Kanaya beringsut, maju perlahan kemudian berlari ke depan menyusul Adelia. Namun, saat ia membuka lebar pintu dan melihat keluar, sudah tak ada siapa-siapa, kecuali Adelia yang memandangnya bingung sembari menenteng bungkus plastik putih di tangannya.
“Ada apa?”
Kanaya masih ragu, sorot matanya masih menatap ke kanan dan ke kiri, tapi tetap saja matanya tak menangkap siapa pun. “Kau berbicara pada siapa tadi?”
Adelia mengerutkan kening, dia menggeleng, “Tidak tahu. Sepertinya debt collector,” ujar Adelia melangkah masuk.
Kanaya sedikit kaget. Ia mendekat dan berbisik, “apa dia menagihku?” tanyanya sambil memasang raut wajah yang gelisah. Dia langsung menutup pintu rumahnya dan menyusul Adelia yang sudah duduk di sofa hijau itu. Adelia terlihat lebih mementingkan makanan yang sedang ia buka bungkusnya itu ketimbang menjawab pertanyaan Kanaya. Namun, pada akhirnya dia masih menjawabnya. “Tidak. Dia hanya menanyakan alamat saja.”
Melegakan. Seperti mengetahui bahwa hari ini tidak jadi ujian. Setidaknya biarkan satu hari ini dilewati dengan tenang dan damai. Manusia itu tak luput dari rasa keingintahuan yang tinggi. Sebelum mendapat jawaban atas hal yang tidak diketahui, maka semuanya tidak akan pernah selesai. Rasa penasaran itu akan terus menerus ada. Memberikan perasaan yang bila di ibaratkan seperti kita terjebak di antara orang-orang yang tak terlalu kita kenal. Perasaan tak nyaman.
“Hm, orang yang menagih tadi ... seperti apa dia?”
Adelia baru saja selesai membuka makanan itu dan dia sekarang tengah kebingungan. Dia terus menatap makanannya, mungkin kelihatannya sangat enak. Namun, dia sedikit-sedikit kembali mengingat. “Dia pria. Aku tak terlalu mengingatnya, karena saat berbicara tadi, mataku hanya memandangi bungkusanku.”
“Ais, ke mana perginya sopan santunmu!”
Adelia terkekeh. Dia tak terlalu memedulikan itu, di tangannya kini ada sepotong ayam goreng yang dilumuri saus berwarna merah. Dia langsung melahapnya. “Enak! Nah, cobalah!” tukas Adelia mendekatkan bungkusannya pada Kanaya.
Bungkusan itu berisi satu kotak penuh isi ayam. Ayam yang di goreng dengan tepung dan tampak renyah, lalu di balur dengan saus merah yang terlihat pedas, tampaknya sangat lezat. “Itu terlihat sangat pedas,” ujar Kanaya ragu saat melihat saus kemerahan pada ayam-ayam itu.
“Tidak terlalu pedas, kok. Coba saja dulu.”
Kanaya mengesampingkan semuanya, tentang si penagih mau pun saus merah yang terlihat pedas itu. Dia mengambil satu dan menggigitnya. Sausnya sangat banyak hingga menempel di sudut bibir. Benar, tidak terlalu pedas dan ini enak.
“Sepertinya aku membutuhkan nasi.” Kanaya berkata sembari beranjak ke dapur. Mengambil piring bersih dan menyendok sisa nasi yang ada di rice cooker. Lalu, dia kembali ke ruang tamu. “Kau tak mau nasi?” tawar Kanaya memajukan piring yang berisi nasi di tangannya itu.
Gadis yang mempunyai berat badan lima puluh lima kilo itu cepat menggeleng. “Tidak, aku akan makan ayamnya saja.”
Itu tidak masalah, jika Adelia tak ingin memakannya bersama nasi putih. Namun, hal semacam ini sudah seperti kebiasaan bagi Adelia. Bahkan dia juga biasa makan mi instan bersamaan dengan nasi putih. “Kau beli ini di mana omong-omong?” tanya Kanaya.
“Pesan online. Aku melihatnya di media sosial. Semua foto makanannya terlihat sangat enak. Jadi, aku mencobanya hari ini, dan ternyata sesuai ekspektasiku.” Adelia mengecupi jari-jari tangannya karena penuh bekas saus. “Nanti akan kukirimkan kontaknya. Antar gratis, jadi tenang saja.”
“Ah ... harganya?”
“Jangan khawatir! Aku memberikan kontaknya padamu karena harga makanannya cukup murah,” ujar Adelia mengacungkan jempol dan mengedipkan sebelah mata.
Kanaya melebarkan tawa sambil mengangguk. Sudah cukup lama memang sejak terakhir kali ia memakan makanan seperti ini. Cukup menyedihkan mengingat lidahnya yang hanya menghafal rasa mi instan. Rasanya dulu ia tak kesulitan membeli makanan enak. Tidak seperti sekarang ini, belanja dengan harga yang selisih dua ratus perak pun perlu di perhitungkan lagi.
Baiklah, mari kita mengesampingkan soal makanan enak. Kanaya masih mengunyah ayamnya, tapi mulutnya juga mengeluarkan pertanyaan. “Adelia, orang tadi menanyakan apa?”
“Alamat. Seingatku, aku sudah memberitahumu.”
Kanaya mengembuskan napas. “Iya, maksudku alamat mana persisnya?”
Adelia mendongak ke atas, mengulum bibir sambil mengerutkan kening. “Kalau aku tak salah ingat, dia bertanya di mana itu blok B. Aku menjawab tak tahu, karena aku memang tidak tahu. Lalu, dia bilang terima kasih dan dia pergi.”
“Blok B? Rumah siapa yang di cari? Apa dia menyebutkan nama?”
Adelia mengangkat bahu. “Tidak tahu, dia tidak menyebutkan nama atau semacamnya. Memangnya ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya penasaran saja. Apa kau melihat baju yang di pakainya? Apa ada logo perusahaannya?”
Adelia diam sesaat. Jika memang tak ada apa-apa tentu pertanyaannya tidak sedetail itu. “Aku melihatnya. Sepertinya dia dari toko elektronik yang cabangnya ada di perempatan jalan. Tak terlalu jauh dari toko roti kita. Logonya sama. Di banding itu, kenapa kau sangat ingin tahu? Apa kau mengenalnya? Kau membuatku kebingungan.”
Kanaya berdecak. Manusia memang mudah sekali penasaran. “Tidak, tidak, sudah kubilang aku hanya penasaran saja.”
“Penasaran? Pada orang itu?” wajah Adelia seakan berkata, ‘apa masalahnya kau sampai penasaran pada orang itu?’
Kanaya jadi tertawa. Kata ‘penasaran’ itu tak semuanya salah. Dia memang penasaran pada laki-laki itu. Namun, situasi ini membuat semuanya jadi ambigu. “Begini, sebenarnya semalam aku bertemu seseorang.”
Mendengar itu, Adelia jadi semakin penasaran. “Siapa? Apa itu dia? Orang tadi?”
“Tunggu dulu, biarkan aku bercerita. Semalam itu aku sangat mengantuk, mungkin karena itu pula aku jadi salah masuk gang lain. Saat aku ingin kembali keluar, aku bertemu dengan seorang laki-laki. Aku memang tak melihat wajahnya, dia memakai topi dan di sana juga gelap. Namun, aku masih ingat suara laki-laki itu. Suaranya sama persis seperti suara orang tadi. Aku hanya penasaran, mungkin saja orang tadi itu adalah laki-laki yang bertemu denganku semalam.”
“Apa itu yang membuatmu kehujanan semalam?”
Kanaya mengangguk. Cerita itu juga tak sepenuhnya salah. Dia hanya menghilangkan kata ingin bunuh diri dan membunuh di dalam ceritanya.
“Ais, kenapa sampai bisa salah masuk gang? Kau tidak kenapa-kenapa, ‘kan? Dia tak mencoba macam-macam padamu, ‘kan?”
“Tidak, tidak, aku baik-baik saja.”
“Kau harus lebih berhati-hati. Ada banyak modus kejahatan yang tak kita ketahui di kota ini. Apalagi kau seorang perempuan. Cukup mudah bagi seseorang untuk menyakitimu, walau tanpa rencana sekali pun.”
“Kenapa gaya bicaramu seperti guru bimbingan konseling di sekolahku dulu.”
Adelia menghela napas. “Jadi, bagaimana selanjutnya?”
“Hm, Sepertinya dia juga salah jalan. Soalnya dia bertanya jalan keluar padaku saat itu.” Kanaya tersenyum kecut. Bualan itu terus berlanjut rupanya.
“Kalian tak saling bertanya nama?”
“Hah? Berkenalan maksudmu? Ais, berkenalan apanya, dia langsung pergi begitu saja.”
Banyak orang bilang, mulut bisa berbohong, tapi tidak dengan mimik wajah. Maka dari itu ada yang namanya pakar mikro ekspresi.
“Kau kecewa?”
Kanaya menoleh, wajahnya menegang, bola matanya yang membulat itu seakan memberitahu ‘apa maksudnya?’
“Wajahmu terlihat kecewa saat kau bilang dia pergi begitu saja. Apa kau penasaran karena tertarik padanya? Jangan bilang kalau kau jatuh cinta pada pandangan pertama, karena itu menggelikan.”
“Apa? Tidak, tidak seperti itu!”
“Ayo mengaku saja! Wajahmu memerah, tuh.”
Kanaya mendekap wajahnya dengan kedua tangan. Terasa panas. “Ini karena aku terkejut mendengar omong kosong itu.”
“Kanaya Lively, kau tertarik padanya, jangan mengelak lagi.” Adelia melipat tangan dan berdecak, “aku jadi sedikit menyesal karena tak memerhatikan wajahnya tadi.”
Kanaya tak menjawab, hanya memberikan senyum kecut yang tak berarti. Mungkin lebih baik begitu, biarkan saja Adelia berasumsi seperti itu. Tertarik pada seseorang saat pertama kali bertemu juga bukan hal yang aneh. Normalnya, itu sering terjadi. Lagi pula, Kanaya tak berniat untuk menceritakan tentang bunuh membunuh itu pada Adelia.
“Ya, ya, anggap saja aku tertarik padanya.”
“Aku sudah menganggapnya begitu sejak tadi. Dan, oh ... apa kau tak memberiku minum?”
“Oh, aku lupa, haha. Tunggu sebentar!” Kanaya beranjak. Melenggang pergi ke dapur dan menuangkan air putih dalam gelas berukuran sedang.
***
Waktu terus berjalan tanpa jeda. Adelia menyingkap gorden hijau bergambar katak di ruang tamu. Seperti biasa, hanya terlihat kawasan perumahan yang tak banyak orang berlalu lalang. “Sudah sore,” ujar Adelia.
Kanaya melihat jam di ponsel. “Iya, sudah pukul empat.”
Adelia mengemas barangnya, memakai jaket dan menenteng helm yang ia taruh asal di atas sofa ruang tamu. Matahari terlihat keemasan dengan langit yang jingga. Angin sore menyentuh kulit Kanaya yang kering saat ia membuka pintu rumah. Masih mengenakan piama merah muda, dia berdiri di teras rumah sambil memerhatikan Adelia yang tengah siap dengan motornya.
“Adelia, sepertinya besok aku belum bisa masuk kerja. Tubuhku masih terasa lemas. Bisa tolong kau sampaikan pada Ibumu?”
Adelia sedang mengaitkan helmnya, dia mengangguk. “Ya, beristirahatlah. Aku pulang dulu. Oh, ya, kau sudah membayar bunga pada rentenir itu?”
Kanaya terkesiap. Bibirnya kelu, perasaan tak enak itu muncul kembali. Pada akhirnya dia mengangguk canggung.
“Baguslah kalau begitu.”
Kanaya melihat punggung Adelia yang menjauh dengan motornya. Terdengar samar suara anak-anak yang bermain di lapangan ujung sana. Dia menatap langit yang kemerahan, sepi kembali menemani. “Hah, dia mengingatkanku pada hal memilukan itu lagi. Jika saja Adelia tahu bahwa uang yang kudapat dari kasbon itu malah lenyap akibat ditipu.” Kanaya menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.