelia. “Kenapa ekspresimu begitu? Memangnya bukan dia, ya?”
“Tentu saja bukan. Kenapa juga aku harus melamunkan dia, memangnya dia itu siapa.” Adelia menjawab ketus.
“Haha, tidak boleh begitu. Nanti, malah jatuh cinta, loh.”
Adelia mendengus, “apaan, sih, Nay.”
Kanaya yang sudah tak lagi tertawa itu pun kemudian mendekat. Saat itu Adelia sedang berdiri berpangku tangan di meja kasir, tempat kebesarannya. “Jadi, kau sedang memikirkan apa?” tanya Kanaya lagi, kali ini dia lebih serius.
Adelia terdiam sesaat, kemudian dia menghela napas. Dia tak akan lolos dari pertanyaan itu jika dia tidak menjawab. “Baru-baru ini aku memikirkan orang tua kandungku. Beberapa kali, aku memimpikan mereka. Ini membuatku tidak nyaman, tapi entah kenapa aku sedikit senang karena melihat wajah mereka, walau lewat mimpi.”
Kanaya terhenyak, terlebih saat melihat bagaimana ekspresi Adelia saat itu. Adelia adalah gadis yang sangat pandai menyembunyikan emosi, tapi kali ini, dia tak melakukannya. Dia bahkan membiarkan Kanaya melihat bagaimana gundahnya dia kali ini. Matanya sayu, menatap telapak tangannya yang berkeringat saat ia kepalkan. Kanaya jadi teringat bagaimana sang ayah masuk ke mimpinya. Rasa senang itu ... bagian dari perasaan rindu yang terpendam.
“Di satu sisi, aku membenci mereka. Tapi, di sisi lain, aku merindukan mereka.” Adelia melanjutkan, suaranya yang parau membuat Kanaya terenyuh.
Lantas, Kanaya menangkup pundak Adelia, mendekap gadis itu seraya mengusap punggungnya lembut. “Itu wajar, kau pun tidak salah, semua itu kan terjadi diluar keinginanmu.”
Adelia tidak berkata apa pun, selain helaan napas dari mulutnya yang kaku.
“Semangatlah, Adelia! Lihat sekelilingmu, ada orang-orang yang menyayangimu dengan tulus dan menginginkanmu bahagia. Merindu itu tidak salah, tapi jangan biarkan perasaan itu menelanmu.”
Setitik semu terpancar di wajah Adelia, bibirnya terangkat walau sedikit. Namun, Kanaya merasa lega karenanya. Tidak ada yang bisa dia berikan selain kata-kata. Setidaknya dia senang, kata-kata bijaknya masih berguna untuk orang lain, walau pun tidak untuk diri sendiri. Kanaya sudah melepaskan dekapannya, ekspresi Adelia sudah perlahan kembali seperti dirinya yang biasa. Kali ini, Kanaya belajar satu hal, seseorang yang di rasa hidup enak pun tak luput dari masalah. Kanaya mengembuskan napas, kemudian tersenyum canggung. Dia tak ingin memikirkannya lebih banyak lagi, alih-alih berpikir, Kanaya kembali mendekat dan berbisik pada Adelia. “Del, lebih baik kau pikirkan Ilay juga. Dia menitipkan salam untukmu lebih dari lima kali dalam satu hari, loh.”
Adelia menoleh sigap, ekspresi wajahnya jadi aneh, matanya membulat dengan dahi yang mengerut. Sementara Kanaya malah tertawa geli melihat raut wajah Adelia yang terkejut dan malu di saat bersamaan. “Kau apa-apaan, sih, Nay. Kenapa jadi dia lagi? Oh, jangan-jangan selama ini kau berkirim pesan dengannya, ya?” teriak Adelia yang di sahut tawa geli Kanaya.
***
Tidak ada kuliah hari Sabtu, tapi Adelia tetap pulang lebih awal. Besok dia yang menjaga toko seharian bersama Mira, karena Kanaya si gadis yang baru saja jatuh cinta itu akan mengambil cuti. Adelia berjalan perlahan, melewati pertokoan yang panjang. Dia berniat membeli es tebu dan rujak buah di taman sekitar mal. Karena belum sore dan cuaca tidak terlalu panas, Adelia memutuskan untuk berjalan kaki. Kebetulan pula dia tak membawa kendaraannya hari ini.
Adelia menenteng es tebu dan rujak buah di kedua tangan, kemudian duduk di salah satu bangku taman. Taman ini berada di samping mal, dan menghadap ke jalan raya. Semua terlihat, mobil mau pun sepeda motor yang berlalu-lalang. Sesekali angin yang tiba-tiba datang entah darimana itu menerbangkan rambut hitamnya yang sudah melewati bahu. Adelia menyedot es tebu dengan perlahan, matanya terpaku pada sebuah sepeda motor yang tiba-tiba memarkir di pinggir taman.
Seorang lelaki bertubuh tinggi kurus itu turun dari motor, mengecek kotak yang terikat kuat di bagian belakang dan melihat ke arah Adelia. Lelaki itu melepas helmnya. Senyum di wajahnya pun mengembang sempurna, tangannya melambai ke arah Adelia yang terheran. Kemudian, dia berlari kecil dan langsung duduk di samping Adelia, bahkan Adelia urung meminum es tebunya lantaran keheranan melihat Lelaki yang tak lain adalah Ilay.
“Kenapa kau ke sini?”
Ilay tertawa renyah, “apa butuh alasan untuk datang ke sini?”
Adelia berdecak lirih, mulutnya menyedot es tebu itu dengan gerakan cepat. Sementara itu, Ilay hanya tersenyum dengan tatapan yang tak beralih dari wajah Adelia yang menekuk.
“Kenapa tidak membalas pesanku?”
“Apa yang harus ku balas saat kau hanya mengirimkan emotikon berkedip padaku,” ujar Adelia sambil mengunyah rujak buahnya.
“Oh, maksudmu jika aku mengirim pesan berisi kata-kata lain, kau akan membalasnya?”
Adelia mendelik, “aku tidak bilang seperti itu,” jawabnya malas.
Melihat Ilay yang masih bisa tertawa, bahkan ketika Adelia sudah berbicara ketus padanya, membuat Adelia bertanya-tanya, terbuat dari apa hatinya? Jika di ingat, dia selalu begitu bahkan sejak pertama kali mereka bertemu di panti.
“Berhentilah tertawa! Kau membuatku kesal.”
Ilay menahan tawanya dengan sedikit berdeham. “Itu karena aku senang bisa bertemu denganmu lagi.” Ilay menatap jauh ke depan, di mana angin bertiup perlahan, menggoyangkan dahan pohon yang rindang di taman itu. “Terlebih, kau sudah menemukan kebahagiaan, aku sangat senang, Hanna.”
Adelia tertegun, memandang Ilay yang kali ini tidak melihat ke arahnya. Tatapan Ilay jauh ke depan, dan senyum jahil yang biasa dia keluarkan telah berganti dengan senyum lega penuh rasa senang. Sesuatu menggelitik perasaan Adelia, rasa hangat mengalir dalam tiap desiran darahnya. Mengapa dia begitu nyaman dengan perasaan ini, bahkan sejak dulu pun begitu. Adelia mengingat kenangannya dulu, di saat dia merasa gundah, Ilay akan selalu ada di sampingnya. Dan yang dia lakukan adalah...
“Semoga kau terus bahagia seperti ini, Hanna.” Ilay tersenyum sembari mengusap perlahan puncak kepala Adelia.