Pemuda itu membuka jaket jinsnya, menggunakannya sebagai penutup kepala. Namun, baru saja hendak melangkah, Kanaya sudah memanggilnya kembali, membuatnya menoleh walaupun enggan rasanya.
"Kau sudah ingin pergi?" tanya Kanaya dengan polosnya.
"Tentu saja aku ingin pergi. Masih banyak yang harus aku kerjakan setelah ini."
"Tapi hujannya masih deras."
Pemuda itu mendongak, menatapi setiap tetesan hujan yang turun. "Ini hanya air. Aku tidak akan mati jika terkena air hujan."
Kanaya beranjak saat tahu pemuda itu hendak pergi. "Ah, setidaknya beritahu aku siapa namamu.”
Pemuda itu terdiam sejenak, ia menoleh lagi. "Vin," ucapnya parau kemudian berlari menerobos hujan. Suara motornya bergema, bercampur dengan suara hujan yang bising. Tak lama kemudian, suara motor itu sudah menghilang, bak tertelan oleh hujan yang deras.
Kanaya melangkah perlahan, menutup pintu rumah kosnya dan kembali ke sofa. Ia merebahkan diri di sofa hijau itu, menatap ke langit-langit seraya membayangkan pemuda yang mengaku bernama Vin itu. Tadi, dia mengatakan kalimat yang pedas tapi juga penuh arti. Seakan sedang memarahi adik perempuannya karena bertingkah nakal. Namun, tersirat pula kesedihan dan kemarahan di saat yang bersamaan sewaktu dia mengatakannya.
Jika di pikirkan lagi, semua perkataannya memang benar. Tak ada gunanya mati sekarang, yang ada dirinya akan membuat susah Ibu dan Adik laki-lakinya. Kenapa aku sebodoh itu? Aku bahkan memperlihatkan kebodohanku pada orang yang tak kukenali.
Kanaya merenung, ada sesuatu yang menggelitik perasaannya. Bukankah pemuda itu bilang untuk jalani saja semuanya? Sampai kapan? Dia bertanya-tanya. Namun, untuk pertama kalinya dia merasa hatinya sedikit longgar. Kata-kata mau pun wajah galak pemuda itu terus terngiang di dalam kepalanya yang kecil.
Matanya menerawang, tapi sudut bibirnya terangkat. Dia ingin bertemu pemuda itu lagi.
***
Kanaya memandang lurus layar laptop. Dia bengong, melihat karakter di animasi khas jepang itu bertarung melawan Titan. Salah satu karakternya membuat Kanaya terpana. Sejak dulu dia memang mengidolakan karakter itu. Bukan hanya karena dia tampan, dia keren dan juga sangat hebat. Kanaya bersimpuh, sibuk menonton animasi favoritnya, sementara Adelia sibuk mengurus rambutnya yang hendak di warnai. Singkat cerita, Kanaya pergi ke rumah Adelia sekitar pukul lima sore tadi dan dia bilang dia ingin menginap. Tentu saja, dengan akting pura-pura sakit yang masih terlihat dan drama kesepian di rumah kos sendirian, padahal setiap harinya dia memang sendirian.
Adelia dengan telaten membubuhkan cat warna rambut sedikit demi sedikit pada rambut Kanaya yang sudah melebihi ketiak. Dia tak ikut menonton, karena dia lebih memilih drama korea ketimbang animasi jepang. "Warna cokelat lagi?” tanya Adelia yang tangannya sibuk membelai rambut Kanaya.
"Ya, itu cocok dengan wajahku.”
Kanaya mempunyai rambut panjang yang bagus, atasnya lurus dan di bawahnya ikal. Terlihat cantik. Banyak para gadis yang menata rambutnya seperti itu di salon, dan Kanaya mendapatkannya secara alami. Warna aslinya adalah cokelat tua, lalu sejak lulus sekolah, ia mewarnainya dengan warna cokelat muda.
Sorot mata Kanaya tak bergeming, terus menatap layar laptop milik Adelia. "Mirip," gumamnya.
Adelia sedikit terheran, masih mewarnai rambut Kanaya, gadis itu bertanya. "Mirip? Apanya yang mirip?"
"Dia mirip sama karakter ini," ujar Kanaya menunjuk karakter yang paling dia sukai. Karakter itu seorang kapten, omong-omong.
Adelia semakin bingung, "dia siapa?"
"Laki-laki itu."
Adelia mengernyitkan dahi, semakin tak mengerti siapa yang di bicarakan oleh Kanaya. Gadis itu bertanya-tanya. Sambil terus mewarnai rambut Kanaya. Kemudian, secara tiba-tiba, ia melonjak, menghentikan pekerjaannya dan beringsut menatap Kanaya. "Apa kau sudah bertemu lagi dengan laki-laki itu?”
Kanaya hanya menoleh Adelia sebentar, lalu lanjut menonton animasi itu. Sudut bibirnya terangkat dan wajahnya berseri. "Iya," jawabnya.
“Kapan?” tanya Adelia dengan ekspresi yang sangat ingin tahu.
“Kemarin. Ternyata, kita sudah salah paham. Dia bukan si tukang tagih dari toko elektronik. Dia itu kurir ayam pedas. Aku bertemu karena tadi siang aku memesan ayamnya.”
“Ah, begitu.” Adelia menatap ke atas. “Kalau di ingat-ingat, kurir itu memang tampan, tapi dia tinggi, tidak pendek seperti karakter itu!” tukas Adelia menunjuk layar laptopnya.
“Kenapa kau tak memberitahuku. Aku malah salah mengira dia tukang tagih itu.”
“Mana kutahu kalau kau sedang mencarinya. Memangnya kau ada cerita padaku sebelumnya?” Adelia kembali melanjutkan pekerjaannya, mewarnai rambut Kanaya. “Tapi, Nay, dia sedikit seram.”
“Apanya?”
“Dia tidak pernah tersenyum. Raut wajahnya datar, tidak ada ekspresi sama sekali. Sejujurnya, dia tidak cocok dengan profesinya sebagai kurir makanan. Dia lebih cocok jadi penagih utang.”
Kanaya tertawa, tapi tak sampai terpingkal-pingkal. Hanya tertawa ringan. “Iya, sih, tapi justru di situ letak daya tariknya.”
“Hah, kau sungguh tertarik padanya, ya. Seleramu unik juga.”
Kanaya hanya terkekeh. Rambutnya sudah di warnai seluruhnya. Adelia menggulung rambut panjang Kanaya dan menutupnya dengan penutup kepala berbahan plastik. “Nah, sudah selesai. Aku akan membersihkan tanganku dulu,” ujarnya beranjak dari tempat tidur. Kanaya beringsut, membawa serta laptop Adelia di pangkuannya dan bersandar di headboard kasur. Kanaya sangat menyukai kamar Adelia, ia menyebutnya sebagai kamar idaman. Ruangannya luas, ada AC, ranjangnya besar dan tertata rapi. Kadang-kadang Kanaya merasa canggung karena Adelia mau-mau saja berteman dengan orang sepertinya.
Sembari menonton film yang sama, Kanaya menoleh karena Adelia kembali dengan seekor anjing yang mengikutinya dari belakang. Kanaya menyingkirkan laptop dari pangkuannya dan segera beranjak. Dia tak sabar untuk menyentuh dan mengusap bulu cokelat yang halus itu. “Wah, kau sudah sebesar ini.” Kanaya mengusap anjing itu. Anjing jenis Golden Retriever berwarna cokelat itu tampak senang, ia menjulurkan lidah, sesekali menggonggong pada Kanaya.
Adelia hanya melihat keakraban Kanaya dan Leo. Dia duduk di tepi kasur sembari memainkan ponsel. “Hei, Kanaya, hari ini aku hampir kehilangan Leo, loh.”
Kanaya menoleh, tangannya masih sibuk mengusap dan membelai anjing berbulu cokelat yang menggemaskan itu. “Apa maksudnya?”
Adelia merebahkan dirinya. Sambil menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih, dia membuka mulut. “Aku akan menyingkatnya saja. Tadi pagi, sewaktu aku mengajak Leo jalan-jalan seperti biasanya, kami bertemu dengan sepasang suami istri, ah dan juga satu anak kecil. Aku tahu, anak itu terus memerhatikan kami, tapi aku membiarkannya.” Adelia mengangkat punggungnya, lalu bersandar di headboard kasur. “Sepasang suami istri itu bertanya padaku, apakah Leo benar anjingku atau bukan. Hah, ini akan menjadi cerita yang panjang, singkat saja, sepasang suami istri dan anak kecil yang merupakan anak mereka itu, adalah pemilik asli Leo. Ya, itu wajar, anjing sekelas Leo bukan tipe anjing liar. Harganya bahkan sangat mahal di pasaran.”
Kanaya naik ke atas kasur dan duduk di samping Adelia. Leo pun ikut naik, berbaring di antara mereka berdua. “Terus?” tanya Kanaya penasaran.
“Leo adalah anjing peliharaan anak mereka. Dia bernama Max dulunya, dan sepertinya itu benar. Leo merespons mereka saat mereka memanggilnya dengan nama itu. Dan itu membuatku sedih.” Adelia menunduk. “Mereka sengaja meninggalkan Leo kepada tetangga mereka. Saat itu mereka akan berangkat ke luar negeri untuk perjalanan bisnis. Ya, siapa yang tahu kalau tetangga mereka bukan pecinta hewan peliharaan. Dulu, setiap aku lewat sana, aku selalu melihat Leo duduk dan melamun di depan rumah besar itu. Siapa sangka itu adalah rumah pemiliknya, dan dia di sana semata-mata menunggu pemiliknya datang. Aku hampir setiap hari memerhatikan dia. Tetangga mereka yang di beri amanat untuk menjaga Leo tampaknya tak terlalu peduli. Buktinya, saat Leo di angkut sama tim shelter, mereka acuh tak acuh. Ya, jadi sebenarnya aku mengadopsi Leo dari shelter itu setelah tahu dia di bawa. Untung saja dia di angkut shelter, kalau di angkut olehmu, bisa-bisa kau jual dia karena dia anjing mahal.”
“Sayang sekali kalau begitu,” jawab Kanaya.
Adelia tersenyum simpul, ia mendesah pelan. “Dulu, Leo juga masih sering melamun. Dia akan duduk sambil terus menatap pagar depan rumah, berharap pemiliknya datang dan memeluknya. Dan itu terjadi cukup lama hingga akhirnya dia menerimaku.”
“Ya, aku tahu itu.”
“Baiklah, kembali ke cerita tadi, mereka meminta padaku untuk memberikan Leo kepada mereka seperti seharusnya.”
“Loh, tapi kan kau sudah mengurus Leo cukup lama, kenapa mereka jadi seenaknya.”
Adelia mendesah pelan. “Aku juga sempat berpikir begitu, aku marah dan juga sedih. Tapi, kata Ibuku, jika memang mereka pemiliknya maka memang sepantasnya bagiku untuk mengembalikan Leo.” Adelia mengusap-usap Leo yang berbaring di sampingnya. “Leo merespons anak kecil itu. Dia menjilati pipinya dan dia bersuara saat anak itu memanggilnya dengan nama ‘Max’.”
“Lalu, kenapa Leo ada di sini sekarang?”
Adelia hanya melirik, bibirnya sedikit terangkat, menimbulkan senyum yang samar. “Mereka betul-betul membawa anjing ini. Aku sempat menangis karena sedih. Namun, tidak lama setelah itu, mereka datang lagi dan mengembalikan Leo padaku. Kau tahu, rasanya melegakan saat aku bisa mengusap kembali bulu ini. Mereka bilang kalau Leo tidak mau masuk ke rumah mereka, ke rumah besar yang selalu di lamunkan oleh Leo dulu. Bahkan, Leo hendak kabur beberapa kali di dalam mobil. Bukankah itu menjadi suatu kebanggaan bagiku?”
Kanaya tersenyum tipis, ia mengusap Leo perlahan. “Aku tidak menyangka ada cerita seperti itu tentang anjing ini. Sepertinya baik kau mau pun aku telah belajar satu hal darinya."
"Apa itu?"
"Itu sangat jelas. Dia tahu rasanya di tinggalkan, maka dari itu, dia tak ingin meninggalkan."
Adelia terenyak sebentar, lalu tersenyum simpul. "Ah, aku benci mengatakannya, tapi itu adalah kata-kata paling bijak yang pernah kau katakan."
“Haha, benarkah?" Kanaya tertawa. "Ah, Adelia ... jadi, kau tak kerja di toko hari ini?”
Adelia menggeleng. “Tidak, aku di rumah bersama Leo. Setelah semuanya selesai, sekitar pukul tiga sore Ibuku pergi ke toko untuk membantu Mira.”
“Oh, begitu.” Kanaya mengangguk pelan. Jika aku tahu hanya ada si Mira itu di toko, aku tak perlu susah-susah berputar lewat jalan belakang. "Apa si Mira itu membuka toko sendirian?"
"Tidak. Toko di buka pukul tiga. Ibuku yang membuka toko lebih tepatnya."
Kanaya hanya mengangguk-angguk tanda mengerti. Wah, ternyata saat aku pergi ke toko elektronik itu, toko roti malah belum buka.
“Hei, sudah jam sepuluh lewat. Dongengnya sudah selesai. Pergilah ke kamar mandi dan cuci rambutmu! Aku ingin tidur!” tukas Adelia mendorong-dorong lengan Kanaya.
Kanaya beranjak, “iya, iya, aku akan ke kamar mandi.”