Loading...
Logo TinLit
Read Story - After Feeling
MENU
About Us  

Pemuda itu tertegun. Dia mengatupkan bibir, melihat Kanaya dengan ekspresi bingung. "Apa maksudmu?" ujarnya mengatur ekspresinya kembali.

"Kau laki-laki itu ‘kan? Kau bilang kau ingin membunuhku malam itu.”

Pemuda itu sudah berhasil mengembalikan ekspresi wajahnya seperti semula. Datar. Dia menghela napas, tangannya berkacak pinggang, tatapan tajam dari kedua matanya membuat Kanaya gamang. "Dengar, aku tidak tahu apa yang kau katakan ini! Berhentilah bicara omong kosong, aku akan pergi dari sini karena pekerjaanku sudah selesai."

Ah, apa mungkin aku salah? Tapi, aku yakin orang ini betulan dia.

Pemuda itu berdecak, wajahnya terus menekuk hingga dia berpaling. Dia tak menyukai Kanaya, gadis yang dengan enteng menarik lengannya tanpa permisi, tidak punya sopan santun. Kesabarannya yang setipis tisu ini pun akan habis jika dia tetap di sini. Pemuda itu melenggang pergi, membuka pintu rumah dan terpaku karena hujannya sangat deras. Dia sampai memicingkan mata karena kilat yang sesekali tampak sangat menakutkan, seakan-akan memotret seisi bumi. Kanaya berlari, menutup pintu dengan cepat, ekspresi wajahnya gelisah, bukan karena pemuda itu, tapi karena dia tak menyukai kilat.

"Ck. Apa lagi yang kau lakukan? Aku ingin pergi!” tukasnya dengan nada kesal.

"Apa kau tak melihatnya? Kilatnya mengerikan. Dan lagi, hujannya juga sangat deras.”

Pemuda itu mendesah kasar, memutar bola matanya ke atas. "Aku tahu, aku melihatnya. Jadi, buka pintu itu!"

"Setidaknya tunggu dulu sampai hujannya reda sedikit."

Pemuda itu menoleh, kali ini wajahnya lebih garang dari yang tadi. "Kenapa kau menahanku? Kau ingin aku berbuat apa padamu?"

Kanaya tertegun, dia sampai tak bergeming karena pemuda itu membentaknya. "Kenapa kau begitu marah? Aku hanya menyuruhmu menunggu hingga hujannya reda. Memang apa masalahnya?”

Pemuda itu tak menjawab, dia kembali berkacak pinggang sembari mengalihkan pandangannya.

"Aku yakin kau memang orang itu. Jujur saja, aku mengenali suaramu. Kau tidak perlu mengelak lagi," tukas Kanaya.

"Sudah kubilang aku tak mengerti apa maksudmu. Kita bahkan baru pertama kalinya bertemu."

“Kau masih ingin mengelak? Aku bahkan tak akan bertanya alasan kau melakukan itu. Karena itu tidak penting untukku.”

Pemuda itu sudah tak tahan lagi, dia tak masalah jika nanti gadis ini akan melaporkannya ke polisi. Karena, itu adalah rencana awalnya. Pemuda itu menoleh dan menatap Kanaya tajam, dahinya mengerut dengan alis yang hampir menyatu. Namun, ekspresi itu tak bertahan lama. Setelah ia mengembuskan napasnya panjang, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Kanaya yang beberapa senti berada di bawahnya dengan tatapan yang datar lagi. "Jika itu benar, apa yang akan kau lakukan?"

Tatapannya mengintimidasi. Tampangnya yang seperti ini jauh lebih mengerikan ketimbang saat dia marah seperti tadi. Kanaya menelan ludah, tapi dia tak mengatakan apa pun. Bibir pemuda itu sedikit terangkat, memberi seringai dengan kesan mengejek. “Kenapa? Kau takut?"

"Tidak," jawab Kanaya seraya menggeleng cepat. "Apa yang harus aku takutkan? Asal kau tahu saja, aku bahkan mencarimu belum lama ini."

"Kenapa kau mencariku?" tanyanya bingung.

"Aku ingin kau ....” Kanaya tak meneruskan kata-katanya. Sementara pemuda itu masih menunggu dengan tangan yang terlipat di depan dada.

“Keinginanku masih sama. Aku ingin kau benar-benar membunuhku kali ini.”

Pemuda itu tak menjawab. Dia diam, tapi sorot matanya tak bergeming menatap Kanaya. Gadis itu merasa canggung, jika setelah ini dia langsung di tusuk, maka selesailah sudah. Pemuda itu melangkah maju, wajahnya tidak berubah, begitu pula letak tangannya. Ia sedikit menunduk, berniat menyamakan tinggi mata mereka. "Malam itu aku hanya menduga kalau kau adalah orang yang gila, tapi aku tak menyangka kau benar-benar gila."

Kanaya tertegun. Wajahnya yang tadi menunduk, seketika mendongak menatap pemuda itu. Dahinya mengernyit, "aku tidak gila!" bantah Kanaya jengkel. "Baiklah, mungkin ini terdengar gila, tapi untuk beberapa alasan, aku memang ingin mati!"

"Bunuh diri saja kalau begitu."

Kanaya terpaku, ia menunduk dan dengan ragu ia menjawab, "bunuh diri itu ... aku tidak sanggup kalau harus bunuh diri. Lebih baik aku di bunuh saja, daripada aku harus membunuh diriku sendiri."

"Aku bukan pembunuh!"

Kanaya mendongak. "Tapi malam itu ...."

Pemuda itu mendesah kasar, kali ini ia menjauhkan tubuhnya. "Dengar, malam itu aku tak bersungguh-sungguh untuk membunuhmu. Aku hanya iseng, lagi pula yang kubawa waktu itu bukan pisau sungguhan. Jadi, berhentilah memintaku untuk membunuhmu!"

"Iseng?"

Pemuda itu mengangguk, "ya, iseng. Aku bukanlah psikopat! Aku bahkan tidak berani menonton film Wrong Turn sampai habis," tukasnya sembari membetulkan jaket. "Lalu, berhenti memikirkan mati! Semua tidak akan selesai hanya dengan kau mati. Kau hanya akan menyusahkan semua orang yang ada di dekatmu!"

Kanaya menggigit bibir bawah, seperti kebiasaan yang selalu ia lakukan saat ia merasa kesal. Pemuda itu telah membuka pintu, memandangi hujan deras yang masih mengamuk. Ada kegetiran di dalam hati gadis itu, seakan sesak yang menyekat hingga ke tenggorokan. Ia mengepalkan tangan, tak kuat jika harus menahan kegamangan yang setiap detik ia rasakan. Tetes demi tetes air asin itu jatuh dari pelupuk matanya. Seakan lelah dan menyerah pada hidupnya yang pelik.

"Aku sudah tidak bisa menahannya ... aku lelah, aku ingin berhenti, aku ingin menghilang!" tukas Kanaya dengan suaranya yang bergetar. Pemuda itu tertegun dan menoleh. Ia mengernyitkan dahi, seorang gadis yang tak ia kenali tengah menangis di hadapannya. Terbesit pertanyaan 'apa yang harus ia lakukan?'

Pemuda itu berdecak, ia harus pergi, tapi ia tak cukup berengsek untuk meninggalkan seorang gadis yang sedang bersedih. Kanaya masih berdiri, tak bergeming sambil menangis terisak. Dia menunduk, sesekali menghapus air mata di wajahnya, sesekali pula terdengar suara saat ia menarik napas dari hidungnya yang tersumbat.

Pemuda itu kembali menatap hujan. Sialnya hujan belum juga mereda. Setelah mengembuskan napas, ia mendekat, memegang Kanaya dengan ragu. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya canggung. Kanaya tak menjawab, ia hanya menggeleng pelan.

"Sebaiknya kau duduk dulu," ujar pemuda itu menggiring Kanaya ke sofa. Gadis itu menurut, melangkah pelan hingga ia terduduk di sofa. Ia masih saja menangis, dan itu membuat sang pemuda gelisah. Dia menengok keluar. Tak ada siapa pun selain hujan deras, ia memiringkan kepala, memastikan motornya masih ada di luar. Lalu, kembali ia mengalihkan pandangan pada Kanaya. Gadis itu tampaknya belum berhenti menangis. Deru suara hujan yang berisik menimbulkan kecanggungan diantara mereka. Pemuda itu melepas sepatu ketsnya, melangkah pelan dan berjongkok di bawah Kanaya dengan raut wajah yang resah.

"Berhentilah menangis. Nanti orang mengira aku memukulmu," ujar pemuda itu dengan suara yang lebih lembut. Kanaya tertegun, ia yang menangis dan sedari tadi menutup wajahnya dengan kedua tangan kini terdiam. Dilepaskannya kedua telapak tangannya perlahan, wajahnya yang merah dan matanya yang sembab terlihat jelas. Kanaya sedikit terkejut saat melihat pemuda itu berjongkok di bawahnya. Wajahnya tidak segarang tadi, dahinya yang mengerut itu memperlihatkan ekspresi khawatir, lebih tepatnya bingung.

"Kau membuatku takut."

"Ah, kenapa?"

"Kau tiba-tiba berbicara dengan nada tinggi dan menangis. Jika ada orang yang mendengar, mereka akan mengira aku sudah berbuat yang tidak-tidak terhadapmu."

Kanaya menunduk, ia meremas kain daster hijau yang ia kenakan dengan kuat. Pemuda itu menghela napas, ia berdiri dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Kau itu aneh," ujar pemuda itu tiba-tiba.

Kanaya mendongak dengan matanya yang masih berkaca-kaca. "Aneh?"

Pemuda itu mengangguk, "ya, kau terus mengeluh, tapi kau terlalu takut untuk mati." sambil menatap Kanaya, ia meneruskan. "Aku tidak tahu apa masalahmu, tapi saat kau mati, semuanya tidak akan benar-benar selesai. Apa kau tak punya keluarga? Kau seorang diri?”

Dengan ragu Kanaya membuka mulutnya. “Aku ... punya keluarga.”

Sesaat pemuda itu terdiam, dia menatap gadis itu dengan teliti, kemudian mendesah kasar. “Apa kau memang orang yang setega itu? Maksudku, setelah kau mati, kau sama saja melimpahkan semua masalahmu pada keluargamu. Apa tidak cukup kau memberikan mereka rasa kehilangan saja?” pemuda itu kini meninggikan suaranya. Ia terlihat sangat kesal. "Kau harusnya memikirkan itu semua. Dan lagi, rasa sakit orang yang ditinggalkan olehmu, kau bahkan tak akan bisa membayangkannya." pemuda itu terus berbicara sambil berlalu. Ia menggunakan kembali sepatu ketsnya. Di ambang pintu, ia menoleh. "Jalani saja, walaupun sulit. Jika waktunya mati, kau pasti akan mati, tak peduli bagaimana caranya. Semuanya hanya masalah waktu dan takdir. Kau tahu, mati karena keputusasaan adalah kematian terburuk daripada semua kematian. Jika hidupmu sudah buruk, setidaknya jangan mati dengan cara yang buruk juga. Itu pesanku."

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bittersweet Memories
65      65     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Persinggahan Hati
2108      849     1     
Romance
Pesan dibalik artikel Azkia, membuatnya bertanya - tanya. Pasalnya, pesan tersebut dibuat oleh pelaku yang telah merusak mading sekolahnya, sekaligus orang yang akan mengkhitbahnya kelak setelah ia lulus sekolah. Siapakah orang tersebut ? Dan mengakhiri CInta Diamnya pada Rifqi ?
Love Letter: Mission To Get You
610      458     1     
Romance
Sabrina Ayla tahu satu hal pasti dalam hidup: menjadi anak tengah itu tidak mudah. Kakaknya sudah menikah dengan juragan tomat paling tajir di kampung. Adiknya jadi penyanyi lokal yang sering wara-wiri manggung dari hajatan ke hajatan. Dan Sabrina? Dicap pengangguran, calon perawan tua, dan... “beda sendiri.” Padahal diam-diam, Sabrina punya penghasilan dari menulis. Tapi namanya juga tet...
NIAGARA
473      352     1     
Short Story
 \"Apa sih yang nggak gue tau tentang Gara? Gue tau semua tentang dia, bahkan gue hafal semua jadwal kegiatan dia. Tapi tetap aja tuh cowok gak pernah peka.\" ~Nia Angelica~
ANSWER
709      436     6     
Short Story
Ketika rasa itu tak lagi ada....
Antic Girl
147      122     1     
Romance
-Semua yang melekat di dirinya, antic- "Sial!" Gadis itu berlalu begitu saja, tanpa peduli dengan pria di hadapannya yang tampak kesal. "Lo lebih milih benda berkarat ini, daripada kencan dengan gue?" tanya pria itu sekali lagi, membuat langkah kaki perempuan dihadapannya terhenti. "Benda antik, bukan benda berkarat. Satu lagi, benda ini jauh lebih bernilai daripada dirimu!" Wa...
Golden Cage
507      293     6     
Romance
Kim Yoora, seorang gadis cantik yang merupakan anak bungsu dari pemilik restaurant terkenal di negeri ginseng Korea, baru saja lolos dari kematian yang mengancamnya. Entah keberuntungan atau justru kesialan yang menimpa Yoora setelah di selamatkan oleh seseorang yang menurutnya adalah Psycopath bermulut manis dengan nama Kafa Almi Xavier. Pria itu memang cocok untuk di panggil sebagai Psychopath...
Lovebolisme
195      166     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
If Only
370      245     9     
Short Story
Radit dan Kyra sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Hingga suatu hari mereka bertengkar hebat dan berpisah, hanya karena sebuah salah paham yang disebabkan oleh pihak ketiga, yang ingin menghancurkan hubungan mereka. Masih adakah waktu bagi mereka untuk memperbaiki semuanya? Atau semua sudah terlambat dan hanya bisa bermimpi, "seandainya waktu dapat diputar kembali".
the invisible prince
1567      853     7     
Short Story
menjadi manusia memang hal yang paling didambakan bagi setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ? Lantas aku ini disebut apa ?