Pemuda itu tertegun. Dia mengatupkan bibir, melihat Kanaya dengan ekspresi bingung. "Apa maksudmu?" ujarnya mengatur ekspresinya kembali.
"Kau laki-laki itu ‘kan? Kau bilang kau ingin membunuhku malam itu.”
Pemuda itu sudah berhasil mengembalikan ekspresi wajahnya seperti semula. Datar. Dia menghela napas, tangannya berkacak pinggang, tatapan tajam dari kedua matanya membuat Kanaya gamang. "Dengar, aku tidak tahu apa yang kau katakan ini! Berhentilah bicara omong kosong, aku akan pergi dari sini karena pekerjaanku sudah selesai."
Ah, apa mungkin aku salah? Tapi, aku yakin orang ini betulan dia.
Pemuda itu berdecak, wajahnya terus menekuk hingga dia berpaling. Dia tak menyukai Kanaya, gadis yang dengan enteng menarik lengannya tanpa permisi, tidak punya sopan santun. Kesabarannya yang setipis tisu ini pun akan habis jika dia tetap di sini. Pemuda itu melenggang pergi, membuka pintu rumah dan terpaku karena hujannya sangat deras. Dia sampai memicingkan mata karena kilat yang sesekali tampak sangat menakutkan, seakan-akan memotret seisi bumi. Kanaya berlari, menutup pintu dengan cepat, ekspresi wajahnya gelisah, bukan karena pemuda itu, tapi karena dia tak menyukai kilat.
"Ck. Apa lagi yang kau lakukan? Aku ingin pergi!” tukasnya dengan nada kesal.
"Apa kau tak melihatnya? Kilatnya mengerikan. Dan lagi, hujannya juga sangat deras.”
Pemuda itu mendesah kasar, memutar bola matanya ke atas. "Aku tahu, aku melihatnya. Jadi, buka pintu itu!"
"Setidaknya tunggu dulu sampai hujannya reda sedikit."
Pemuda itu menoleh, kali ini wajahnya lebih garang dari yang tadi. "Kenapa kau menahanku? Kau ingin aku berbuat apa padamu?"
Kanaya tertegun, dia sampai tak bergeming karena pemuda itu membentaknya. "Kenapa kau begitu marah? Aku hanya menyuruhmu menunggu hingga hujannya reda. Memang apa masalahnya?”
Pemuda itu tak menjawab, dia kembali berkacak pinggang sembari mengalihkan pandangannya.
"Aku yakin kau memang orang itu. Jujur saja, aku mengenali suaramu. Kau tidak perlu mengelak lagi," tukas Kanaya.
"Sudah kubilang aku tak mengerti apa maksudmu. Kita bahkan baru pertama kalinya bertemu."
“Kau masih ingin mengelak? Aku bahkan tak akan bertanya alasan kau melakukan itu. Karena itu tidak penting untukku.”
Pemuda itu sudah tak tahan lagi, dia tak masalah jika nanti gadis ini akan melaporkannya ke polisi. Karena, itu adalah rencana awalnya. Pemuda itu menoleh dan menatap Kanaya tajam, dahinya mengerut dengan alis yang hampir menyatu. Namun, ekspresi itu tak bertahan lama. Setelah ia mengembuskan napasnya panjang, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Kanaya yang beberapa senti berada di bawahnya dengan tatapan yang datar lagi. "Jika itu benar, apa yang akan kau lakukan?"
Tatapannya mengintimidasi. Tampangnya yang seperti ini jauh lebih mengerikan ketimbang saat dia marah seperti tadi. Kanaya menelan ludah, tapi dia tak mengatakan apa pun. Bibir pemuda itu sedikit terangkat, memberi seringai dengan kesan mengejek. “Kenapa? Kau takut?"
"Tidak," jawab Kanaya seraya menggeleng cepat. "Apa yang harus aku takutkan? Asal kau tahu saja, aku bahkan mencarimu belum lama ini."
"Kenapa kau mencariku?" tanyanya bingung.
"Aku ingin kau ....” Kanaya tak meneruskan kata-katanya. Sementara pemuda itu masih menunggu dengan tangan yang terlipat di depan dada.
“Keinginanku masih sama. Aku ingin kau benar-benar membunuhku kali ini.”
Pemuda itu tak menjawab. Dia diam, tapi sorot matanya tak bergeming menatap Kanaya. Gadis itu merasa canggung, jika setelah ini dia langsung di tusuk, maka selesailah sudah. Pemuda itu melangkah maju, wajahnya tidak berubah, begitu pula letak tangannya. Ia sedikit menunduk, berniat menyamakan tinggi mata mereka. "Malam itu aku hanya menduga kalau kau adalah orang yang gila, tapi aku tak menyangka kau benar-benar gila."
Kanaya tertegun. Wajahnya yang tadi menunduk, seketika mendongak menatap pemuda itu. Dahinya mengernyit, "aku tidak gila!" bantah Kanaya jengkel. "Baiklah, mungkin ini terdengar gila, tapi untuk beberapa alasan, aku memang ingin mati!"
"Bunuh diri saja kalau begitu."
Kanaya terpaku, ia menunduk dan dengan ragu ia menjawab, "bunuh diri itu ... aku tidak sanggup kalau harus bunuh diri. Lebih baik aku di bunuh saja, daripada aku harus membunuh diriku sendiri."
"Aku bukan pembunuh!"
Kanaya mendongak. "Tapi malam itu ...."
Pemuda itu mendesah kasar, kali ini ia menjauhkan tubuhnya. "Dengar, malam itu aku tak bersungguh-sungguh untuk membunuhmu. Aku hanya iseng, lagi pula yang kubawa waktu itu bukan pisau sungguhan. Jadi, berhentilah memintaku untuk membunuhmu!"
"Iseng?"
Pemuda itu mengangguk, "ya, iseng. Aku bukanlah psikopat! Aku bahkan tidak berani menonton film Wrong Turn sampai habis," tukasnya sembari membetulkan jaket. "Lalu, berhenti memikirkan mati! Semua tidak akan selesai hanya dengan kau mati. Kau hanya akan menyusahkan semua orang yang ada di dekatmu!"
Kanaya menggigit bibir bawah, seperti kebiasaan yang selalu ia lakukan saat ia merasa kesal. Pemuda itu telah membuka pintu, memandangi hujan deras yang masih mengamuk. Ada kegetiran di dalam hati gadis itu, seakan sesak yang menyekat hingga ke tenggorokan. Ia mengepalkan tangan, tak kuat jika harus menahan kegamangan yang setiap detik ia rasakan. Tetes demi tetes air asin itu jatuh dari pelupuk matanya. Seakan lelah dan menyerah pada hidupnya yang pelik.
"Aku sudah tidak bisa menahannya ... aku lelah, aku ingin berhenti, aku ingin menghilang!" tukas Kanaya dengan suaranya yang bergetar. Pemuda itu tertegun dan menoleh. Ia mengernyitkan dahi, seorang gadis yang tak ia kenali tengah menangis di hadapannya. Terbesit pertanyaan 'apa yang harus ia lakukan?'
Pemuda itu berdecak, ia harus pergi, tapi ia tak cukup berengsek untuk meninggalkan seorang gadis yang sedang bersedih. Kanaya masih berdiri, tak bergeming sambil menangis terisak. Dia menunduk, sesekali menghapus air mata di wajahnya, sesekali pula terdengar suara saat ia menarik napas dari hidungnya yang tersumbat.
Pemuda itu kembali menatap hujan. Sialnya hujan belum juga mereda. Setelah mengembuskan napas, ia mendekat, memegang Kanaya dengan ragu. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya canggung. Kanaya tak menjawab, ia hanya menggeleng pelan.
"Sebaiknya kau duduk dulu," ujar pemuda itu menggiring Kanaya ke sofa. Gadis itu menurut, melangkah pelan hingga ia terduduk di sofa. Ia masih saja menangis, dan itu membuat sang pemuda gelisah. Dia menengok keluar. Tak ada siapa pun selain hujan deras, ia memiringkan kepala, memastikan motornya masih ada di luar. Lalu, kembali ia mengalihkan pandangan pada Kanaya. Gadis itu tampaknya belum berhenti menangis. Deru suara hujan yang berisik menimbulkan kecanggungan diantara mereka. Pemuda itu melepas sepatu ketsnya, melangkah pelan dan berjongkok di bawah Kanaya dengan raut wajah yang resah.
"Berhentilah menangis. Nanti orang mengira aku memukulmu," ujar pemuda itu dengan suara yang lebih lembut. Kanaya tertegun, ia yang menangis dan sedari tadi menutup wajahnya dengan kedua tangan kini terdiam. Dilepaskannya kedua telapak tangannya perlahan, wajahnya yang merah dan matanya yang sembab terlihat jelas. Kanaya sedikit terkejut saat melihat pemuda itu berjongkok di bawahnya. Wajahnya tidak segarang tadi, dahinya yang mengerut itu memperlihatkan ekspresi khawatir, lebih tepatnya bingung.
"Kau membuatku takut."
"Ah, kenapa?"
"Kau tiba-tiba berbicara dengan nada tinggi dan menangis. Jika ada orang yang mendengar, mereka akan mengira aku sudah berbuat yang tidak-tidak terhadapmu."
Kanaya menunduk, ia meremas kain daster hijau yang ia kenakan dengan kuat. Pemuda itu menghela napas, ia berdiri dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Kau itu aneh," ujar pemuda itu tiba-tiba.
Kanaya mendongak dengan matanya yang masih berkaca-kaca. "Aneh?"
Pemuda itu mengangguk, "ya, kau terus mengeluh, tapi kau terlalu takut untuk mati." sambil menatap Kanaya, ia meneruskan. "Aku tidak tahu apa masalahmu, tapi saat kau mati, semuanya tidak akan benar-benar selesai. Apa kau tak punya keluarga? Kau seorang diri?”
Dengan ragu Kanaya membuka mulutnya. “Aku ... punya keluarga.”
Sesaat pemuda itu terdiam, dia menatap gadis itu dengan teliti, kemudian mendesah kasar. “Apa kau memang orang yang setega itu? Maksudku, setelah kau mati, kau sama saja melimpahkan semua masalahmu pada keluargamu. Apa tidak cukup kau memberikan mereka rasa kehilangan saja?” pemuda itu kini meninggikan suaranya. Ia terlihat sangat kesal. "Kau harusnya memikirkan itu semua. Dan lagi, rasa sakit orang yang ditinggalkan olehmu, kau bahkan tak akan bisa membayangkannya." pemuda itu terus berbicara sambil berlalu. Ia menggunakan kembali sepatu ketsnya. Di ambang pintu, ia menoleh. "Jalani saja, walaupun sulit. Jika waktunya mati, kau pasti akan mati, tak peduli bagaimana caranya. Semuanya hanya masalah waktu dan takdir. Kau tahu, mati karena keputusasaan adalah kematian terburuk daripada semua kematian. Jika hidupmu sudah buruk, setidaknya jangan mati dengan cara yang buruk juga. Itu pesanku."