Tubuh manusia umumnya sangat rentan. Kanaya merongrong di tempat tidur. Ada dua hal yang menyebabkan kepalanya berat pagi ini, terkena hujan dan habis menangis.
Jantungnya berdebar-debar. Itu selalu dirasakannya saat ia habis menenggak obat sakit kepala. Dia tak bergeming, berbaring sembari melihat langit-langit kamarnya yang sudah terlihat kotor. Sudah satu bulan sejak dia membersihkan langit-langit itu, laba-laba pun mulai bersarang di tiap sudut kamar. Ada nyamuk yang terperangkap di sana. Sang laba-laba pun sibuk melilitkan jaringnya pada nyamuk itu. “Nyamuk itu seperti aku. Laba-laba itu adalah rentenir dan jaring itu adalah utangku.” Suaranya parau saat ia bergumam.
Kanaya mengingat pesan Ibunya dulu. Jika sakit, cobalah untuk tetap bergerak, maka rasa sakitnya akan memudar. Gadis itu kemudian beranjak, duduk di tepi ranjang sambil memerhatikan kamar. Lumayan berantakan. Pakaian basahnya masih berceceran di atas lantai, beberapa novel berserakan di bawah rak bukunya yang kecil, lalu roti yang diberikan oleh Bibi Melisa bahkan belum ia makan sama sekali.
Kanaya memejamkan mata, menghirup udara sedalam-dalamnya dan mengembuskannya. Dia mengambil kantong yang berisi roti, mengambil roti yang berisi vanila susu. Sambil mengunyah, Kanaya mulai memunguti semua pakaiannya yang basah. Terdengar suara tukang bubur kacang hijau yang lewat di depan rumahnya, itu bertanda bahwa sekarang baru pukul tujuh pagi. Kanaya mengumpulkan pakaian basah itu di lengannya dan membawanya ke kamar mandi. Dia baru ingat saat melihat semua pakaian kotor yang menumpuk di depan pintu kamar mandi, ah, sudah satu minggu lebih aku tak mencuci pakaian. Kanaya meletakkan pakaian basah di wadah yang lain. Ini terlalu banyak. Mungkin, aku harus memilih pakaian yang penting-penting saja. Sementara dia berpikir, pada akhirnya dia menyikat gigi dan membasuh mukanya terlebih dulu.
Kanaya meraba-raba bagian atas lemari pakaian, seingatnya minggu lalu dia menaruh sabun cuci di sana. Namun, tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Matanya mulai kabur, seperti terkena darah rendah. Ia sampai menyandar di lemari untuk menahan tubuhnya agar tak terjatuh. Kanaya beringsut, merangkak ke ranjang dan tergolek begitu saja. Ia menarik selimut abu-abu bercorak polkadot dan membalut semua tubuhnya.
Rasanya seperti berada di tengah gurun salju, sangat dingin. Tubuh kecil itu menggigil, hingga suara benturan gigi pun sampai terdengar. Kanaya memejamkan mata, berkhayal tangan Ibunya yang lembut mengusap dahinya yang panas. Waktu itu dia pernah mengalami demam seperti ini. Tubuhnya sangat panas, tapi dia menggigil kedinginan. Yang bisa di lakukan hanya meringkuk dan bergumam dengan suara pelan. Namun, Ibunya selalu sigap dengan memberikan kompres dan memijat bagian tubuh Kanaya yang sakit. Tentu saja, waktu itu, terkena demam bukanlah hal yang menyulitkan.
Sepertinya aku tak bisa bekerja hari ini.
Dengan jari-jari yang bergetar, Kanaya mengetik pesan pada Adelia, memberitahukan kondisinya saat ini. Kata Ibu, penyakit itu jangan di manja. Semakin di manja, dia akan semakin menjadi. Kanaya mendesah lemah, beringsut dari tempat tidur dan mengacak-acak laci nakas di kamarnya. Dia menemukan satu, parasetamol yang dulu biasa Ibunya berikan saat ia demam.
Di saat seperti ini, dia jadi merindukan Ibunya.
"Halo!"
"Halo, Bu.”
“Naya, ada apa? Kenapa suaramu serak seperti itu? Kau sakit, Nak?”
“Iya, sepertinya aku demam, tapi jangan khawatir. Aku sudah minum obat. Mungkin karena aku kelelahan akhir-akhir ini.”
“Apa kau sudah makan?”
“Sudah, sebelum minum obat, aku sarapan bubur terlebih dulu.” Kanaya menelan ludah, itu suatu kebohongan.
“Hm, kau membuat Ibu khawatir. Pulang saja ke sini, Ibu khawatir karena kau sendirian di sana.”
“Aku sungguh tidak apa-apa, Bu.”
“Ha ... baiklah. Kalau kau libur, pulanglah ke rumah! Lalu, apa mereka masih menagihmu?”
“Hm, ya, masih, karena utang orang itu masih ada.”
Terdapat keheningan untuk beberapa saat. Kanaya tahu, ibunya sedang kebingungan harus menjawab apa. “Kau pasti kesulitan gara-gara itu. Ibu minta maaf, ya.”
Kanaya memejamkan matanya. Kenapa dia harus minta maaf? Padahal itu bukan kesalahannya. “Kenapa ibu minta maaf padaku? Semua ini adalah kesalahan pria itu. Sudahlah, Bu ... aku tidak apa-apa, ini hanya demam biasa. Aku akan segera sembuh setelah istirahat.
“Ah, bagaimana kalau ... kita menjual rumah kita saja?”
“Apa? Tidak harus seperti itu! Aku masih baik-baik saja, aku masih bisa membayar utangnya dengan rutin.” Kanaya menghela napas. Rumah satu tingkat yang waktu itu di beli oleh sang Ayah. Satu-satunya harta peninggalan Ayah yang mereka punya. Walau letaknya cukup jauh dari kota, tapi tetap saja bangunan yang berdiri tegak itu adalah kepunyaan mereka sendiri.
“Tapi-“
“Ibu ... kumohon jangan khawatirkan aku. Aku sungguh baik-baik saja.”
Setelah itu Kanaya memutuskan panggilan teleponnya. Dia kembali mengembuskan napas, cukup lega setelah mendengar suara sang Ibu. Walaupun dia sedikit syok karena sang Ibu malah ingin menjual satu-satunya tempat tinggal yang mereka miliki saat ini, terlebih hal itu dilakukan untuk membayar utang pria tak tahu malu itu.
Kanaya tampak baik-baik saja setelah meminum parasetamol. Suhu tubuhnya mulai menurun dan dia juga tak lagi menggigil. Hanya saja kepalanya masih terasa sedikit pusing di tengah-tengah. Jika saja saat itu tak ada yang mengetuk pintu rumahnya, Kanaya mungkin tak akan beranjak lagi dari tempat tidur. Intuisinya cukup kuat, masih mengenakan piama merah mudanya, dia berjalan gontai ke arah pintu. Kanaya mungkin tak akan membuka pintu jika yang datang bukan gadis ini.
Adelia buru-buru masuk satu detik setelah Kanaya membukakan pintu. Helm yang ia pakai ditaruhnya saja di atas sofa ruang tamu. Kemudian dia melangkah cepat ke arah kamar. Dia berkeringat, membuka jaket abu-abunya dan menyalakan kipas angin hingga volume yang terkuat. Kanaya mengintip sedikit. Masuk akal. Di luar cuaca benar-benar luar biasa hangatnya.
“Aku merasa matahari berada di atas kepalaku. Aku hampir meleleh.”
“Kenapa kau memakai motor?”
“Jalanan macet.”
Kanaya mengangguk. “Ngomong-ngomong, siapa yang menjaga toko kalau kau di sini?”
"Ibuku dan Mira."
"Mira? Mira siapa?"
“Pekerja paruh waktu yang mulai bekerja hari ini. Dia tidak selalu di toko. Dia akan datang jika salah satu dari kita tidak masuk kerja.”
“Oh,” tukas Kanaya membentuk mulutnya serupa huruf O.
“Kau sakit betulan?”
“Apa menurutmu aku sedang bercanda?”
Adelia mencondongkan tubuhnya. Mengulurkan tangan kanannya meraba dahi Kanaya. Saat itu posisi mereka berada di atas tempat tidur Kanaya. “Benar. Kau sakit.”
Kanaya mengembuskan napas. Dia bertaruh, tadi pagi dahinya pasti sehangat gelas yang berisi kopi panas. Terima kasih pada sebutir parasetamol yang membuatnya lebih baik sekarang. Dia bisa membereskan novel-novelnya yang berserakan di dalam kamar.
“Kau sakit karena memikirkan utang?”
“Memikirkan utangnya memang benar, tapi aku sakit bukan gara-gara itu. Aku demam karena aku kehujanan tadi malam.”
“Kau kehujanan? Memangnya kau pulang pukul berapa?”
Jika diingat lagi, hujan semalam turun pukul sepuluh lewat, mungkin hampir pukul sebelas. Lalu, normalnya Kanaya sampai di rumah kosnya adalah pukul sepuluh lewat lima belas menit. Itu pun tergolong cukup terlambat. Wajar saja jika Adelia terlihat bingung. Namun, jika dia bilang yang sebenarnya terjadi, gadis ketus yang sedang bermain ponsel itu akan menimpali Kanaya dengan ocehan-ocehannya yang membuat pusing.
“Aku akan ke depan.” Adelia beranjak, berjalan ke arah pintu depan. Kanaya juga ikut beranjak karena ingin tahu ke mana Adelia pergi. “Ke mana?”
“Ke depan. Ambil makanan,” ujarnya. Kanaya berhenti mengikuti saat Adelia bilang dia ingin mengambil makanan. Dia berdiri di ambang pintu kamar, sembari sibuk memainkan ponsel. Terdengar samar saat Adelia tengah berbicara pada seseorang di depan pintu. Dia sempat menoleh, tapi dia tak dapat melihat karena Adelia hanya membuka pintunya sedikit sekali.
“Terima kasih,” ujar seseorang di luar sana.
Kanaya tersentak. Bekerja sebagai penjaga toko dan bertemu banyak orang, tentu saja orang-orang itu mempunyai beragam jenis suara yang berbeda. Hal itu menjadikan telinganya secara alami dapat mengenali suara-suara orang. Apalagi suara rendah yang jarang di dengar olehnya, itu menjadikan suara itu menjadi sedikit spesial.
Ya, tidak salah lagi. Itu suara pemuda tadi malam.