Tuk... tuk.... bunyi batu kerikil ukuran sedang yang ditendang Lily sepanjang jalan. Wajahnya terlihat muram pagi itu. Kejadian dimeja makan saat berdebat dengan Ayahnya membuatnya badmood.
"Ayah sudah menentukan dimana kamu akan kuliah," ujar Ayahnya saat menyantap sarapan. Pagi itu karena bujukan mamanya, Lily sarapan berbarengan dengan Ayahnya. Dia sudah curiga pasti ada hal yang tidak mengenakan atau yang bertentangan dengannya akan dibicarakan. Karena itu Lily selalu makan sebelum atau sesudah Ayahnya makan. Namun kali ini dia ingin tahu apa yang akan dibicarakan. Dan benar saja, hal yang tidak mengenakan itu keluar dari mulut Ayahnya.
"Lily punya pilihan sendiri," ujar Lily ketus.
"Pilihan? Sejak kapan kamu memilih?"
"Kenapa Lily tidak bisa memilih?"
"Memang apa pilihanmu?" Cibir Ayahnya membuat Lily jengkel.
"Aku ingin jadi kuliah di malaysia jadi peneliti,"
"Apa?? Itu tidak ada untungnya buatmu! Kau harus belajar bisnis," ejek Ayahnya. Lily yang sudah sangat kesal langsung bangkit dari kursi dan menuju kamarnya. Dia lalu mengambil tasnya dan setengah berlari untuk keluar rumah. Sesampainya di meja makan, Lily berkata,"kalau Ayah tidak mau menerima pilihanku, tidak apa-apa. Aku akan memakai cara lain yang Ayah tidak ketahui," ancam Lily. Seketika urat saraf Ayahnya tegang.
"Ambilkan obatku, cepat!" Perintahnya menyuruh mama Lily. Lily yang tahu bakal dimarahi habis-habisan setelah Ayahnya meminum obat, tanpa pikir panjang langsung berlari keluar dari rumah.
"Bagaimana caraku agar dapat kuliah yang aku inginkan ya," rengutnya sambil terus menendang kerikil. Dihalte, Lily tidak perlu menunggu bis karena bisnya datang bersamaan dengannya waktu sampai ke halte. Lily langsung masuk dan menuju kursi kosong dekat jendela. Dia terus memikirkan hal yang terjadi pagi tadi. Sesekali dia memukul pelan jendela bis karena kesal dengan Ayahnya. Lily tidak menyadari orang yang duduk disampingnya sampai orang itu bersuara,
"Oi, kalau kamu mengetuk seperti itu, sopir pikir kamu mau turun," tegur orang itu. Lily menghentikan tingkahnya tanpa melihat ke orang yang menegur tadi. Dia masih diselimuti akan kejadian yang membuatnya harus berpikir keras. Tatapannya kosong keluar jendela.
"Apa yang harus aku lakukan ya?" Gumam Lily pelan. Tak lama bis berhenti. Lily masih berada dalam pikiran kalutnya. Sampai orang yang disebelahnya menepuk lengannya, barulah Lily tersadar.
"Mau sampai kapan kamu melamun?" Tegur Rino yang ternyata adalah orang yang duduk disampingnya. Lily terkesiap dan langsung berdiri untuk keluar. Rino mengikutinya dari belakang dengan tatapan tajam. Setelah keluar dari bis, Rino tetap membuntuti Lily dari belakang. Lily yang sedang ada pikiran tidak terganggu dengan hal tersebut. Tiba-tiba Lily melihat sosok seseorang yang dia kenal diseberang jalan. Lily kemudian berhenti. Melihat itu Rino hanya memasang wajah bingung tanpa bertanya. Ada dua sepasang muda mudi yang berada diseberang jalan itu. Lily melihat kepada mereka berdua yang sedang berbincang dengan senyum dari si wanita yang terlihat sangat bahagia.
"Wahh, dia benar-benar menyebalkan. Aku yang menderita tapi dia terlihat bahagia," celetuk Lily yang didengar oleh Rino.
"Kamu dicampakkan?" Tanya Rino akhirnya. Lilypun menoleh.
"Tidak, aku hanya dipermainkan," ujar Lily datar.
"... Lelaki itu mempermainkanmu? Wah kurang ajar sekali di-"
"Bukan yang lelaki tapi yang perempuan," potong Lily malas. Rino terlihat shock dengan jawaban Lily yang terdengar ambigu.
"Kau dan perempuan? Jadi maksudnya kamu dan dia..." bingung Rino.
"Ya ya terserah. Tapi kenapa kamu naik bis?" Tanya Lily balik.
"Sepeda motorku dibengkel, tapi apa maksudmu kamu dengan perempuan itu?" Tanya Rino lagi. Lily yang jengkel berhenti berjalan.
"Rino, aku mau ada masalah dengan perempuan atau laki-laki itu bukan urusanmu. Aku belok atau straight itu juga bukan urusanmu. Aku juga tidak mempermaslaahkan kamu yang punya banyak cewe. Jadi mari kita menghormati hidup masing-masing sebagai teman sekelas, oke," ujar Lily sembari menepuk bahu Rino lalu berbalik berjalan mendahuluinya.
"Itu akan jadi urusanku," ujar Rino membuat langkah Lily terhenti.
"Huh?"
"Kamu bilang kamu menyukai aroma tubuhku," kata-kata yang keluar dari mulut Rino membuat Lily berpikir keras. Kok dia bisa tahu, jangan-jangan. Benar saja apa yang Lily bayangkan terjadi. Rino mengeluarkan sebuah Ipod yang sangat dikenali Lily. Ipod dia yang hilang itu kini berada ditangan Rino. Lily langsung berusaha mengambilnya, namun Rino mengangkatnya tinggi-tinggi. Pemandangan seperti itu terlihat oleh perempuan dan lelaki yang Lily lihat tadi. Mereka melihat kelakuan Lily dan Rino tersebut dihalte bis. Sesaat memasuki bis lelaki itu bertanya,
"Kenalanmu?"
"Iya, teman lama," setelah berkata seperti itu perempuan itu tersenyum lalu masuk ke bis.
Lily yang terus berusaha mengambil ipodnya dari tangan Rino, membuat Rino lelah dan menangkap tangan Lily.
"Aku akan mengembalikan ini tapi ada syaratnya,"
"Itu kan punyaku, untuk apa pakai syarat," ujar Lily kesal sambil terus meronta ingin melepaskan satu tangannya yang dipegang erat oleh Rino.
"Kalau begitu ya sudah," ujar Rino tersenyum nakal lalu berlari kencang. Lily berusaha mengejarnya namun dia tidak sanggup.
"Dasar menyebalkan," dumel Lily. Dengan nafas terengah-engah dia berusaha berjalan seperti biasa. Sesampainya dikelas, Lily terduduk lemas. Syifa yang melihatnya heran,
"Kamu habis berlari ya?" Tanya Syifa.
"Iya, olahraga," ujar Lily masih mengatur nafasnya.
"Kamu melihat Rino?" Tanya Lily setelah nafasnya kembali normal.
"Belum, mungkin dia bolos lagi," pikir Syifa," tumben kamu menanyakan dia," lirik Syifa nakal.
"Tidak aku hanya penasaran kenapa dia sering sekali bolos," kata Lily mencarialasan lain.
"Dia itu katanya sih harus bantu-bantu urusan keluarganya, aku juga kurang tahu urusan apa tapi wali guru tidak terlalu peduli. Mungkin dia masih ada hubungan keluarga dengan kepala sekolah. Kan aneh ada orang yang pindah kesini saat sudah kelas 3 dan masuk semester 2 mau kelulusan lalu langsung diterima? Aneh kan," ujar Syifa menerangkan. Lily berpikir tentang itu dan manggut manggut.
"Tapi kan dia punya usaha potong rambut gitu ya," ingat Lily.
"Itu karena dia penasaran aja gimana motong rambut orang. Dia itu dulu pembully tapi supaya tidak ngebuly lagi dia salurkan ke hal lain. Kan aku pernah cerita bahwa aku pernah dipotong rambut oleh Rino," cibir Syifa.
" tapi gadis-gadis mendekatinya," ujar Lily.
"Mungkin karena dia sexy," ujar Syifa.
"Ngomong-ngomong kamu masih menyukai dia ga?"
"Ga mungkin lah, kalau tertaru sih iya karena dia maskulin, tapi memiliki ga ya. Aku kan sudah trauma dengan dia," jelas Syifa yakin.
"Oh ya?" Goda Lily.
"Apaan sih. Ayo tidur sana," syifa menyuruh Lily tidur. Lilypun berhenti menggodanya. Wajahnya yang ceria karena baru saja menggoda Syifa berubah seketika saat Rino masuk. Dengan tatapan tajam, Lily menatap Rino. Rino yang ditatap seperti itu hana membalas dengan senyum menyunggingkan bibir. Syifa melihat Rino yang seperti itu pada Lily membuatnya jengkel.
"Tuh kan. Mana mungkin kita bisa menyukainya? Kita kan sudah tahu siapa dia," ujar Syifa jengkel.
"Iya," kata Lily setuju masih menatap tajam kepada Rino yang saat itu menduduki kursinya. Tak lama wali kelas pun datang dan memulai pelajaran hari itu.
Seperti biasa pada jam istirahat, Syifa dan teman-temannya menuju ke kantin sekolah. Mereka memesan yang mereka suka dan membawa makanan itu kemeja yang biasa mereka tempati.
"Sandra mana ya?" Cari Syifa.
"Mungkin dia ada kegiatan diklubnya," pikir Lily. Syifa cemberut.
"Yah tidak asyik deh,"
"Tidak asyik kenapa?"
"Kamu kan tidak terlalu suka bergosip, jadi agak gimana gitu, sunyi, hehe," ungkap Syifa jujur. Lily tanpa melihat ke arah Syifa mencoba terlihat santai.
"Ya kita memang beda, kalau sama kita artinya kembar," ujar Lily. Syifa tertawa mendengar kata-kata itu. Aku sudah tahu lah memang kita tidak cocok bila cuma berdua saja tapi jangan terlalu jujur lah. Huh memang mencari teman yang mau menerima kita itu sulit. Huh untung saja aku tidak terbuka dengan nih orang seperti SMP dulu. Memang pengalaman adalah guru yang terbaik, batin Lily sedih. Tiba-tiba beberapa lelaki mendekati meja mereka dan duduk. Syifa dan Lily terkejut karena biasanya para cowok itu termsduk Rino hanya duduk bersama lelaki.
"Kenapa kalian duduk disini?" Bentak Syifa. Rino yang berada di sebelahnya hanya menyunggingkan bibir.
"Memang kenapa? Emang nih meja punyamu," ledek teman sekelas Lily itu yang datang bersama Rino. Lily ingin mengusirnya tapi karena apa yang temannya itu katakan adalah benar, dia urungkan niatnya itu.
"Eh Rino, katamu kamu pindah kesini karena ingin mencari seseorang. Apa sudah ketemu?" Ujar temannya yang lain. Lily mendengarkan sambil makan.
"Sudah, tapi dia pura-pura tidak mengenaliku," ujar Rino santai.
"Wah, padahal kamu sudah bersusah payah kesini,"
"Mungkin dia kecewa karena bauku tidak seperti dulu," mendengar itu dari Rino, Lily hampir tersedak. Dia langsung mengambil air dan meminumnya.
"Baumu? Jadi dia seperti penyuka bau gitu ya, wah geli. Aku ingin tahu siapa orangnya," canda temannya yang duduk disamping Syifa.
"Memang kenapa kalau kalian tahu?" Tanya Syifa penasaran.
"Yah bisa kita jadikan bahan ejekan, haha," tawa gelak temannya.
"Penyuka bau, penyuka bau," sorak mereka riuh. Lily mulai kesal ditambah melihat Rino yang tertawa kecil mengikuti teman-temannya itu. Lily menendang kaki Rino. Namun Rino tidak mempedulikannya. Bila aku beranjak dari sini, mereka akan curiga padaku. Apa sebenarnya yang dia inginkan?, batin lily kesal. Nafsu makannya hilang dan dia harus menahan amarah mendengar percakapan mereka yang mengejek 'wanita penyuka bau' yang mereka tidak ketahui siapa orangnya namun Lily merasa dirinya telah terhina.
Setelah bel masuk berbunyi, Lily menahan tangan Rino agar tidak segera pergi bersama temannya. Rino menurut dan dia berjalan berdampingan dengan Lily menuju kelas. Ditengah lorong menuju kelasnya,
"Syifa, aku ketoilet dulu yah," kata Lily.
"Oke, tapi kenapa Rino juga ikut?" Tanya Syifa curiga.
"Aku ketoilet juga lah," ujar Rino datar.
"Hati-hati ,Ly," kata Syifa mewanti-wanti. Lily hanya mengacungkan jempol agar Syifa tidak khawatir. Setelah memastikan sosok Syifa tidak keliahatan lagi, Lily membawa Rino ke atas tangga.
"Kamu! Ingin sekali ya menyebarkan hal tak berguna itu," bentak Lily kesal.
"Menyebarkan apa?"
"Pokoknya kamu ingin menyebarkan sesuatu kan yang membuatku malu?"
"Hmmmm, mungkin iya mungkin tidak," kata Rino mempermainkan Lily.
"Aku sudah sangat bersabar padamu. Di awal masuk kamu selalu menjahiliku dan seterusnya. Aku sudah sangat bersabar Rino, jadi sekarang kamu benar-benar ingin membuat kesabaranku sia-sia?" Ujar Lily benar-benar marah. Rino menatapnya diam.
"Aku tidak menjahilimu. Aku hanya mendekatimu dengan caraku," aku Rino menatap Lily tajam.
"Kenapa kamu begitu? Kamu menyukaiku?"
"Ya," pengakuan Rino itu membuat Lily terdiam dan terlihat panik. Dia ingin marah tapi tidak bisa. Dari awal sebenarnya dia tahu Rino seperti tertarik padanya namun karena hal seperti Rino tidak menjaga jarak pada lawan jenis, membuat Lily tidak ingin mengetahuinya lebih jauh lagi.
"Kau... benar-benar playboy ya," cibir Lily.
"....terserah apa prasangkamu," ujar Rino. Lily bingung dengan permintaan maafnya itu.
"Ya aku juga menyukaimu sebagai teman sekelas. Jadi bisa kan kamu mengembalikan ipodku dan tidak bercerita yang aneh-aneh?" Pinta Lily dengan nada berusaha lembut.
"Tidak," tolak Rino dingin. Rambutnya yang agak panjang itu diiikatnya kebelakang. Dengan mode serius dia menatap Lily,
"Berpacaranlah denganku setelah itu aku akan mengembalikan ipodmu," kata Rino dengan sungguh-sungguh. Lily terkejut dengan pengakuannya itu. Dia sebenarnya sudah memprediksi apa-apa syarat yang Rino akan ajukan bila ingin Ipodnya dikembalikan. Namun untuk berpacaran dengannya, Lily benar-benar harus berpikir keras.
"Kenapa? Kamu sudah bosan dengan cewe-cewemu?" Sindir Lily. Rino tidak menjawab. Dia melotot pada Lily.
"T-tapi kembalikan dulu ipodku," pinta Lily m3ngalihkan pandangannya kesamping.
"Kau terima dulu,"
"Oke. Kita pacaran. Tapi jangan kasih tahu anak-anak dikelas," syarat Lily.
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin belajarku terganggu karena ejekan-ejekan mereka," ujar Lily masih memalingkan mukanya. Tiba-tiba Rino memeluknya.
"Oke," ujar Rino tersenyum bahagia. Sedangkan Lily menggenggam erat tangannya menahan sesuatu.
Hari-haripun berlalu. Ujian kelulusan baru setengah dimulai. Diperpustakaan, Lily berpikir lama tentang cara agar Ayahnya mau memberikan izinnya untuk tetap ke malaysia. Rino yang berada disampingnya hanya bisa melihatnya dengan gemas.
"Ly, apa belajar itu sangat penting bagimu?"tanya Rino tiba-tiba.
"Tidak terlalu penting. Yang penting aku mendapatkan tujuanku," ujar Lily acuh sambil membolak-balik halaman buku yang dari tadi hanya terbuka karena dia sedang melamun.
"Tujuanmu apa?"
"... bermain dengan seseorang," ujarLily tersenyum.
"Kamu bisa bermain denganku,"
"Mana mungkin aku bermain denganmu, kau kan bukan tipe yang seperti itu," tolak Lily.
"Memang aku tipe seperti apa?" Tanya Rino.
"Kamu kan nggak banyak ngomong,"
"Terus kenapa? Memang kamu beda denganku?"
"Hampir sama, makanya kalau kita bermain berdua akan jenuh," jelas Lily. Rino bingung dengan penjelasanya itu.
"Jadi maksudmu, orang yang bermain denganmu harus dengan sifat yang berlawanan gitu?"
"Ya karena bisa melengkapi diriku," ujarnya genit.
"... jadi menurutmu aku tidak bisa melengkapimu?" Ujar Rino kesal.
".... Iya," jawab Lily santai.
"Kau ingin putus denganku?" Tanya Rino dengan kesal.
"Iya," jawab Lily lagi sambil membalik-balik bukunya. Rino mengambil buku dari tangan Lily. Lily mulai terlihat kesal dan menatap tajam pada Rino.
"Aku tidak akan putus. Meskipun kamu berulang kali meminta itu, aku tidak akan mau,"
"Rino, bukankah kamu juga bosan denganku?"
"Kenapa aku bosan denganmu?"
"Pelankan suara kalian," kata penjaga perpustakaan menasehati mereka.
"Bukankah banyak cewek yang cantik sedang mendekatimu? Jadi ayo kita putus," pinta Lily.
"Oi, siapa yang bilang padamu tentang itu?" Ujar Rino marah. Lily mengeluarkan HPnya. Dia mencari foto yang dia dapat dari seseorang.
"Ini kan kamu. Jadi kalau kamu juga balas memeluknya, aku rasa hubungan kita sudah berakhir. Jadi aku mau keluar dari sini dan tolong jangan berisik," ujar Lily bergegas keluar dari perpustakaan. Setelah keluar dari perpustakaan, Rino dengan cepat menangkapnya.
"Maaf, Ly. Itu temanku yang baru datang. Itupun juga aku menyambutnya di airport,"
"Jadi di airport sah-sah saja gitu pelukan?" Tanya Lily jengkel. Rino terdiam," Rino, jangan terlalu banyak alasan. Untung aku tidak menamparmu atau menumpahkan air kekepalamu seperti orang lain. Kalau kamu sudah bosan, ya udah tinggal ganti saja. Aku juga akan melepaskan," ujar Lily berusaha tenang.
"Lebih baik kau menamparku tapi jangan putuskan aku," pinta Rino.
"Hah? Oi namanya orang kalau sudah ketahuan, untuk apa dipertahankan. Pernikahanpun bisa kandas, apalagi kita yang hanya pacaran. Jadi ayo kita putus,"
"Tidak,"
"Dasar menyebalkan," setelah berkata seperti itu, Lily dengan kesal berjalan menuju keruang kelasnya.
Besoknya kemanapun Lily pergi, Rino selalu membuntutinya. Selama makan dikantinpun, Rino berada disebelahnya tanpa berkata-kata. Lily sebenarnya sangat kesal namun karena tidak ingim ketahuan teman-temannya kenapa dia kesal, Lily hanya bisa menahannya. Setelah pulang sekolah, Lily berencana tidak pulang kerumah terlebih dahulu. Dia ingin menemui seseorang yang dia kenal. Setelah bel pulang berbunyi, Lily dengan cepat melesat keluar dengan terlebih dahulu memberi alasan pada Syifa.
"Aku buru-buru yah. Dahhh," kata Lily langsung berlari keluar. Syifa hanya menggeleng pelan melihat kelakuan temannya itu.
Beruntung bagi Lily karena bis yang akan dia tumpangi sudah bertengger dihalte. Dengan seluruh kekuatannya, Lily berlari untuk sampai ke bis agar tidak ketinggalan.
"Pyuuuuuhhh, akhirnya terkejar," katanya senang lalu menduduki kursi dibelakang.
Sesampainya dilokasi yang dituju, Lily menghirup nafas dalam-dalam dan berusaha tenang di depan sebuah klinik kesehatan yang cukup besar. Dia melangkahkan kakinya dengan gugup untuk memasuki tempat itu. Sesampainya di meja resepsionis, Lily bertanya keberadaan orang yang dicarinya. Kebetulan beliau sedang menangani pasien.
"Kaalau boleh tahu, anda siapa?" Tanya resepsionis itu.
"Saya anak bapak Mahmud," ujar Lily terus terang. Resepsionis itu melihat penampilan Lily yang berantakan karena berlari. Rambutnya yang tidak diikat membuatnya mengembang tak beraturan.
"Maaf tapi nama pasien Mahmud ada banyak," tanya resepsionis itu lagi. Lily mulai kesal. Mungkinkah dia ingin tahu pekerjaan ayahku? Oke i will tell you, batin Lily.
"Yang punya minyak. Bilang aja seperti itu pada om Sastro," kata Lily. Resepsionis itupun terlihat gugup. Dia langsung menelpon ruangan Om Sastro.
"Katanya suruh tunggu ke lantai atas keruangan beliau," kata Resepsionis iti gugup.
"Tuh kan dia tahu. Makanya jangan melihat orang dari penampilan. Bikin kesel deh mbak nih. Maaf, saya lagi ujian karena itu rada kesal dengan orang yang membuat kesal," ujar Lily lalu berlalu dari meja resepsionis itu.
Sesampainya didalam ruangan yang dituju, Lily melihat sebuah cermin. Dia melihat pantulan dirinya yang berantakan.
"Pantas saja dia mengira aku gembel," tawanya cekikikan. Pada saat itu Om Sastro datang membuka pintu dan terkesiap melihat penampilan Lily.
"Astaga. Kamu mengagetkan om saja," kata Om Sastro mengelus dadanya karena terkejut. Lily hanya nyengir.
Om Sastro menyuruh Lily duduk dan membuatkan kopi dari mesin kopi yang dia punya didalam kantornya. Setelah selesai dari mesin itu, Om sastro tak pual menambahkan susu kedalamnya yang dia bentuk dengan bentuk dedaunan.
"Wah keren sekali," ujar lily kagum setelah kopi itu disodorkan padanya. Om Sastro hanya tersenyum. Lily menghirup perlahan Kopi itu. Agak pahit tapi masih enak. Untung ada susunya, batin Lily.
"Pahit?" Ujar Om Sastro.
"Eh iya sedikit," jujur Lily.
"Kehidupan itu juga begitu. Awalnya pahit lalu kalau dijalani akan menjadi manis. Tapi kalau pahitnya tidak hilang-hilang jangan dijalani yah," nasehat Om Sastro sambil tertawa kecil. Lily ikut tertawa.
"Jadi ada apa kamu kesini?" Kata Om Sastro langsung to the point.
"Emm, gini Om. Aku tahu Om kan yang merekomendasikan universitas pada ayah saya?" Tanya Lily gugup.
Iya. Om hanya menunjukan beberapa universitas yang Om kenal dan kebetulan ada kenalan om disana. Dan Ayahmu memilih yang di Dubai, katanya ada temanmu yang tinggal disana," jelas Om Sastro.
"Teman? Ahh Lia," ujar Lily baru mengingat nama Lia dalam otaknya.
"Dan juga disana kamu juga bisa ambil kelas akselerasi," ujar Om Sastro lagi. Lily terlihat berpikir keras.
"Om sebenarnya ada kampus yang aku ingin masuki," Lily terlihat gugup.
"Dimana?"
"Di malaysia,"
"Memang ada temanmu kuliah disana?"tanya Om Sastro.
"Emmm, sebenarnya tidak ada, tapi aku lebih menyukai tempat tinggal disana dan ada jurusan yang aku inginkan,"
"Di dubai pun banyak jurusannya. Memang kamu ingin jurusan apa?"
"Peneliti tanah dan tumbuhan,"
"Ada banyak kok disana," ujar Om Sastro membujuk.
"Aku tetap ingin di Malaysia Om," kata Lily dengan wajah Sedih.
"Tapi kamu akan sendirian disana,"
"Nanti akan teman juga kok Om," kata Lily tidak mau kalah.
"Begini saja, kamu ikuti saja dulu tes-tesnya lewat online nanti. Nah kalau kamu berhasil, Om akan membujuk Ayahmu untuk menerimanya dan Om akan mencari seseorang yang bisa jadi temanmu disana," saran Om Sastro. Seketika wajah Lily berbinar. Dia sangat berterima kasih pada Om Sastro sambil menyalaminya dengan semangat 45.
"Terima kasih Om. Ayah lebih mendengarkan Om daripada Lily,"
"Jurusanmu masih berguna untuk bisnisnya. Makanya Om menyetujui. Ayahmu sangat bersikeras untuk memasukkanmu kedunia bisnis," Ujar Om Sastro setelah Lily melepas tangan beliau.
"Iya. Saya paham tentang itu. Tapi saya benar-benar dan penasaran dengan hal lain. Bisnis memang perlu dan mungkin suatu hari saya belajar lagi untuk bisnis, tapi sekarang ini saya benar-benar ingin kesana, Om," ujar Lily mengiba.
"Oke, Om paham. Nanti kabari Om bila kamu diterima Yah. Setelah iti nantOm akan bicarakan dengan Ayahmu," ujar Om Sastro menenangkan Lily. Lily terharu. Setelah selesai, Lily mohon pamit pulang kerumah. Dikoridor sampai diluar klinik, Lily bersenandung ria menyanyikan lagu melayu Purnama Merindu oleh Siti Nurhaliza. Melihat kerumunan orang dijalan yang tadinya sesak, setelah keluar dari situ membuat Lily tidak merasakan kehadiran mereka. Dia terlihat sumringah lalu bernyanyi lagi sambil berjalan pelan menikmati cahaya matahari yang menyengat. Lily tidak menyadari ada sesosok orang yang memperhatikannya keluar dari klinik tersebut.
****
Ujian kelulusan berakhir. Lily tidak sabar ingim segera melihat hasilnya dan segera mendaftar kuliah ke Malaysia. Namun dia perlu menunggu waktu untuk melihat hasilnya. Setelah itu Lily menyibukkan diri pergi ke berbagai perpustakaan yang ada dikota tersebut. Dia dengan semangat mencari referensi tentang dunia ketanahan agar dia dapat lulus tes. Namun setelah pulang ke rumah, Ayahnya menyodorkan buku-buku tentang Manajemen Bisnis. Diapun harus mempelajari dua hal selama masa berakhir sekolahnya. Telponnya terus berdering. Lily melihat sekilas nama yang ada dilayar HPnya. Nama Rino yang terpampang itu tidak dipedulikannya. Dia lanjut mempelajari bukunya.
Akhirnya tiba bagi Lily untuk melihat nilainya. Cukup memuaskan, batinnya bangga. Dibelakangnya Rino melihat nilainya yang dibagikan oleh guru satu persatu itu.
"Wah, hampir 9 semua," ujar Rino. Lily mengacuhkannya dan berjalan kembali ke kursinya. Dia, Syifa, dan Sandra dengan riuh membicarakan hasil ujian mereka. Ah semoga aku dapat teman disana nanti yang, paling tidak seperti mereka inilah, kalau yang memahami aku mungkin sulit ya menemukan yang seperti itu, doa Lily dalam hatinya disaat Syifa dan sandra masih berbincang hangat.
*****
Lily berada ditaman bunga edukasi. Disana para pengunjung dapat melihat bunga yang indah sekaligus nama dari bunga itu, arti dari namanya, dan kegunaannya. Bersama teman-trman barunya Di malaysia, Lily berjalan menyusuri bunga-bunga yang tumbuh disana. Tempat itu diselubungi kaca dan sangat luas. Lily merasa seperti dinegeri dongeng saat berada disana. Lily tersentak dari kekagumannya dan kembali kepekerjaan meneliti bunga yang menjadi tugasnya bersama teman-temannya. Dia mencatat beberapa bunga yang dipakai untuk herbal dari penjelasan guide yang membawa mereka kesana. Padahal ada tulisannya dipapan nama, kenapa juga harus repot-repot nyewa guide. Duitnya bisa buat makan di red square, rengut Lily dalam hatinya. Setelah itu dia tanpa sengaja melihat bunga yang bertuliskan Lily namun warnanya biru. Dia beehenti melihat sejenak bunga itu dan membaca deskripsinya.
"Lily tapi bukan spesies Lily? apaan tuh," gumamnya. Dibacanya dengan seksama papan nama itu.
"Kesetiaan, kepatuhan, dan pengabdian?" Gumam Lily lagi. Lily mencari bunga Lily yang biasa berwarna putih. Dia menemukannya dan membaca papan namanya.
"Suci,," gumamnya. Dia kembali memperhatikan bunga Lily biru tadi.
"Apa mungkin ada kesetiaan? Apa aku harus percaya?" Gumamnya lagi. Dia menatap lama pada bunga Lily biru itu. Dan setelah itu menyunggingkan bibirnya.
"Mungkin dengan hal yang sangat dihormati dan diagungkan, Iya. tapi kalau manusia biasa, hmmm aku rasa akan syusah," setelah bergumam seperti itu, temannya memanggilnya. Dia berlari kembali dalam kelompoknya. Sebelum pergi ke Malaysia, dia dan ayahnya bertengkar hebat karena Lily tidak lulus tes di Dubai namun lulus di Malaysia.
"Kamu sengaja tidak belajar?" Ujar Ayahnya geram ketika diruang tamu bersama Om Sastro yang lebih dulu menjelaskan tentang jurusan yang Lily akan masuki itu. Namun Ayahnya tetap marah.
"Aku belajar. Tapi karena pertanyaan interviewnya bahasa inggris semuanya, ada yang Lily tidak paham," bantah Lily.
"Kamu! Ah, aku bisa naik darah ini," ujarAyahnya. Mama Lily menepuk-nepuk belakang Ayahnya agar tenang.
"Begini, nanti jurusan yang akan Lily ambil ini akan berguna," bujuk Om Sastro.
"Peneliti tanah biasanya tahu mana daerah yang akan menghasilkan dan daerah yang tidak menghasilkan. Dan Bapak juga tahu, persediaan minyak dinegeri kita tidak cukup melimpah. Mungkin dengan kemampuan Lily nanti, dia dapat mendeteksi tanah yang ada sumber minyaknya," katanya dengan lembut. Seketika Ayahnya kembali tenang. Yes berhasil, sorak Lily dalam hati. Kemudian Ayahnya Lily dan Om Sastro terlibat pembicaraan serius. Lily mengacungkan jempol pada mamanya, sementara mamanya membalasnya dengan gestur tangan ingin memukul.
Telepon dari Rino kembali berdering. Karena dia lagi bahagia, Lily mengangkatnya. Rino ingin bertemu dengan Lily karena masa liburan Lily tidak pernah mau menemuinya.
"Aku mohon ya. Sekali ini," ujar Rino mengiba.
"Oke. Dimana lokasinya," setelah Rino memberitahu lokasi tempat mereka bertemu, Lily keluar kamar dan minta izin pada ART untuk pergi keluar karena mamanya sedang tidak ada dirumah. Lily memanggil taksi. Beberapa menit, dia sampai di depan kafe yang disebutkan Rino. Lily masuk dan Rino menyambutnya dengan senyuman. Tanpa membalas senyumannya, Lily mendekatinya dan duduk dengan malas. Lily sebenarnya sangat kesal saat Rino mengajak berpacaran. Dia ingin merasakan namanya berpacaran tapi bukan dengan Rino yang banyak digoda oleh perempuan. Namun dia harus mengambil ipodnya dan juga agar Rino tidak mempermalukannya dikelas, dia terpaksa melakukan agar dia bisa lulus dengan tenang. Saat Rino mengenalkan Lily pada teman selain disekolahnya, ada seorang perempuan yang duduk didekat Lily dengan wajah cemberut.
"Kamu terlihat baik," kata perempuan yang terlihat bahunya itu memuji tapi seperti menyindir. Dia mengatakan itu saat Rino pergi sebentar ke toilet.
"Oh ya terima kasih," balas Lily sembari tersenyum.
"Tapi aku rasa kamu tidak akan tahan dengan Rino," dia mulai mewanti-wanti Lily.
"Kenapa?" Tanya Lily seolah penasaran.
"Dia itu playboy," katanya dengan mata terbelalak.
"Oh ya? Tapi aku harus dapat bukti itu dulu agar aku percaya," ujar Lily.
"Bagaimana kalau kamu kasih tahu aku nomor HPmu dan emailmu atau sosial mediamu?" Saran orang itu. Lily langsung mengeluarkan HPnya. Merekapun bertukar nomor kontak dan sosial media.
"Bila kamu tahu dia seperti itu, apa yang akan kamu lakukan?" Tanya wanita itu penasaran.
"Ya putus. Masa mau lanjut," jawab Lily. Wanita itu tersenyum licik dan Lily sempat melihat itu. Akhirnya ada caraku untuk mengakhiri ini, haha. Tawa Lily dalam hatinya. Lily yang berhadapan dengan Rino mulai membuka pembicaraan.
"Ada apa kamu menyuruhku kesini?" Ujar Lily.
"Katanya kamu ingin kuliah keluar? Dimana itu?" Tanya Rino.
"Kenapa? Kamu mau ikut?" Ujar Lily judes.
"Iya," jawab Rino datar. Wah gila nih orang, kenapa dia terus mengikutiku, Lily bergidik.
"Oi, kita sudah putus. Kenapa kamu ingin mengikutiku terus," ujar Lily sebal.
".... Memang kenapa? Aku ingin bersama denganmu," ujar Rino. Lily melihatnya dengan tatapan dingin.
"Aku yang tidak ingin bersamamu. Rino sudahlah, jangan membohongi dirimu dan aku. Sebenarnya kamu juga akan bosan dan ingin mencari yang lain, kan? Aku juga begitu," Lily berkata dengan selembut mungkin.
"Kamu ingin mencari yang lain?" Tanya Rino tidak percaya.
"Aku tidak langsung akan mencari. Karena perempuan dan laki-laki berbeda. Mungkin butuh lama waktuku untuk mencari yang cocok sampai kepernikahan," jelas Lily.
"Kamu ingin mencari sampai kepernikahan?" Tiba-tiba suara Rino terdengar nanar. Lily melihatnya. Dia mulai tidak mengerti dengan Rino.
"Rino. Aku kan sudah bilang, kita masih muda dan masih banyak yang belum kita temui. Mungkin suatu hari kamu akan menemukan yang lebih baik," ujar Lily mulai merasa tidak enak. Dia meminum jusnya menghilangkan ketegangan.
"Aku tidak akan putus denganmu. Terserah kamu ingin dengan siapa dan yang pasti aku akan mengambilmu kembali dari orang itu," Rino terdengar seperti mengancam Lily. Dengan sorot mata tajam, Lily merasa takut untuk membalas perkataannya.
"Terserah," Lily yang terlihat menyembunyikan ketakutannya bersiap pergi, namun tangannya ditahan oleh Rino.
"Kamu begitu tidak percaya denganku? Bagaimana caraku agar kamu percaya?"
".... Mungkin bila kamu menggundul rambutmu dan kita kebetulan bertemu lagi," ujar Lily tersenyum licik. Rino melepaskan tangan Lily dan membiarkannya pergi. Dasar menyebalkan, kenapa dengan dia? Tidak mungkin kan dia sampai seperti itu karena aku? Apa yang sebenarnya dia harapkan? Batin Lily gelisah dan khawatir. Setelah pulang kerumah, Lily langsung memblokir semua Kontak Rino. Dia juga menghapus facebooknya. Setelah itu, dia minta izin pada ayahnya supaya segera berangkat ke Malaysia dan mencari tempat tinggal. Ditemani Ayahnya dan Om Sastro, Lily akhirnya sampai di Malaysia. Disana mereka mencari tempat tinggal yang aman untuk Lily. Untunglah ada beberapa kenalan Ayahnya yang merekomendasikan tempat yang bagus dan aman. Dengan hati yang semangat ditempat baru, Lily bertekad untuk mengejar cita-citanya dan membuktikan pada Ayahnya bahwa dia adalah anak yang berguna.
***
Lily bersama teman wanitanya berjalan-jalan santai di red Square Melaka. Mereka dan para wisatawan disana menyempatkan berfoto dibangunan-bangunan merah dibelakangnya. Setelah asyik berfoto, Lily lapar. Dia mengajak temannya mencari makan dan temannya itu membawa kesebuah cafe bertuliskan Arang Cafe. Masakannya bercita rasa manis pedas. Ada menu yang membuat Lily penasaran,"
"Kita coba ini ye," ujar Lily dalam logat malaysia.
"Iye. Ini ni famous kali disini, sedaap. Ikan pari juga sedaap," kata temannya memuji masakan pedagang itu.
"Ok, kita pesan dua. Ramen dengan ikan Pari pedas manis," kata Lily memesan pada pedagang itu. Mereka berdua menunggu masakannya matang dengan menikmati panorama sungai yang sibuk dengan kapal-kapal lalu lalang. Makanan yang mereka pesan akhirnya datang. Lily dan temannya tadi menitikkan air liur melihat hidangan khas malaysia itu. Aroma masakannya sungguh menggoda mereka berdua. Tak lupa sebelum makan, temannya memoto terlebih dulu makanannya sementara Lily sudah memasukkan ramen kedalam mulutnya. Ditemani deburan ombak, Lily makan dengan penuh kenikmatan. Setelah habis makanan mereka, Lily mencari minuman coconut shake. Ternyata antriannya lumayan panjang. Karena dia benar-benar ingin mencoba, Lilypun ikut antri sementara temannya tadi menunggunya di meja yang disediakan disana. Lily terlihat kurang sabar dalam mengantri. Dia mengetuk-ngetuk sepatunya ke tanah dengan kesal. Namun setelah itu dia kembali tenang tatkala melihat aliran air. Tapi ketenangannya hilang tatkala ada orang yang dibelakangnya mendorongnya. Karena penuh antriannya banyak dari mereka yang tidak sabar dan saling dorong. Salah satu anak buah penjual harus turun tangan menertibkan antrian. Orang ini harumnya sam dengan Rino, apa banyak orang yang berbau harum seperti ini yah? , pikir Lily secara random dengan orang yang berbadan tegap dan memakai hoodie sekaligus topi didepannya. Mata Lily menangkap sesuatu yang jatuh ke tanah disamping orang itu. Lily menepuk belakang lelaki itu.
"Ey, kunci kau jatuh," ujar Lily. Lelaki itupun berpaling. Betapa terkejutnya Lily saat melihat langsung wajah lelaki itu. Rino yang sudah setengah tahun ingin dia lupakan, tiba-tiba ada didepan matanya.
"Tidak mungkin," Lily masih syok. Sementara Rino dengan tenang mengambil kuncinya dan setelah itu menghadap Lily.
"Wah kebetulan sekali kita bertemu, terima kasih. Mau minta nomorku?" ujar Rino sambil tersenyum lebar lalu berbalik mengantri. Sementara Lily tetap Syok dengan keberadaan tiba-tiba Rino tersebut. Dia ingin berlari tapi dia ingin juga tahu kenapa dia disini. Setelah tiba giliran mereka berdua, Lily yang mengambil minumannya segera bergegas pergi menemui temannya. Sementara Rino hanya tersenyum melihat kepergiannya. Sesampainya di apartemen kecilnya, Lily menelpon Syifa,
"Hallo Syifa, apa kabar?" Ujar Lily berbasa-basi.
" Lily! Wah aku kangen banget sama kamu. Aku baik kapan kamu pulang?" Ujar Syifa gembira.
"Belum tahu, mungkin lepas maksudmu setelah ujian semester 1," ujar Lily lagi. Dia ingin to the point kepertanyaan, namun dia ingat perkataan sepeupunya Dika tentang dirinya yang tidak disukai teman-temannya.
"Nanti kabari aku bila kamu pulang," balas Syifa ceria.
"Syifa, kamu tidak pernah memberitahu ke Rino dimana aku kuliah kan?" tanya Lily akhirnya.
"Tidak. Dia tidak pernh bertanya. Oh iya selama kamu tidak ada dia seperti orang kacau. Katanya dia sampai drop out dari kampusnya," jelas syifa.
"Kenapa? Mungkin karena dia tidak pernah masuk sama sekali setelah pendaftaran. Itu orang aneh banget," terang Syifa bergidik.
"Jadi dimana dia tahu aku ada di Malaysia?" Tanya Lily panik.
"Tak tahu aku. Mungkin saja Om Sastro yang memberitahu. Karena kan dia keponakan Om Sastro. Om Sastro pernah cerita tentang Rino yang berubah setelah tinggal ditempatnya bertugas dulu," terang Syifa lagi.
"Apa?" Lilypun berpikir keras. Kini dia yakin dimana Rino tahu keberadaannya. Seharusnya aku kasih tahu Om Sastro jangan dikasih tahu keberadaanku pada siapapun, batin Lily kesal dengan dirinya sendiri. Tiba-tiba pintu rumahna diketuk. Lily mengakhiri panggilannya dengan Syifa. Dia menuju kepintu masuk dan sedikit membukanya. Betapa tercengangnya Lily, orang yang baru dia temui ada dihadapnnya dengan memperlihatkan rambut botaknya. Lily ternganga dengan peristiwa yang tidak bisa diprediksinya itu.
"Kita bertemu kebetulan secara 3 kali dan aku menggundul rambutku. Jadi aku akan menagih janjimu," senyum Rino sambil memegang bahu Lily. kebetulan gundulmu!, maki Lily kesal.
Kenapa kamu melakukan ini? Kamu tahu kan aku akan terganggu?" Ujar Lily menatap tajam pada Rino.
"Kamu mengejar cita-citamu, aku mengejarmu," ujarnya sambil tersenyum manis.
Oh no, kenapa orang ini harus setia padaku atau jangan-jangan dia hanya terobsesi? Kenapa dia tidak mencari yang lain saja? Dasar menyebalkan? Aku harus berusaha lagi agar aku bisa lepas dari orang ini dan kembali mengalami hari-hari yang melelahkan dengan seorang pria, batin Lily bertekad. Lily menatap tajam pada Rino sementara Rino membalasnya dengan senyuman manis.