Tatapan Kanaya terfokus pada langit-langit kamar. Dentingan jam dinding tak menghambat pikirannya untuk memikirkan sesuatu yang menyenangkan. Kipas angin pun menerbangkan beberapa helai rambutnya dan sarang laba-laba di sudut tembok. Kemudian dia tersenyum, sampai akhir Vincent tidak berbicara lebih dari dua kalimat. Kanaya menoleh, menatap stiker karakter anime kesukaannya, sang kapten jutek yang bermanuver. Entah bagaimana, menatap karakter itu membuatnya sedikit rindu.
Tadi itu benar-benar makan malam, selain tidak ada pembicaraan yang serius, Kanaya juga batal memenuhi janji. Semua lantaran Vincent yang langsung memberikan uang pada kasir dan pergi. Oh, dia juga mengantar Kanaya hingga di depan gerbang. Setelahnya, lelaki itu langsung tancap gas dan menghilang. Kanaya menarik selimut polkadotnya hingga menutupi leher. Setidaknya dia senang karena Vincent mau saat dia mengajaknya pergi minggu nanti. Itu pun setelah sepuluh kali di tolak, yang ke sebelas mungkin suatu keberuntungan, walau sebenarnya laki-laki itu kelihatannya terpaksa. Kanaya tertawa sendiri, jika seseorang melihatnya, mungkin Kanaya bisa di cap sebagai gadis yang gila. Dia mengingat percakapan itu.
“Aku sedang stres. Jadi, sekali saja, temani aku jalan-jalan,” ujar Kanaya mencoba merayu Vincent.
Pendirian laki-laki itu masih kokoh, “kenapa kau tak jalan sendiri saja.”
“Tidak mau! Jalan sendirian membuatku seperti orang gila.”
“Kalau begitu tidak usah jalan. Kenapa kau selalu membuatku repot.”
Percakapan seperti ini terjadi hingga sepuluh kali.
“Kau hanya akan mendapatkan malu saat berjalan denganku. Itu aneh, kita akan di pandang aneh. Jadi, berhenti mengajakku pergi."
“Aneh? Tidak ada yang aneh dari kita, kita manusia, bukan alien. Kenapa kau berpikiran seperti itu? Ya ampun, kau terlalu banyak nonton film, ya?”
Wajah Kanaya mungkin terlihat sangat mengesalkan baginya, tapi pada akhirnya, wajah itulah yang membuat Vincent mengiakan permintaan Kanaya.
***
Vincent sudah merenung lebih dari setengah jam, mulutnya terkatup seperti biasa dan pikirannya terbang entah ke mana. Sorot matanya menatap jari yang sedang memilin kelopak bunga lili. Pagi ini, dia baru saja mengunjungi makam ibunya, tanpa berkata, tanpa menangis dan tanpa ekspresi, dia hanya membawa nyawa dan beberapa tangkai bunga lili putih kesukaan ibunya. Jam sepi adalah jam merenung bagi Vincent, menatap sesuatu yang mungkin hanya dia seorang yang dapat melihatnya.
Vincent menghela napas, menunduk kaku dengan dahi yang sedikit mengerut. Sepuluh menit lalu, dia bahkan melakukan hal ini juga. Para pegawai lain sesekali meliriknya, ada ekspresi ragu pada wajah mereka masing-masing. Bukan hal baru melihat pemandangan ini, tapi mereka masih saja tidak terbiasa dengan Vincent yang seperti itu. Gerak jari Vincent berhenti saat seseorang duduk di depannya. Pupilnya bergerak, hanya untuk memastikan, setelahnya dia tak peduli. Lelaki dihadapannya itu melepas topi, mengibaskan tangan ke arah wajahnya dan mengernyitkan dahi. Kemudian, dia tersenyum jahil.
“Sedang memikirkan apa? Pacarmu, ya?” tanya Ilay terkekeh.
Vincent menoleh, menatapnya heran. “Kau ... siapa?”
Seketika Ilay terhenyak, menatap Vincent yang juga menatapnya bingung. Senyum jahil itu sirna entah ke mana, beberapa kali dipikirkan pun ini sudah keterlaluan. Vincent sudah mengalihkan pandangan lantaran Ilay tak kunjung menjawab, dan Ilay masih bingung karena kehilangan kata-kata. “Kau serius bertanya aku siapa?” tanya Ilay pada akhirnya.
Vincent tak memancarkan emosi, tapi kepalanya manggut-manggut menandakan dia tidak bercanda. Oh, Ilay sedikit frustrasi pada lelaki ini, hingga dia tertawa masam. “Kau keterlaluan sekali, padahal kita bekerja di tempat yang sama. Aku ini senior, loh. Aku lebih dulu kerja di sini dibanding kau.”
“Aku tahu, tapi aku tak tahu siapa namamu.”
Ilay kembali terhenyak, seingatnya, dia memang tak pernah berkenalan secara langsung dengan Vincent. Walau setiap hari bertemu, laki-laki yang tak peduli lingkungan sekitar ini tentu tak akan tahu siapa dirinya. Dalam hati Ilay tertawa, makhluk seperti Vincent ternyata benar-benar ada. “Baiklah, aku Ilay, tolong ingat namaku baik-baik!”
“Baiklah.” Vincent menjawab singkat, kemudian dia menatap kelopak bunga itu lagi. Mau di pikirkan bagaimana pun, yang di rasa hanya sepi. Lagi-lagi dia menghela napas.
“Apa kau ada masalah? Kau menghela napas sudah lebih dari tiga kali,” tanya Ilay yang heran, sambil menggigit tusuk gigi, dia menunggu jawaban lelaki pendiam itu.
Vincent hanya menatapnya sekilas, kemudian kembali menunduk sembari menjawab, “tidak ada apa-apa.” Kelopak bunga itu sudah mulai rusak dan aromanya tidak lagi tercium. Netra di balik kacamata itu terlihat getir. Suara bising mulai terdengar dari pintu masuk, semua pegawai berdiri dan kembali ke tempatnya masing-masing, tak terkecuali Ilay. Lelaki itu memakai kembali topinya, ditepuknya perlahan pundak Vincent yang keras. “Jika ada masalah, cerita saja padaku, jangan sungkan. Sekarang, mari bekerja!” tukasnya kemudian berlalu.
Sesaat Vincent dibuat terhenyak, menyesapi kalimat yang dikatakan Ilay untuknya. Dia berdiri dari tempat duduk itu, memandang sekitar restoran yang sudah di isi oleh para pelanggan yang siap memesan. Ilay sudah berlalu, dia sudah berada di sekitar pelanggan, dengan tangan yang siap menulis pesanan dan senyum yang mengembang. Selama ini Vincent tak pernah tahu ada lelaki ceria seperti itu. Di saat semua orang hanya bisa melirik dengan berbagai pertanyaan di kepala mereka, Ilay tanpa ragu malah duduk dan bertingkah sok akrab padanya. Sosok Ilay mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang baru-baru ini juga bertingkah sok akrab padanya. Vincent melihat ponsel, ada dua pesan teks yang belum dia baca pagi ini. Lelaki itu pun mengulas senyum, “selain sok akrab, dia juga keras kepala.”
***
Kanaya mengusap-usap lengannya yang terkena krim roti pada ujung celemek yang berwarna merah muda. Layaknya pekerjaan yang ia jalani, setelah beberapa roti habis, dia harus mengisi kembali etalase itu dengan roti yang baru. Beberapa hari ia jalani dengan leluasa, rasa gamang karena tekanan para penagih tentu selalu ada, tapi dia tak lagi segelisah dulu. Bahkan, Adelia juga ikut merasa lega.
Sesekali Kanaya mengecek ponselnya. Dia tertegun mendapati banyaknya retakan pada layar ponsel itu, dan sial, Kanaya baru menyadarinya. “Astaga, aku harus mengganti anti goresnya,” gumam Kanaya sambil membolak-balikan ponsel. Dulu, dia tak terlalu memerhatikan karena sibuk gelisah dengan teror debt collector. Sungguh, mereka memberikan tekanan yang bisa saja menyiksa mental.
Kanaya mengerucutkan bibir, di sudut toko dia kembali mengecek ponsel, lebih tepatnya mengecek pesan teks. Bukan Vincent, melainkan Ilay. Bibirnya terangkat, penuh kegemasan. Biar pun Vincent tak membalas pesannya, masih ada Ilay yang selalu memberitahu hal yang ingin Kanaya ketahui tentang Vincent. Saat Ilay membalas, Kanaya mengarahkan pandangan pada Adelia yang sedang melamun di meja kasir. Pandangan gadis itu cukup jauh, hingga dia tak menyadari saat Kanaya mengambil fotonya diam-diam. Mereka, Kanaya dan Ilay, menyebutnya sebagai bisnis mutualisme.
Jika bukan karena sedang bekerja, mungkin percakapan mereka tak akan berakhir dengan cepat. Semuanya jauh lebih menyenangkan. Adelia terkesiap dari lamunannya, saat Kanaya memegang ujung rambutnya dengan tiba-tiba. Jantungnya sedikit bergemuruh, seakan panik jika saja Kanaya bisa membaca isi pikirannya. “Kau mengagetkanku saja,” ujarnya sembari mengatur napas. Selepas itu, dia jadi terlihat sibuk, merapikan buku-buku yang telah tersusun rapi di atas meja kasir dan mengelap meja kasir yang sudah mengilap.
“Kau kenapa?”
Gadis itu terhenyak sesaat, lalu tersenyum kecut. “Kenapa apanya?”
“Kau melihatku seperti melihat hantu.”
Adelia sudah bisa mengendalikan emosinya. Ekspresinya perlahan kembali, dan gerak tangannya tak secepat tadi. Namun, dia masih merapikan hal-hal yang ada di atas meja kasir. “Aku sedang melamun tadi, dan kau tiba-tiba memegang rambutku.”
“Ya, itu karena rambutmu sudah lebih panjang sekarang.” Kanaya berkata dan mendekat ke arah Adelia. Toko roti tak melarang pegawainya memainkan ponsel, tapi tentu di saat situasi tertentu. Seperti sekarang ini, sepi dan tak ada pelanggan. Kanaya berdiri di samping Adelia, memegang ponsel dengan siku yang bertumpu di meja kasir. Kedua matanya tak lepas dari layar ponselnya.
“Pasti menonton anime,” tukas Adelia memutar bola matanya.
Tanpa melihat Adelia, Kanaya menjawabnya santai. “Iya, kan lagi sepi.”
Pipi yang bersemu merah dan senyuman tanpa sadar itu selalu Adelia dapati di wajah Kanaya, tak lain dan tak bukan jika dia melihat karakter kesukaannya muncul. Bukan sekali atau dua kali, tapi Adelia tetap tak terbiasa dengan itu. “Ya ampun, kau ini tergila-gila pada sesuatu yang tidak nyata, berhentilah tersenyum seperti itu! Aku merinding,” tukas Adelia mengibaskan tangan ke wajah.
“Memangnya kenapa? Dari pada kau ... tergila-gila pada sesuatu yang nyata, tapi mustahil untuk kau miliki.” Kanaya tertawa tanpa melihat Adelia.
Adelia menghela napas, tidak ada bagusnya berdebat dengan Kanaya mengenai hal yang sama-sama mustahil. “Ya, ya, memang apa bagusnya kapten itu?” tanya Adelia yang ternyata belum juga mengalah. “Jika dia nyata, apa kau akan mengejarnya lalu menikahinya?”
Kanaya tersenyum lebar hingga matanya menyipit. “Tidak. Jika mereka nyata, aku hanya akan menikahi Daisuke Kambe.”
“Siapa lagi itu?”
“Kau bisa mencarinya di internet. Sudah, jangan mengangguku!”
Adelia mencondongkan tubuhnya kedepan, merapatkan perut ke batas meja dan memangku dagu dengan lengannya. “Jadi, Daisuke Kambe atau Vincent Agnito?”
Kanaya menegakkan badan, dia terhenyak dengan mulut terkatup. Adelia menahan tawa. Sepertinya, debat kali ini dia yang menang, pikirnya.