KAFE
Aroma kopi menguar di dalam ruangan yang sedikit temaram dengan gambar-gambar mural di tembok-temboknya. Alunan lagu dari grup band Queen menambah semaraknya malam itu. Di dekat jendela yang pemandangannya mengarah ke luar, seorang wanita tengah sibuk memperhatikan laptopnya.
Sementara itu, dari arah luar, seorang wanita dengan blazer berwarna krem dan kaus ketat yang dijadikan dalaman membuka pintu. Wanita itu memindai sekitar, mencari-cari seseorang, lalu fokusnya tertuju pada wanita lain yang memainkan laptop di dekat jendela kafe. Sejurus kemudian, wanita yang baru saja masuk memesan segelas es teh leci. Dia berjalan ke arah wanita pertama, lalu berdiri di samping wanita itu.
"Selamat sore, apa Anda Bu Monik, penasihat pernikahan dan pacaran?”
Monik mendongak. Dia tersenyum, lalu berdiri, menyalami wanita lain yang menyapanya. “Ya, benar. Anda Bu Arini?”
“Benar, Bu.”
“Anda sudah pesan kopi?”
“Sudah.”
“Silakan duduk. Jadi, apa yang bisa saya bantu, Bu Arini?”
Arini menarik napas dalam-dalam. Wanita itu tidak langsung berbicara. Dia mencoba untuk mengatur hatinya yang sedang kacau. “Emm … sebelum saya menceritakan ini, lebih baik panggil saja saya Arini. Saya masih dua puluh tahun dan masih kuliah.”
“Baik. Jadi, apa yang saya bisa bantu untukmu, Arini?”
Raut wajah Arini berubah. Senyumnya seolah tenggelam bersama dengan perasaan galau yang menyerangnya sejak pertama kali menjalani sebuah hubungan dengan seorang pria berbeda keyakinan.
“Saya menjalani hubungan beda agama,” jelasnya.
“Lalu?”
“Saya ingin putus. Akan tetapi, ini sulit buat saya.”
“Apa sudah lama menjalani hubungan seperti ini?”
“Hampir tiga tahun dan saya sangat lelah menjalani ini semua. Saya ingin tahu bagaimana saya bisa melepaskan perasaan ini dan secepatnya melupakan kekasih saya itu. Saya sudah dua puluh tahun dan orang-orang di sekitar menuntut saya untuk segera menikah. Tapi, sesungguhnya, saya tidak siap dengan sebuah pernikahan. Bagaimana saya harus bertindak?”
Monik memegang tangan Arini. Gadis itu seolah-olah memberikan kekuatan bagi perempuan muda yang berada di hadapannya untuk dapat melalui setiap permasalahan yang terjadi.
“Mengapa kamu bisa terjebak dalam hubungan yang berbeda?”
“Sebab, kami saling cinta. Sebenarnya, saya tahu bahawa itu salah. Hati nurani saya sudah mengatakan bahwa itu salah. Akan tetapi, cinta menutupi segalanya. Sekarang, di tahun kedua kami berpacaran, kami dilanda kebingungan karena hubungan kami yang tidak berujung. Saya tetap berada dalam kepercayaan saya dan dia pun juga. Jadi, saya harus bagaimana?”
Monik menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan napas itu perlahan. Seumur hidupnya, dia tidak pernah mengalami sensasi menjalin hubungan berbeda agama. Ketika dia sedang berada di tingkat SMA, seorang pria yang berbeda keyakinan pernah memintanya untuk menjadi kekasih. Namun, bayang-bayang kegagalan di masa depan membuat Monik tidak ingin menerima cinta itu.
Sebenarnya, bukan semata-mata Monik tidak ingin menjalin hubungan. Trauma peristiwa di masa kecilnya sekonyong-konyong membuatnya memandang bahwa semua pria sama saja. Teori-teori yang dipelajarinya tentang cinta hanya berdasarkan literatur-literatur yang sering dihafalkannya. Ya, tidak sedikit pun dia tahu bagaimana rasanya menjalin cinta dengan seseorang yang berbeda keyakinan seperti yang dihadapinya kini.
“Bagaimana Bu Monik? Apa yang harus saya lakukan? Saya ingin putus, tetapi tidak bisa. Hubungan ini makin lama makin mengikat kami. Tapi, makin ini mengikat, makin hati saya merasa kosong serta jauh dari Tuhan. Jadi, saya harus bagaimana?”
Monik sedikit merasa terkejut ketika Arini memanggilnya. Dia mencoba tersenyum, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Tiba-tiba saja dia teringat bagaimana teori mengajarinya untuk menyelesaikan sebuah kasus yang berhubungan dengan agama.
“Bagaimana jika kamu tidak menghubunginya? Ini memang sulit pada awalnya, tapi lama kelamaan kamu akan terbiasa.”
“Bagaimana jika tidak berhasil?”
“Jika tidak berhasil, kita bisa membuat janji kembali.”
“Baiklah.”
Arini menyeruput es teh leci yang dipesannya. Sementara Monik juga melakukan hal yang sama. Kini mereka terlibat dalam obrolan santai meski sesekali Arini masih saja mengutarakan kegalauannya perihal hubungan beda keyakinan yang tengah dijalani. Sepanjang Arini berkata-kata, Monik menatap lekat perempuan wajah Arini. Gadis berambut ikal dengan kulit putih bersih itu terlihat sangat putus asa.
Tiba-tiba saja, pertanyaan demi pertanyaan menyeruak dalam benak Monik. “Bagaimana sebenarnya hubungan beda agama itu? Bagaimana rasanya? Bagaimana cinta bisa begitu mengganggu? Bagaimana cinta yang seperti ini bisa membuat hati terasa kosong? Apakah aku harus mencobanya terlebih dahulu jika ingin merasakannya? Ataukah cukup hanya begini saja? Bagaimana jika ini sangat sakit? Ah, kenapa aku harus memikirkannya?”
Monik menggeleng. Wanita tiga puluh tahun itu berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari dalam otaknya. Tidak! Dia belum siap menjalani cinta yang seperti itu. Apalagi ketika melihat raut wajah Arini yang sama sekali tidak menampakkan kebahagiaan meski ada bumbu cinta di dalamnya.
“Bu Monik, saya ingin bertanya satu hal kepada Anda,” ucap Arini.
“Silakan, Arini.”
“Bu, apakah Anda pernah merasakan rasanya menjalin hubungan beda agama?”
Pertanyaan itu seperti listrik yang menyengat tubuh Monik. Getarannya terasa hingga ke hati, lalu ke sum-sum tulang belakang. Dia sama sekali tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Ini di luar kehendaknya. Akan tetapi, Monik kembali menata diri. Digesernya sedikit pantatnya yang sejak tadi menyentuh kursi. Dua sudut bibirnya terangkat; berusaha menunjukkan senyum seramah mungkin.
“Tidak. Saya tidak pernah menjalani hubungan seperti itu. Hubungan beda agama itu sulit karena berurusan dengan Tuhan dan hati nurani. Sementara manusia kadang merasa bahwa dia bisa nyaman menjalani hubungan yang seperti itu, padahal hati nuraninya memberontak. Sadar atau tidak sadar, manusia sering melupakan Tuhannya demi manusia yang lain.”
Untuk beberapa saat, mereka terdiam. Tidak ada tanggapan apa pun dari Arini sampai akhirnya gadis berperawakan kurus itu bertepuk tangan dengan kekaguman yang luar biasa terhadap Monik.
“Bu Monik, Anda sangat luar biasa, Bu. Sungguh, saya tidak menyangka jika Anda bisa menjawab seperti ini. Terima kasih banyak karena pada akhirnya saya tahu saya harus bagaimana. Omong-omong, ini untuk Anda.”
Arini mengangsurkan sebuah amplop putih kepada Monik. Pikirannya tercerahkan karena jawaban Monik. Gadis dua puluh tahun itu akhirnya pergi setelah berpamitan kepada Monik. Kekaguman Arini membuatnya berjanji akan merekomendasikan Monik kepada teman-teman kuliahnya.
Monik memandang ke luar jendela. Dilihatnya Arini pergi menaiki motor putih, warna yang sangat disukai oleh Monik. Lagi-lagi wanita tiga puluh tahun itu tersenyum. Dipandangnya amplop putih berisi sejumlah uang yang baru saja diberikan oleh Arini. Dia memasukkan amplop itu ke dalam tasnya, lalu sibuk memainkan ponsel sembari berjalan hingga kini telah sampai di belakang pintu yang dipakai untuk keluar masuk.
Di tempat yang sama, seorang laki-laki membuka pintu itu dengan keras sehingga dahi Monik terantuk pintu.
***
***
Pembukaan yang menarik, semangat Bundo 😍
Comment on chapter KAFE